Polisi Kejar Kasus Beras PT IBU dengan UU Perlindungan Konsumen

Ilustrasi: Kementan dan Kapolrisewaktu menggrebek PT IBU Kamis (22/7) lalu/kementan.go.id

Koran Sulindo – Penyidik Bareskrim telah memintai keterangan 15 orang saksi dalam penyelidikan kasus dugaan tindak pidana pemalsuan beras oleh PT Indo Beras Unggul (PT IBU) hingga hari ini. Pekan ini polisi menjadwalkan pemeriksaan 9 orang lain.

Kepolisian menduga terdapat tindak pidana dalam proses produksi dan distribusi beras PT IBU, sebagaimana diatur dalam Pasal 383 KUHP dan Pasal 141 UU 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 62 UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Kami masih mengumpulkan bukti-bukti. Terkait tersangka, kami akan tetapkan setelah gelar perkara,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Senin (25/7), seperti dikutip antaranews.com.

Kamis (20/7) malam lalu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menggerebek gudang beras PT IBU di Jalan Rengas km 60 Karangsambung, Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penyidikan diperoleh fakta bahwa perusahaan ini membeli gabah di tingkat petani dengan harga Rp4.900.

Tim itu menemukan beras yang dipalsukan kandungan karbohidratnya sebanyak 1.162 ton dengan jenis beras IR 64 yang akan dijadikan beras premium yang nantinya akan dijual kembali dengan harga tiga kali lipat di pasaran, sehingga pemerintah mengalami kerugian hingga Rp15 triliun.

Menurut Setyo, tindakan pihak PT IBU yang menetapkan harga pembelian gabah di tingkat petani yang jauh di atas harga pemerintah dapat berakibat pelaku usaha lain tidak bisa bersaing. Selain itu PT IBU akan memperoleh mayoritas gabah dibandingkan dengan pelaku usaha lain karena petani akan lebih memilih menjual gabahnya ke PT IBU.

“Tindakan yang dilakukan oleh PT IBU dapat dikategorikan sebagai perbuatan curang karena merugikan pelaku usaha lain,” kata Setyo.

Gabah yang diperoleh PT IBU kemudian diproses menjadi beras dan dikemas dengan merek MAKNYUSS dan CAP AYAM JAGO, lalu dipasarkan di pasar modern dengan harga Rp13.700 per kg dan Rp20.400 per kg.

“Harga penjualan beras produk PT IBU di tingkat konsumen juga jauh di atas harga yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar Rp9.500 per kg,” katanya.

Menurut Setyo, para pelaku usaha pangan harus mengikuti harga acuan bahan pangan yang diatur pemerintah yakni Permendag 47 tahun 2017 yang ditetapkan 18 Juli 2017 lalu. Aturan baru itu merevisi Permendag 27 tahun 2017.

Selain itu, polisi menduga menduga mutu dan komposisi beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago tidak sesuai dengan yang tercantum pada label.

“Hal ini didasarkan pada hasil laboratorium pangan terhadap merek beras tersebut,” kata Setyo.

Kementan

Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan menyayangkan aksi yang dilakukan oleh Indo Beras Unggul yang diduga memalsukan kualitas beras dari jenis IR 64 menjadi beras premium. Padahal, beras IR 64 merupakan beras yang seharusnya dijual dengan harga terjangkau.

Amran mengatakan pemerintah memberikan subsidi kepada para petani yang menanam padi hingga menghasilkan beras dengan jenis IR 64 dan sejenisnya. Subsidi tersebut diberikan dalam bentuk pupuk, benih, alat mesin pertanian (alsintan), dan lain-lain.

“Beras di tingkat petani setara dengan IR 64. Kemudian, pemerintah menyubsidi input, yang disubsidi adalah pupuk kurang lebih Rp 30 triliun, kemudian kita subsidi benih, lalu alsintan. Sehingga hasil per hektare atau per ton itu di dalamnya ada subsidi negara karena kita subsidi input. Jadi tolong penjelasan ini disampaikan ke publik,” kata Amran, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/7).

Menurut Amran, beras IR 64 dan sejenisnya tersebut semestinya dijual pada kisaran Rp 7.000-Rp 9.000 per kg. Namun, PT IBU menjual dengan harga di atas Rp 20.400.

Menurut Amran, tujuan pemerintah memberikan subsidi kepada petani agar harga beras yang dijual tingkat konsumen bisa lebih terjangkau. Selain itu, pemberian subsidi ini juga agar petani dan pedagang bisa mendapatkan keuntungan yang wajar dan tidak berlebihan.

Kementan juga menyatakan dugaan kerugian negara hingga triliunan rupiah atas tindak pidana pemalsuan beras PT IBU berasal dari berbagai subsidi pemerintah yang telah disalahgunakan.

