Koran Sulindo – Perayaan ulang tahun ke-38 Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada Juli 1965 itu seperti pameran pertunjukan keunggulan jumlah massa. Tak hanya di Jakarta, perayaan itu juga diselenggarakan di seluruh daerah di Indonesia. Akademisi J. Eliseo Rocamora, dalam “Nasionalisme Mencari Ideologi”, mengatakan acara itu dihadiri total sekitar 14 juta orang.
Dalam masa kepemimpinan Ali Sastroamidjojo itu, PNI memang berkembang pesat selama 5 tahun terakhir. Peran PNI di pentas politik nasional bangkit kembali setelah Kongres IX di Solo, Juli 1960. Dalam kongres itu Ali Sastroamidjojo terpilih sebagai ketua umum, dan langsung melakukan perubahan organisasi. Partai membuka peluang para aktvis muda yang berhaluan nasionalis-radikal untuk berkiprah di jajaran DPP, DPD, hingga ke tingkat cabang. Perwakilan ormas dalam pimpinan partai meningkat pesat. Jumlah kader partai juga membengkak cepat.
Puncaknya pada 3 Juli di Stadion Senayan, hadir sekitar 100.ooo hadirin, meluber hingga luar stadion. Kasat mata jumlah itu mengalahkan peserta acara ultah Partai Komunis Indonesia(PKI) yang digelar di tempat sama tak lama sebelumnya.
Presiden Soekarno yang dijadwalkan memberikan pidato dalam acara tersebut sempat ternganga menyaksikan lautan manusia itu. Kalimat pertama yang diucapkan Bung Karno sebelum orasi adalah: “Bukan main!“
Hanya keajaiban nampaknya yang bisa mengubah kejayaan partai politik pemenang pemilihan umum yang diselenggarakan 10 tahun sebelumnya dan penguasa parlemen dalam 1 dasawarsa terakhir itu.
Namun keajaiban, atau kemalangan, itu terjadi juga. Pada 1 Oktober 1965 dinihari hampir semua jenderal yang mengisi posisi kunci di ketentaraan dibunuh dalam peristiwa yang kemudian disebut Bung Karno Gerakan Satu Oktober (Gestok) itu.
Kudeta gagal itu menjadi titik balik kekuasaan Bung Karno. PNI, pengikut setia ajaran Bung Karno, terkena imbasnya. Partai itu terus-menerus digencet dan gagasan dan ide kaum nasionalis dipinggirkan selama lebih 3 dasawarsa rezim yang menamakan diri Orde Baru itu berkuasa.
Pada 9 Maret 1970, PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik mencetuskan “Deklarasi 9 Maret”, pernyataan kesediaan bekerja sama dalam satu kelompok ”Demokrasi Pembangunan”. Kelak kelima partai itu melebur jadi satu dalam fusi dan berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Simbol Perlawanan
Setelah itu Indonesia menyaksikan Bung Karno, PNI, dan kaum nasionalis yang digencet terus. PNI adalah anak kandung Bung Karno pergerakan nasional, dan apapun yang berbau-bau Soekarno dan nasionalis terus dipinggirkan.
Juga Megawati Soekarnoputri. Anak kedua Bung Karno dari pernikahan dengan Fatmawati itu tidak bisa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (1965-1967) dan di Fakultas Psikologi UI (1970-1972). Semasa kuliah di Bandung, Megawati adalah aktivitas GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), underbouw PNI.
Adis, begitu Soekarno memanggil putri pertama itu, pendiam, sabar, dan tabah seperti lazimnya seorang ibu rumah tangga.
Namun perilaku dan sikap Megawati itulah mungkin, yang membuatnya tidak berbahaya ketika ia mulai masuk ke kancah politik pada 1986. Pilihan Mega sudah pasti PDI, partai fusi di mana PNI bergabung bersama partai nasional lainnya.Megawati terpilih menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1987. Tahun yang sama ia menjadi Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Ia diam selama itu di DPR. Namun diam-diam dan pelan-pelan membangun jaringan politik internal yang kuat. Orde Baru Soeharto nampaknya belum menyadari sosok Megawati. Ia melenggang hingga Pemilu 1992.
Perlahan tapi pasti, Megawati menjadi tokoh besar dalam PDI menjelmakan simbol dominasi kekuatan PNI dalam partai bentukan rezim itu.
Orde Baru kaget saat Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada 1993, yang awalnya direncanakan Soeharto untuk menurunkan Soeryadi yang dianggap mbalelo malah berubah haluan. Megawati tiba-tiba menyatakan siap memimpin PDI. Dalam pandangan umum kongres itu, hampir seluruh cabang PDI mendukungnya sebagai simbol kebangkitan PDI dan darah biru Soekarno.
Orde Baru lalu mencoba mengintervensi, lewat militer, dengan cara mengulur-ulur waktu Sidang Pemilihan Ketua Umum PDI hingga izin acara habis.
Namun hanya dalam hitungan menit sebelum kongres dinyatakan berakhir, Megawati mengadakan konferensi pers dan menyatakan secara de facto terpilih sebagai Ketua Umum PDI, soal legalitasnya akan ditentukan dalam Munas yang akan digelar di Jakarta. Munas akhirnya memang menetapkan Megawati sebagai Ketum PDI 1993-1998.
Orba tak diam. Menjelang Pemilu 1997 menggelar Kongres Luar Biasa PDI di Medan dan mengangkat kembali Suryadi sebagai Ketua Umum.
Megawati melawan, bendera ia kibarkan. Kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat yang dikuasainya dipaksa pemerintah untuk dikosongkan. Ia bergeming.
Orde Baru merebut kantor itu dengan kekerasan dengan menyamar sebagai PDI pro Soeryadi. Banyak yang tewas dan hingga kini masih hilang setelah peristiwa 27 Juli 1996 itu.
Megawati telah membuat sejarahnya, dan dibantu krisis moneter yang mulai melanda tanah air tahun itu, gelombang perlawanan yang dimulai dari kantor PDI itu merambat ke jalanan. Anak kandung Bung Karno itu menjadi simbol perlawanan.
PDI pro-Megawati akhirnya berubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP) dan meraih 33 persen suara pada Pemilu 1999, jauh lebih besar dari suara yang diraih PNI pada Pemilu 1955. Pemilu 1999 adalah buah perjuangan dan kesabaran Megawati melawan rezim yang menumbangkan bapak kandungnya. Pemilu itu juga kembali melahirkan kaum nasionalis dalam perpolitikan Indonesia. [Didit Sidarta]