Novel Baswedan/tribratanews.com

Koran Sulindo – Hingga hari ke-106 , polisi belum jua menemukan titik terang pelaku penyiraman air keras pada penyidik Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Lamanya proses penyelidikan itu membuat banyak anggapan Polri tidak serius menangani kasus tersebut.

Menanggapi tudingan itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto menegaskan kasus Novel masih dalam proses.

“Memang tidak mudah dan tidak bisa dipastikan kapan. Setiap kasus punya karakteristiknya masing-masing. Kita sudah maksimal,” kata Rikwanto, di Jakarta, Rabu (26/7).

Rikwanto mengatakan sudah 50 saksi yang diperiksa. Namun sampai saat ini belum ada yang signifikan mengarah kepada seseorang. Bahkan 4 orang yang diduga sebagai pelaku, setelah diperiksa ternyata memiliki alibi kuat bahwa tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP).

Setiap ada keterangan baru, polisi langsung meneliti di lapangan.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK yang terdiri dari PP Pemuda Muhammadiyah, ICW, LBH Jakarta dan Kontras mengungkapkan sejumlah kejanggalan dari upaya pengungkapan kasus Novel tersebut dalam konferensi pers di Kantor Pusat Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta Pusat, Rabu (26/7).

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyampaikan, dirinya dengan aktivis HAM Haris Azhar telah bertemu Novel di Singapura. Menurutnya sudah banyak informasi dan barang bukti yang dikumpulkan oleh penyidik.

Sebanyak 56 orang telah dimintai keterangan sebagai saksi, rekaman CCTV yang berada di lokasi kejadian juga sudah diambil oleh pihak penyidik. Selain itu beberapa barang bukti lainnya telah diamankan oleh pihak penyidik seperti pakaian Novel Baswedan dan cangkir yang diduga digunakan pelaku,” kata Dahnil.

Selain itu Dahnil mengungkap sejumlah kejanggalan dari proses penyidikan Polri. Dikatakannya ada sikap kurang serius dari Polri dalam upaya mengungkap kasus itu. Dirinya menduga ini karena ada kepentingan politik di internal Kepolisian sendiri.

“Pertama, tidak ditemukannya sidik jari dalam gelas yang ditemukan di sekitar lokasi kejadian yang diduga digunakan oleh pelaku penyiraman,” kata Dahnil.

Kedua, polisi sebelumnya telah menangkap beberapa orang yang diduga pelaku penyerangan. Namun, tiga orang yang setidaknya pernah ditangkap itu malah dilepaskan kembali.

Mereka yang ditangkap tersebut diketahui mengaku sebagai mata elang atau tukang tagih motor. Menurutnya ada kejanggalan karena untuk apa mereka berkeliaran di sekitar rumah Novel.

“Melepaskan ketiga orang tersebut dengan dalih alibi yang disampaikan oleh ketiga orang tersebut. Padahal beberapa saksi di sekitar lokasi, baik sebelum peristiwa penyerangan, menduga kuat bahwa beberapa orang yang ditangkap terlihat sering berada di sekitaran lokasi kediaman Novel dan menanyakan aktivitas Novel,” ujarnya.

Sementara Koordinator Kontras, Yati Indriyani menambahkan kejanggalan ketiga adalah adanya ketidaksepemahaman pernyataan antara Mabes Polri dengan penyidik. Sejumlah pernyataan Mabes Polri dinilai banyak dibantah atau direvisi oleh Tim Penyidik Polda Metro Jaya.

“Seperti terkait dengan status ketiga orang pelaku yang pernah ditangkap dan diperiksa oleh Penyidik Polda Metro Jaya itu,” kata Yati.

Keempat, adanya sejumlah ancaman terhadap anggota Komisoner Komnas HAM dalam proses usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Komnas HAM bersama PP Pemuda Muhammadiyah sebelumnya menginisiasi pembentukan TGPF terkait kasus penyerangan Novel. Wacana itu urung terealisasi dikarenakan ancaman tersebut.

“Kelima adanya tim internal Polri yang di luar proses penyidikan, yang juga bergerak. Beberapa saksi menyampaikan bahwa pasca dilakukan proses pemeriksaan di Polres, beberapa anggota yang mengaku dari Mabes Polri juga mendekati saksi dan meminta informasi terkait dengan penyerangan terhadap Novel Baswedan,” kata Yati. [YMA]