Koran Sulindo – Kendati penjemputan paksa terhadap dua wartawan di Medan, Sumatra Utara (Sumut) mendapat kecaman, Kepolisian Daerah (Polda) Sumut berkeras memproses hukum keduanya. Alasan kepolisian adalah berita yang dibuat kedua wartawan tersebut hoaks dan mencemarkan nama baik Kapolda.
Kedua wartawan yang dijemput paksa itu adalah Jon Roi Tua Purba dan Lindung Silaban, pengelola media daring Sorot Daerah. Dan kini media daring itu sudah tidak bisa diakses lagi. Setelah diverifikasi wartawan, Kapolda Sumut Paulus Waterpaw menuturkan, pihaknya tidak melaporkan secara pribadi kedua wartawan itu.
Laporan terhadap kedua wartawan itu adalah model A yang berarti penyidik kepolisian Sumut sebagai pelapornya. Munculnya berita tentang dirinya di media daring itu sebut Paulus tendensius, subjektif dan tidak berdasarkan fakta. Berita tersebut berkaitan dengan kedekatan Paulus dengan seorang pengusaha bernama Mujianto dan dugaan menerima gratifikasi.
Ia mengaku pernah bertemu Mujianto, namun baru dua kali saja. Pertama, ketika kegiatan pengobatan katarak yang dilaksanakan di Rumah Sakit Polri di Tebing Tinggi dan kebakaran rumah Brimob ketika dibantu Tzu Chi. Ia memastikan kedua wartawan itu kini berstatus tersangka karena beberapa berita dianggap ada unsur pencemaran nama baik dan hoaks.
Dalam pemberitaan Sorot Daerah, Paulus disebut “mesra” dengan Mujianto selaku Ketua Yayasan Budha Tzu Chi. Padahal, menurut Sorot Daerah, Mujianto berstatus tahanan kota karena kasus penipuan tanah senilai Rp 3 miliar. Berdasarkan komentar Direktur Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan Peradilan (Pushpa) Muslim Muis, Sorot Daerah menduga ada kesepakatan antara Mujianto dengan Kapolda.
Penangkapan terhadap wartawan ini dikecam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Dalam keterangan resminya, AJI merasa keberatan dengan cara-cara penjemputan paksa wartawan tersebut. AJI menilai tindakan kepolisian sangat bertentangan dengan kebebasan pers yang diatur dalam Undang Undang Pers Tahun 1999.
Ketua AJI Medan, Agoez Perdana menilai, pemblokiran terhadap media daring milik Jon Roi bertentangan dengan UU Pers. Di dalam UU Pers disebutkan tidak ada penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran terhadap pers nasional. Mereka yang melanggar UU Pers bisa dikenakan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Dewan Pers dan kepolisian juga telah menandatangani nota kesepahaman tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan. Polda Sumut karena itu, kata Agoez, menghentikan proses penyelidikan dan selanjutnya harus berkoordinasi kepada Dewan Pers terkait adanya kasus dugaan tindak pidana di bidang pers. [KRG]