Ilustrasi polemik Sultan Hamid II dan kekerasan agresi militer Belanda/Koran Suluh Indonesia

Koran Sulindo – Bermula dari ucapan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono yang menyebut Sultan Hamid II sebagai pengkhianat. Itu diucapkan Hendropriyono ketika menjadi narasumber dalam saluran Youtube Agama Akal TV pada pekan pertama Juni lalu yang membahas usulan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional.

Hendropriyono menyebut Sultan Hamid II bukan pejuang bangsa Indonesia. Sultan Hamid II disebut Hendropriyono sebagai pihak yang pro kepada Belanda. Bahkan pernah ditugasi Kerajaan Belanda untuk memerangi Indonesia.

“Pada 1950 ketika rakyat ingin kembali menjadi Negara Kesatuan RI, Sultan Hamid II justru tetap ingin menjadi negara federalis karena ingin tetap jadi Sultan Pontianak. Ia juga berkomplot dengan (Kapten) Raymond Westerling,” kata Hendropriyono.

Dalam tulisan Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional yang dimuat Historia, Sultan Hamid II bernama lengkap Sultan Syarif Hamid Alkadrie dari Kesultanan Pontianak. Ia merupakan anak dari pasangan sultan ke-6 Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Syecha Jamilah Syarwani.

Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913. Menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Lalu melanjutkan ke Hogeere Burger School (HBS) di Bandung dan HBS V di Malang.

Kemudian sempat ke Technische Hooge School (THS) –sekarang Institut Teknologi Bandung– namun kemudian lebih memilih Akademi Militer Belanda (Koninklijke Militaire Academie) di Breda, Belanda. Dan resmi menjadi sultan ke-7 dari Kesultanan Qadriyah Pontianak pada 1945–1978.

Menanggapi ucapan Hendropriyono itu, Kesultanan Pontianak meradang. Pasalnya, mereka berupaya mengusulkan agar Sultan Hamid II ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Karena itu, Kesultanan Pontianak melaporkan Hendropriyono ke Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Lepas dari polemik itu dan juga usulan tentang menjadikan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, yang menarik adalah menelusuri jejak kekejaman Belanda setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kekejaman Belanda itu acap disebut sebagai agresi militer pertama dan kedua. Terutama pada periode 1945 hingga 1949.

Penelitian sejarawan Swiss-Belanda Remy Limpach berjudul De brandende kampongs van generaal Spoor mengungkap kekerasan militer Belanda secara sistematis dan terstruktur dalam perang kemerdekaan Indonesia periode 1945 hingga 1949. Hasil penelitiannya itu menyebut militer Belanda melakukan kekerasan ekstrem secara terstruktur terhadap rakyat Indonesia.

Limpach juga mengungkap bagaimana tentara Belanda melakukan kekerasan ekstrem dengan masuk ke kampung-kampung di seluruh pelosok negeri, lalu membakarnya. Kapten Raymond Westerling menjadi salah satu contoh nyata betapa kebiadaban tentara Belanda bukan sekadar isapan jempol.

Limpach mencatat tindakan tentara Belanda tidak hanya sebatas itu. Selain pembakaran, penyiksaan tahanan perang yang berujung pada penembakan, tentara Belanda juga disebut menembak secara membabi buta rakyat di berbagai kampung-kampung hingga menewaskan banyak warga sipil. Berdasarkan fakta itu, Limpach lalu menyebutnya sebagai tindakan kekerasan ekstrem dan terstruktur.

Dalam tulisan berjudul Kekerasan Ekstrem: Sejarah Sepihak Belanda dan Kerja Sama yang Timpang mengulas tentang penelitian Limpach disebutkan soal skala tindakan kekerasan, motif yang melatarbelakanginya, penyusunan laporan, pemutusan hukuman, cara menutup-nutupi kejadian, pengendalian, pencegahan, perlawanan, dan penyebabnya. Juga membahas bentuk-bentuk kekerasan, satuan-satuan militer Belanda yang terlibat kekerasan ekstrem, serta sikap terhadap kekerasan yang terjadi.

Kekerasan Ekstrem
Kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda itu acap menyasar korban dari warga sipil di luar keadaan perang tanpa kepentingan dan tujuan yang jelas. Kekerasan ekstrem turut menyasar pejuang Indonesia yang dilucuti dan menjadi tawanan yang mengalami penyiksaan keji. Kekerasan ekstrem juga disebut sebagai kekerasan massal yang dilakukan dengan membakar kampung-kampung dan mengeksekusi secara massal penduduk desa. Segala kekerasan ekstrem yang terjadi diketahui, disetujui, atas perintah dan kewenangan dari otoritas tinggi militer Belanda saat itu.

Dalam penelitiannya ini, Limpach banyak menggunakan data, arsip, buku Belanda dan literatur Indonesianis. Di sinilah kritik terhadap Limpach. Ia tidak menggunakan arsip dan literatur dari Indonesia. Ia abai bahwa korban kekerasan ekstrem militer Belanda itu justru dari rakyat Indonesia. Ia tidak mencoba mendalami atau mendengarkan suara-suara korban Indonesia, para penyintas perang kemerdekaan, pejuang, dan veteran Indonesia.

Limpach beralasan, kerangka dan fokus penelitiannya menyajikan sejarah dari sudut pandang kolonial Belanda. Keraguan – kalau bukan kritik – terhadap penelitian Limpach itu juga datang dari Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang dipimpin oleh Jeffry Pondaag. Pasalnya, pemerintah Belanda sudah pernah menolak usulan penelitian terkait dengan dekolonisasi, kekerasan dan perang Indonesia selama 1945 hingga 1950.

