densus-88-polri
Ilustrasi

Koran Sulindo – Pada 1 Juli lalu, Kepolisian RI memperingati hari jadinya yang ke-74. Ada yang lain kali ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana peringatan Hari Bhayangkara selalu diselenggaran lewat upacara tatap muka.

Dengan adanya wabah Covid-19, peringatan upacara Hari Bhayangkara digelar secara virtual. Upacara virtual tersebut dipimpin langsung Presiden Joko Widodo dari Istana Negara dan disambungkan secara live streaming dari Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.

Menjelang peringatan Hari Bhayangkara itu, Kepolisian RI sempat menjadi perbincangan publik lantaran penangkapan terhadap 2 pemuda yang dilakukan Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara. Kedua pemuda bernama Ahmad dan Riman Losen itu ditangkap karena mengeposkan humor Gus Dur tentang 3 polisi jujur di media sosial mereka.

Penangkapan itu mengundang kritikan pedas dari publik terutama dari keluarga Gus Dur, Presiden 1999-2001 itu. Putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, misalnya, mengatakan, semestinya polisi menangkap orang yang membuat humor tersebut dalam hal ini Gus Dur. Bukan kedua pemuda itu.

Selain keluarga Gus Dur, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga bereaksi. Ketika memberi sambutan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Bawaslu, Mahfud bercerita tentang pertemuannya dengan Presiden Jokowi. Dalam pertemuan itu, Jokowi berpesan agar kepolisian jangan terlalu sensitif dan terlalu gampang menangkap orang.

“Ada apa-apa ditangkap, ada apa-apa diadili. Orang mau webinar dilarang. Tidak usah, biarin saja kata Presiden,” dan “Aparat tidak perlu menanggapi hoaks-hoaks ringan dan gurauan masyarakat,” kata Mahfud.

Lalu bagaimana menanggapi peran polisi dewasa ini jika dikaitkan dengan berbagai peristiwa tersebut? Ketika kedua pemuda Kepulauan Sula itu mengeposkan humor Gus Dur ke media sosial bisa dimaknai sebagai besarnya harapan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Harapan atas tugas kepolisian yang menjadi pengayom dan melayani masyarakat.

Dalam Polisi yang Elegan Untung S. Radjab (mantan Kapolda Metro Jaya) menyebutkan, secara universal fungsi polisi adalah menjaga ketertiban masyarakat. Dalam fungsi tersebut terkandung tugas-tugas yang diembannya antara lain menegakkan hukum, melayani dan mengayomi masyarakat dan sebagainya.

Kisah penangkapan kedua pemuda oleh Polres Sula itu juga mengingatkan kita kepada karya Arthur Asa Berger (Profesor Emeritus San Fransisco State Unversity) tentang Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo. Dalam kisah itu diterangkan seorang inspektur kepolisian ketika menangani kasus pembunuhan “diolok-olok” oleh mereka yang disebut sebagai ahli posmodernisme.

Alih-alih menangkap mereka dalam sebuah kasus pembunuhan. Justru inspektur kepolisian yang bernama Solomon Hunter itu mampu membongkar pembunuhan “bapak posmodernisme Amerika Serikat” dengan cara menjelaskan berbagai skenario pembunuhan dengan teori posmo.

Jika dibandingkan dengan kasus 2 pemuda Kepulauan Sula itu, bukankah tindakan kepolisian seharusnya juga demikian? Mempelajari humor Gus Dur dengan seksama ketimbang bertindak menangkap kedua pemuda itu yang pada akhirnya menuai hujatan. Justru tindakan demikian membenarkan humor Gus Dur bahwa hanya 3 polisi yang jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng yang merupakan Kapolri ke-5 Indonesia.

Karena itu, kepolisian perlu berubah untuk menjadi polisi yang elegan di usianya yang sudah 74 tahun. Polisi seperti ungkapan orang bijak perlu belajar dan memiliki kecerdasan dari waktu ke waktu untuk menyempurnakan dirinya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. [Kristian Ginting]