“Yang dimaksud beras memperoleh subsidi adalah dalam memproduksi beras tersebut, ada subsidi input yaitu subsidi benih Rp1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp31,2 triliun, bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari Pemerintah yang besarnya triliunan juga,” kata Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian, Ana Astrid, melalui rilis media.

Selain subsidi input, ada subsidi beras sejahtera (rastra) yang jumlahnya mencapai Rp19,8 triliun, yang distribusinya hanya melalui satu pintu, yaitu Badan urusan Logistik (Bulog). Beras jenis ini tak diperjualbelikan di pasar.

Beras yang diolah oleh PT IBU adalah beras medium yang berasal dari varietas unggul baru seperti IR64, Impari, dan Ciherang.

Menurut Ana, seluruh beras medium dan premium itu berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp3.500 – Rp4.700/kg gabah.

PT IBU disebutnya membeli beras dari petani dengan harga Rp7.000/kg dan dijual hingga Rp20.000/kg padahal harga eceran tertinggi untuk beras medium di konsumen hanya Rp9.000/kg.

Harga acuan di konsumen, biasa disebut Harga Atas, dikatakannya, tidak mendadak ada karena peraturannya sudah sejak tahun lalu.

Pada tahun 2016 sudah diterbitkan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp7.300/kg dan di konsumen Rp9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg,” katanya.

Dengan selisih harga yang demikian besar, maka PT IBU mendapatkan keuntungan yang ditaksir mencapai Rp10 triliun per tahun.

“Harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp20.000/kg, taruhlah selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton (2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun), maka kerugian keekonomian ditaksir Rp10 triliun,” katanya.

Kementan menyatakan usaha yang dilakukan PT IBU merugikan produsen dan konsumen serta berpengaruh terhadap kenaikan inflasi.

“Kejahatan pangan, apa pun bentuknya harus dibongkar dan dihentikan,” kata Ana.

Indo Beras Unggul

Sebelumnya, juru bicara PT Indo Beras Unggul Jo Tjong Seng, mengatakan beras yang dijual dengan merek Cap Ayam Jago dan Maknyuss berasal dari gabah petani, bukan menggunakan beras bersubsidi.

IBU menyatakan tidak mengetahui bahwa pembelian gabah dari petani yang menggunakan pupuk bersubsidi dilarang.

“Sampai saat ini kami tidak mengetahui adanya peraturan larangan pembelian gabah yang menggunakan pupuk bersubsidi,” kata Tjong Seng, di Jakarta, Minggu (24/7), seperti dikutip Antaranews.com.

Ibu mengaku membeli gabah dari para petani yang berada di sekitar kawasan pabrik, yaitu di Bekasi, Subang, dan Banten.

Ibu juga mengakui menjual beras itu sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dan tergolong beras premium, serta memaparkan secara jelas kandungan gizi dari tiap karung beras yang dijual.

Petani yang menjadi rekanan perusahaan menanam berbagai varietas yang diminati konsumen, seperti IR 64, Ciherang, dan Himpari.

IBU mengolah beras tersebut dengan baik melalui pengujian laboratorium untuk memastikan kualitasnya.

Benarkah Kecurangan?

Dugaan praktik curang IBU itu langsung menjadi viral terutama di media online dan media sosial. Tidak hanya berita, namun sanggahan dari netizen, terlihat cukup sistematis dan terstruktur, langsung membela PT IBU.

Salah satunya ekonom dan mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu. Dalam akun Twitter-nya, @saididu, Said melihat ada beberapa kejanggalan dalam kasus yang melibatkan PT IBU, anak usaha dari PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA).

Soal perubahan subsidi input atau kebijakan lain, pemerintah akan mengeluarkan HPP (Harga Patokan Pemerintah) gabah atau beras. HPP adalah harga pembelian terendah gabah atau beras Bulog kelas medium produk petani.

“Karena yang diatur harga terendah, maka sangat tidak benar jika penegak hukum melarang petani jika menjual lebih mahal,” kata Said.

“Kalau harga jual yang dapat subsidi diatur, maka polisi harus juga mengawasi harga jual gorengan karena gunakan gas subsidi dan lain-lain,” kicau Said.

Untuk melindungi konsumen rakyat miskin, maka disiapkan beras subsidi (rastra). Beras rastra inilah yang harganya diatur, sedangkan harga beras lainnya berlaku mekanisme pasar.

“Dalam hal beras yang diatur adalah beras medium yang disebut raskin atau rastra, sementara beras lainnya tidak termasuk barang pengawasan,” kata Said.

Untuk beras jenis lain lain diawasi melalui mekanisme hukum yang lain, seperti UU Persaingan Usaha dan UU Perlindungan Konsumen.[DAS]