Sejarah dunia dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang meninggalkan jejak mendalam, baik dalam kemajuan maupun kehancuran suatu bangsa. Beberapa di antaranya dikenang sebagai pemimpin visioner yang membawa perubahan positif, sementara yang lain justru diingat sebagai sosok yang menebarkan teror dan penderitaan bagi rakyatnya.
Salah satu nama yang tak bisa dilepaskan dari sejarah kelam abad ke-20 adalah Pol Pot. Ia dikenal sebagai arsitek utama rezim Khmer Merah yang bertanggung jawab atas salah satu genosida paling mengerikan dalam sejarah manusia.
Namun, sebelum ia menjadi penguasa otoriter yang menumpahkan darah jutaan rakyatnya, Pol Pot adalah seorang anak yang lahir dari keluarga berkecukupan di pedesaan Kamboja. Masa kecil dan pendidikannya memainkan peran penting dalam membentuk ideologi serta pandangan hidupnya. Akses yang ia miliki ke lingkungan kerajaan, pendidikan di institusi bergengsi, serta pengalaman hidupnya di luar negeri, khususnya di Prancis, ia membentuk pemikiran radikal yang kelak akan mengubah nasib negaranya secara drastis.
Bagaimana perjalanan awal hidup Pol Pot? Apa yang membuatnya berpaling dari jalur akademik dan memilih jalan revolusi? Untuk memahami tragedi yang ditimbulkan oleh kepemimpinannya, kita harus terlebih dahulu melihat latar belakang serta pendidikan yang membentuk sosoknya.
Latar Belakang dan Pendidikan Pol Pot
Dikutip dari berbagai sumber, Pol Pot lahir dengan nama Saloth Sâr pada 19 Mei 1925 di Prek Sbauv, sebuah desa di Provinsi Kampong Thom, yang saat itu merupakan bagian dari Kamboja Prancis. Ia berasal dari keluarga petani kaya keturunan Tionghoa-Khmer dan merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Kakaknya, Roeung, adalah seorang selir Raja Sisowath Monivong, yang memberikan Pol Pot akses ke lingkungan kerajaan sejak usia muda.
Dalam masa pendidikannya, Pol Pot bersekolah di École Miche, sebuah sekolah Katolik di Phnom Penh, lalu melanjutkan ke Lycée Sisowath. Pada tahun 1949, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar teknik radio di Paris. Namun, studinya tidak pernah selesai karena ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergabung dengan Partai Komunis Prancis dan organisasi rahasia bernama Lingkaran Marxis. Di sinilah pemikirannya mulai dipengaruhi oleh ideologi komunis radikal.
Kebangkitan Khmer Merah dan Puncak Kekuasaan
Setelah kembali ke Kamboja pada tahun 1953, Pol Pot terlibat dalam gerakan Marxis-Leninis Khmer Việt Minh yang berjuang melawan kolonialisme Prancis. Aktivitas politiknya semakin intens ketika ia bergabung dengan Partai Komunis Kamboja, yang kemudian dikenal sebagai Khmer Merah. Pada tahun 1963, ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal partai dan mulai merancang pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan Raja Norodom Sihanouk.
Pada tahun 1970, sebuah kudeta yang didukung Amerika Serikat menggulingkan Norodom Sihanouk dan mengangkat Lon Nol sebagai pemimpin baru Kamboja. Melihat situasi ini, Pol Pot justru menjalin aliansi dengan Sihanouk untuk melawan pemerintahan baru. Dengan dukungan dari Vietnam Utara dan Việt Cộng, Khmer Merah semakin kuat dan akhirnya berhasil merebut Phnom Penh pada 17 April 1975.
Ketika Pol Pot berkuasa sebagai Perdana Menteri Demokratik Kamboja pada tahun 1976, ia menerapkan kebijakan ekstrem untuk menciptakan masyarakat agraris sosialis. Kota-kota dikosongkan, dan penduduk dipaksa bekerja di ladang kolektif tanpa bayaran. Segala bentuk budaya dan tradisi dihancurkan, sementara uang, agama, dan kepemilikan pribadi dihapuskan. Orang-orang yang dianggap kontra-revolusioner dieksekusi tanpa peradilan.
Akhir Kekuasaan dan Warisan Kelam
Kebijakan ini memicu malapetaka besar bagi rakyat Kamboja. Sekitar 1,5 hingga 2 juta orang tewas akibat eksekusi massal, kerja paksa, kelaparan, dan penyakit. Salah satu bukti kekejaman ini adalah Killing Fields, tempat eksekusi massal di mana lebih dari satu juta korban dikuburkan dalam kuburan massal. Penjara Tuol Sleng atau S-21 menjadi simbol kengerian lain di mana ribuan tahanan disiksa sebelum akhirnya dieksekusi.
Kekuasaan Pol Pot berakhir ketika Vietnam menginvasi Kamboja pada Desember 1978. Serangan ini dipicu oleh agresi lintas batas yang dilakukan oleh Khmer Merah. Pada Januari 1979, Pol Pot dan pasukannya melarikan diri ke perbatasan Thailand dan terus melakukan perang gerilya hingga akhir 1990-an.
Pol Pot tetap aktif dalam gerakan Khmer Merah hingga akhirnya ditangkap oleh komandannya sendiri, Ta Mok, pada tahun 1997. Ia meninggal dalam tahanan rumah pada 15 April 1998 tanpa pernah diadili atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Warisan kepemimpinan Pol Pot meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Kamboja. Museum Tuol Sleng dan Killing Fields kini menjadi tempat peringatan untuk mengenang para korban. Meskipun beberapa pemimpin Khmer Merah akhirnya diadili dalam Pengadilan Kejahatan Perang Kamboja, Pol Pot sendiri tidak pernah menghadapi pengadilan internasional. Tragedi ini menjadi pengingat akan bahaya ekstremisme ideologi dan pentingnya keadilan bagi para korban kejahatan kemanusiaan. [UN]