Ilustrasi: MV Ever Judger yang diduga menabrak pipa Pertamina/bisnis.com

Koran Sulindo – Mabes Polri menyatakan bencana tumpahan minyak mentah milik PT. Pertamina (Persero) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, akhir Maret lalu mengarah pada tindakan pidana. Dalam bencana itu sebuah kapal kargo pengangkut batu bara, MV Ever Judger terbakar dan 5 orang nelayan yang sedang melaut ditemukan tewas.

“Indikasi ada, baik sengaja mau pun tidak. Tidak sengaja tapi mengakibatkan orang mati ada korban loh ini,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Setyo Wasisto, di Jakarta, Minggu (22/4/2018).

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri telah mengirim tim penyidik ke Balikpapan buat menyelidiki dugaan pidana, dibantu Polda Kalimantan Timur.

“Karena ada korban harus kita kejar siapa yang bertanggung jawab. Siapa pun akan dikejar,” kata Setyo.

Pelanggaran

Sebelumnya, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) mengatakan pipa yang patah milik Pertamina di Teluk Balikpapan sudah tergambar pada peta, baik electronic navigational chart (ENC) maupun peta kertas.

Peta tersebut, sesuai ketentuan International Maritime Organization (IMO) yang berlaku sejak 2014, wajib dibawa setiap kapal besar yang berlayar.

“Ini mandatory. Tidak mungkin kapal berlayar tanpa peta, apalagi dengan kecepatan tinggi,” kata Kepala Pushidrosal, Laksamana Muda TNI Harjo Susmoro, di Jakarta, Sabtu (21/4/2018), seperti dikutip antaranews.com.

MV Ever Judger diduga melakukan lego jangkar di Teluk Balikpapan, menurut Harjo juga membawa ENC. ENC produksi Pushidrosal tersebut, diperoleh kapal itu melalui salah satu distributor dunia, yaitu C-Map

“Saya buka ENC kapal itu ternyata masih bagus dan bisa berfungsi dengan baik. Dan setelah saya cek, ENC juga update. Saya lihat, semua data terbaru ada pada peta itu, termasuk keberadaan pipa, larangan-larangan lego jangkar, semua ada. Maka patut diduga, bahwa ada pelanggaran di situ,” katanya.

ENC yang dibawa semua kapal di seluruh dunia yang berlayar di wilayah perairan Indonesia memang mengacu pada peta Pushidrosal. Bahkan peta British Admiralty Chart (BAC) pun memperoleh suplai data dari Pushidrosal.

Pushidrosal menyatakan Pertamina merupakan korban pada peristiwa patahnya pipa di Teluk Balikpapann setelah melakukan pencitraan dasar laut di lokasi, tak lama sesudah kejadian.

Menurut Harjo, tidak mungkin pipa patah begitu saja. Apalagi hasil patahan pipa dan bekas garukan, kemungkinan karena ada benda keras yang menyebabkan.

“Asumsi kami, benda keras itu adalah jangkar. Dengan demikian, Pertamina hanya sebagai korban, apalagi pipa yang patah itu telah dilaporkan dan sudah tergambar pada peta,” kata Harjo.

Pushidrosal ketika itu langsung menerjunkan Tim Survei Darurat untuk melakukan pencitraan. Tim tersebut terjun ke lapangan dengan mempergunakan tiga peralatan sekaligus, yaitu “side scan sonar”, “multibeam echosounder”, dan “magnetometer”.

Dari tampilan “base surface”, satu pipa memang patah dan bergeser sejauh 117,34 meter. Selain itu, juga ditemukan parit bekas garukan yang diduga bekas garukan jangkar dengan panjang 498,82 meter, lebar 1,6-2,5 meter, dan kedalaman 0,3-0,7 meter.

Terkait update peta, Pushidrosal selalu melakukan penyesuaian data setiap minggu. Hal itu tidak hanya berlaku untuk peta perairan Teluk Balikpapan, namun juga seluruh peta di perairan Indonesia.

Penyesuaian data kekinian itu bisa berasal dari berbagai pihak. Selain berdasarkan survei Pushidrosal sendiri, data juga diperoleh dari berbagai informasi masyarakat. Misalnya dari pihak pelabuhan maupun kapten kapal ketika menemukan kondisi terbaru yang berbeda dari peta sebelumnya.

“Para pelaut wajib membuat hidrographic note jika menemukan perubahan di lapangan. Mereka harus melaporkan kepada Pushidrosal, sehingga kami pun melakukan update,” kata Harjo.

Satu-satunya Kapal

Dalam jumpa pers pertama kali, di Balikpapan, Selasa (17/4/2018) lalu, Harjo mengatakan Pushidrosal telah melakukan investigasi di daerah terlarang terbatas, termasuk larangan membuang jangkar di Teluk Balikpapan.