Akan tetapi, hanya karena penelitian Limpach pada 2016, tiba-tiba pemerintah Belanda menyetujui usulan penelitian dari 3 lembaga yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV); Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD); serta Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) disetujui pemerintah Belanda.

Nilainya pun fantastis: 4,1 juta euro atau setara sekitar Rp 64 miliar. Penelitian ini akan meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Karena itu, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda menduga penelitian Limpach itu merupakan salah satu cara pemerintah Belanda untuk mengambil keputusan tersebut. Terlebih Limpach bekerja untuk NIMH.Bahkan Yayasan KUKB ini menilai temuan-temuan penelitian Limpach itu bukan sesuatu yang baru.

Lembaga lainnya yang meragukan independensi Remy Limpach adalah Majority Perspective. Salah satu peneliti Majority Perspective Michael van Zeijl menuduh penelitian Limpach dan lembaganya yaitu NIMH tidaklah independen. Terlebih NIMH berperan membantu pemerintah Belanda dalam menyangkal tuntutan pengadilan para korban Indonesia dalam agresi militer Belanda.

Penelitian Limpach dan NIMH, menurut Van Zeijl, mengabaikan suara-suara kritis yang gencar mengkritik proyek penelitian pemerintah Belanda soal dekolonisasi, kekerasan dan perang Indonesia selama 1945 hingga 1950. Ditambah lagi penelitian NIMH sangat berpihak kepada pemerintah Belanda yang kemudian digunakan untuk membantah klaim korban Indonesia dalam agresi militer di pengadilan.

Salah satu contoh bagaimana NIMH berpihak kepada pemerintah Belanda terkait dengan kasus pengadilan Abu Bakar Lambogo yang diperjuangkan oleh Yayasan KUKB di pengadilan Belanda. Dalam kasus itu NIMH bertugas memverifikasi data-data yang menyandarkan kepada arsip-arsip Belanda. Karena tidak ada dalam arsip Belanda, maka kasus Abubakar Lambogo yang dieksekusi tentara Belanda dengan dipenggal kepalanya disangkal.

Seperti dahulu kala, pemerintah Belanda memang seringkali menyangkap kekejaman-kekejamannya ketika menjajah Indonesia selama bertahun-tahun. Akan tetapi, apa yang dialami Abubakar Lambogo itu bukanlah kisah fiksi yang dibuat selayaknya dongeng tidur untuk anak kecil. Kekejaman Belanda lewat aparat militernya nyata adanya. Di Sulawesi Selatan itu seperti diungkap Soekarno ada 40 ribu orang yang menjadi korban kebiadaban Kapten Raymond Westerling.

Itu terungkap dari pesan anak Abubakar Lambogo. Surat elektronik itu diterima Ketua Yayasan KUKB Jeffry Pondaag pada awal 2016. Pesan itu datang dari Enrekang, Sulawesi Selatan dan atas nama anak dari Abubakar Lambogo. Sosok ini merupakan tokoh militer Indonesia berpangkat kapten pada 1947. Ketika itu, militer Belanda tiba di Sulawesi Selatan pada 1946 hingga 1947 di bawah pimpinan Kapten Westerling.

Malik – demikian nama anak Abubakar Lambogo – meminta kepada Jeffry untuk membantunya menggugat pemerintah Belanda karena perlakuan militer Belanda terhadap ayahnya: Abubakar Lambogo. Menurut Malik, tentara Belanda membunuh ayahnya pada 1947 dengan menusuk kepalanya dengan bayonet lalu memenggalnya dan menggantungnya di tiang salah satu pasar di Sulawesi Selatan.

Nama lengkap ayah Malik adalah Kapten Andi Abubakar Lambogo. Ia merupakan keturunan bangsawan dan dihormati di Sulawesi Selatan. Sebelum dieksekusi, pasukan Abubakar Lambogo sempat adu senjata dengan tentara Belanda di bawah pimpinan Westerling di Desa Salu Wajo, pada 13 Maret 1947. Selama pertempuran itu, Abubakar sempat tertembak di pahanya. Militer Belanda berhasil menangkapnya dan membawanya sebagai tawananan.

Setelah itu, Abubakar dieksekusi dengan cara kepalanya dipenggal. Malik menyampaikan informasi tersebut dilengkapi dengan koran Indonesia yang terbit pada masa itu. Bahkan ada foto yang disertakan tentang Abubakar pada 1940. Dari kisah ayahnya itu, Malik ingin pemerintah Belanda meminta maaf kepada rakyat Indonesia secara umum.

Malik ingin meminta pertanggungjawaban pemerintah Belanda yang selama periode agresi militernya justru bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Semestinya, sebagai tahanan perang, Abubakar mesti diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa.

Kendati kekejaman-kekejaman ini merupakan fakta yang nyata, tetapi masih saja pemerintah Belanda menyangkal hal tersebut. Itu sebabnya, wajar jika rakyat Indonesia masih memiliki tingkat penolakan yang tinggi terhadap pemerintahan Belanda. Dan jika dikaitkan dengan konteks Sultan Hamid II itu, wajar jika penolakan terhadapnya cukup besar dan luas. Sebab, pada masa agresi militer Belanda, Sultan Hamid II justru bangga menerima anugerah dari Kerajaan Belanda sebagai Ajudan Istimewa Ratu Wihelmina dengan pangkat mayor jenderal. [Kristian Ginting]