Polda Jabar Janji Kaji Ulang Kasus Penjarahan Ruko yang di SP3

Budi Hartono Tengadi

Koran Sulindo – Kasus perusakan, penjarahan dan keterangan palsu yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat berpeluang dibuka kembali. Sebelumnya kasus dengan pelapor Budi Hartono Tengadi tersebut sempat dihentikan atau SP3.

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko menjanjikan pihaknya akan mempelajari atau meneliti terlebih dahulu kasus tersebut.

“Kami akan mempelajari dan ranahnya adalah fungsi pengawasan internal akan melakukan penelitian terhadap perkara yang dimaksudkan,” kata Trunoyudo saat dikonfirmasi,  Jumat (17/5).

Trunoyudo menambahkan penyidik tak menutup kemungkinan bakal membuka ulang kasus tersebut sepanjang mengacu pada undang-undang yang berlaku. “Sesuai aturan UU. Terima kasih sudah menjadi sarana kontrol sosial,” kata Trunoyudo.

Seperti diketahui, sebelumnya Budi Hartono Tengadi membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Ia mengaku mengalami ketidakadilan dalam kasus yang menimpanya.

Budi menyurati Kapolri atas dugaan ketidakprofesionalan oknum anggota Polri dalam menangani laporannya di Ditreskrimum Polda Jabar terkait perusakan, penjarahan dan keterangan palsu.

Budi membuat laporan atas kasus yang menimpanya dengan laporan polisi nomor LP/680/VII/2017/Bareskrim tertanggal 12 Juli 2017 dengan terlapor Swasta Permana Tanujaya, Ketua LBH Baladhika Karya Adhi Ramdhani dan Advokat Wahyu Setiazie sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP.

Dia juga sudah mengajukan praperadilan atas kasusnya di Pengadilan Negeri Bandung. Putusan pengadilan memerintahkan agar segera dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dan tindakan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana yang berada di dalam tempat dan penguasaan terlapor.

Selain putusan praperadilan tersebut, Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim Polri juga telah memerintahkan Direskrimum Polda Jabar untuk menindaklanjuti secara profesional, proposional, objektif, transparan dan akutabel serta mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) kepada pihak pelapor secara periodik. Hanya saja hingga sampai saat ini perintah tersebut belum juga dijalankan.

Menurut Budi, awal mula kasus perusakan dan penjarahan terjadi ketika dia dan terlapor telah mengadakan hubungan sewa-menyewa sebuah ruko di Bandung. Namun sebelum proses berakhir terlapor bersama sekelompok massa yang diduga berasal dari organisasi masyarakat  langsung mengeluarkan barang-barang dari dalam ruko tanpa izin dirinya.

“Secara paksa mereka membawa ke tempat milik terlapor yang mengakibatkan barang saya rusak dan hilang tanpa pertanggungjawaban dari terlapor,” kata Budi.

Sebelum proses pengeluaran paksa barang-barang miliknya, siang harinya Budi juga mendapatkan tekanan dan tindakan persekusi dari puluhan anggota ormas tersebut. Ia juga mengaku mendapat ancaman dan bahkan diintimidasi terkait keselamatan dirinya.

Sayangnya beberapa bulan setelah kasus tersebut dilaporkan justru penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Alasannya, laporan tersebut masuk dalam ranah perdata bukan pidana.

“Ini sangat bertentangan dengan penyataan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang menyebut persekusi merupakan pelangaran hukum yang tak termasuk delik aduan. Tanpa adanya aduan masyarakat, polisi bisa langsung memprosesnya,” kata Budi.

Budi juga telah melaporkan kasus ini ke Itwasum Mabes Polri dalam laporan yang tecantum dengan Nomor B/1175/II/WAS.2.4/2018/Itwasum telah merekomendasikan kepada penyidik Ditreskrimum Polda Jabar untuk melakukan pengkajian kembali atas laporan tersebut.

“Sebagai masyarakat pencari keadilan, saya merasa sangat dirugikan akibat sikap penyidik Polda Jabar. Karena itu saya menyampaikan persolan saya kepada Bapak Kapolri melalui surat terbuka. Dengan harapan kasus tersebut dapat dibuka kembali,” kata dia. (YMA/TGU)