“Kami menduga penyebab patahnya pipa kemungkinan karena jangkar. Sebab sebelum kejadian, kapal MV Judger merupakan satu-satunya kapal yang melintas dan berhenti di lokasi patahan pipa,” kata Harjo, saat itu, seperti dikutip antaranews.com.

Ilustrasi/Greenpeace

Tim Investigasi Pushidrosal juga menyimpulkan kapal MV Judger membuang sauh (jangkar) sekitar 400 meter di atas area terbatas tersebut. Mereka menemukan parit sepanjang 498,8 meter dengan lebar 1,6-2,5 meter, kedalamannya 0,3-0,7 meter yang diduga dari tarikan jangkar yang tersangkut pipa.

Tim juga menemukan posisi pipa patah bergeser ke arah tenggara sejauh 117,3 meter. Pipa yang patah itu berada paling utara di antara tiga pipa lainnya dengan posisi horizontal dan panjang patahan lebih kurang 26,7 meter.

Pada kedalaman sekitar 21 meter berdasarkan koreksi geometrik dan radiometrik dasar laut (side scan sonar) pada Selasa (3/4), memperjelas adanya benda keras yang jatuh ke dasar laut.

Kapal MV Judger, yang mengangkut 22 awak berkebangsaan China itu, memasuki perairan Indonesia pada 30 Maret 2018 sekitar pukul 22.30 Wita dan berhenti tepat di posisi pipa penyalur minyak mentah PT Pertamina (Persero) yang patah.

“Dikonfirmasi kapal MV Judger itu berada di titik koordinat 01 derajat 14 menit 42,35 detik selatan, 116 derajat 47 menit 16,11 detik timur,” katanya.

Tim investigasi Pushidrosal bergerak sejak Kamis (5/4/2018), dilengkapi dengan dua kapal modern milik TNI AL, 8 unit tim survei mobile, dan 2 unit tim survei darat.

“Keterangan sebagai tim ahli berdasarkan catatan hidrografi hasil investigasi akan kami serahkan kepada penyidik,” kata Harjo.

Sanksi Administratif

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan dalam bencana itu Pertamina lalai dari aspek lingkungan hidup, terutama dalam mengantisipasi tumpahan minyak di perairan Teluk Balikpapan.

Dokumen lingkungan Pertamina tak mencantumkan pengaturan alur pelayaran kapal supaya menghindari pipa minyak bawah laut.

“Dokumen lingkungan tidak mencantumkan kajian perawatan pipa,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (16//4/2018) lalu.

Selain itu, KLHK juga menemukan inspeksi pipa dilakukan tak memadai dan hanya untuk kepentingan sertifikasi. Pertamina juga tidak memiliki sistem pemantauan pipa otomatis, dan sistem peringatan dini.

Atas temuan tersebut, KLHK akan melakukan tindak lanjut berupa pemberian sanksi administrasi kepada PT Pertamina (Persero) Refinery Unit V Balikpapan, untuk melakukan kajian risiko lingkungan dan audit lingkungan wajib dengan fokus pada keamanan pipa penyalur minyak, kilang minyak, dan sarana pendukung.

Pencemaran

Evaluasi Kemen LHK tentang pencemaran tumpahan minyak dilakukan di lokasi sepanjang pantai di Teluk Balikpapan dari Pantai Lamuru sampai dengan Pantai Banua Patra yang mencapai 12.600 meter (m).

Dari survei itu, tim KLHK memerkirakan luas pantai terkontaminasi limbah bahan beracun berbahaya (B3) minyak bumi seluas 29.733,8 meter persegi (m2).

Perkiraan volume tanah terkontaminasi Limbah B3 minyak bumi mencapai 12.145,4 meter persegi (m3).

Ilustrasi/Greenpeace

Seluruh lokasi tersebut akan dilakukan pengambilan sampel untuk mengetahui besarnya kontaminan yang mencemari wilayah tersebut. Lokasi-lokasi tersebut perlu dilakukan kajian detail untuk penyusunan rencana pemulihan.

Sementara untuk lokasi bagian barat Teluk Balikpapan yang terkena dampak mulai daerah Melawai (depan Kantor P3EK) sampai dengan Pulau Balang (Kawasan Industri Kariangaw). Lokasi tersebut dilakukan deliniasi pada Kamis 12 April 2018.

“Sejauh ini, informasi itu yang bisa tim kami laporkan untuk pelaksanaan evaluasi penanggulangan tumpahan minyak. Hasil ini hanya mencakup lokasi pantai saja,” kata Menteri LHK, di Jakarta, Kamis (12/4/2018), melalui rilis media. [YMA/DAS]