Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah itu muncullah bermacam partai politik yang didirikan berbagai kelompok aliran politik. Pada 7 November 1945 didirikan Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia). Bulan Desember 1945 berdiri Partai Sosialis, yang merupakan gabungan Partai Sosialis Indonesia yang dipimpinaAmir Sjarifudin dan Partai Rakyat Sosialis yang dipimpin Sutan Sjahrir.
Baca juga : Maklumat 3 November 1945: Selamat Datang Partai Politik
Selain itu juga bermunculan partai yang beraliran kiri. Pada 21 Oktober 1945, misalnya, didirikan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diketuai Mr Mohamad Jusuf. Tanggal 21 November 1945 berdiri Barisan Buruh Indonesia yang kemudian membentuk Partai Buruh Indonesia. Masih di bulan November 1945, para tokoh yang bersimpati kepada Tan Malaka membentuk Partai Rakjat Djelata. Partai-partai yang beraliran agama juga bermunculan, seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), Partai Katholik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Partai Nasional Indonesia (PNI) baru dibentuk lagi pada 29 Januari 1946 sebagai hasil fusi tujuh kelompok nasionalis: Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), PNI Madiun, Partai Republik Indonesia (yang dididirikan di Madiun oleh Dr Soeradji), PNI-Pati (yang dipimpin Sarino Mangunpranoto), Partai Kedaulatan Rakyat (yang didirikan Sujono Hadinoto di Yogyakarta), PNI-Sumatera (yang dipimpin Dokter AK Gani), dan PNI-Sulawesi (dipimpin Manai Sophiaan). Pembentukan PNI itu dideklarasikan dalam Kongres Serindo yang diselenggarakan di Kediri, Jawa Timur, 28 Januari sampai 1 Februari 1946. Dari komposisi pimpinan partai, falsafah, dan program partai tersebut tampak jelas PNI 1946 mewarisi ideologi PNI 1927.
Sebagai ketua dipilih Sarmidi Mangunsarkoro, yang sebelumnya menjabat Sekjen Serindo. Dalam jajaran pemimpin partai hasil kongres tersebut tercatat sejumlah tokoh nasionalis terkemuka, seperti Mr Sartono, Mr Wilopo, Sidik Djojosukarto, AK Gani, Manai Sophiaan, Mr Sumanang, dan Sudiro. Para anggota penting dewan partai punya hubungan akrab satu sama lain dalam PNI 1927, Partindo, dan kemudian Gerindo. Selama pendudukan Jepang, mereka juga menjalin kerja sama erat dengan Soekarno dalam birokrasi dan organisasi massa seperti Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Jawa Hokokai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, mereka terus membina hubungan yang erat dengan Soekarno dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Secara formal, ideologi PNI dirumuskan sebagai sosialisme-nasionalisme-demokrasi atau sosio-nasional-demokrasi, mengikuti dasar-dasar PNI 1927 dan Partindo yang dirumuskan Soekarno.
Baca juga : Gerak Sejarah PNI
Di masa revolusi kemerdekaan, praktis semua partai politik berdaya-upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari rongrongan pasukan dan pemerintah Belanda. Namun, di tengah suasana mempertahankan kemerdekaan itu, pertengahan September 1948 meletus Peristiwa Madiun – pemberontakan bersenjata yang melibatkan PKI/FDR. Tapi, pemberontakan PKI ini berhasil ditumpas pemerintah republik.
Perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya membuahkan hasil gemilang. Pada 27 Desember 1949, Kerajaan Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk wilayah Irian Barat (yang baru berhasil dibebaskan pada tahun 1963). Dan sejak tahun 1950 dimulailah apa yang disebut sebagai era demokrasi liberal atau demokrasi parlementer.
Pada tahun 1955, pemerintah menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama untuk memperebutkan 257 kursi parlemen. Pemilihan umum ini diikuti 36 partai politik. Hasil pemilu menunjukkan PNI dan Masjumi sebagai partai politik utama pada masa itu.
Kedua partai ini masing-masing memperoleh 57 kursi di parlemen, meski perolehan suara PNI mengungguli Masjumi. Lalu disusul Nahdlatul Ulama dengan 45 kursi dan PKI meraih 39 kursi.
Yang termasuk sebagai “partai sedang” adalah PSII (meraih 8 kursi), Parkindo (8 kursi), Partai Katolik (6 kursi), Partai Sosialis Indonesia (PSI, 5 kursi), Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti, 4 kursi), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI, 4 kursi), dan Partai Murba (2 kursi). Sisa kursi parlemen lainnya dipegang oleh puluhan partai kecil.
Dua partai besar, PNI dan Masjumi, kemudian memegang peran penting dalam perpolitikan nasional pasca-Pemilu 1955. Hal tersebut tampak dari komposisi parlemen (party politics), juga dalam posisi-posisi kunci dalam pembentukan kabinet (cabinet politics). Pada masa itu pula PNI dan Masjumi secara silih berganti memegang peran penting baik di parlemen maupun di dalam pemerintahan. Namun, dalam masa ini pula muncul “kuda hitam” PKI yang selalu berhasil merombak komposisi tersebut tergantung pada jauh-dekatnya dengan PNI. Dalam masa ini, PKI membuat loncatan jauh ke depan setelah Peristiwa Madiun tahun 1948. Dengan demikian, ketiga partai inilah yang memberi warna periode demokrasi parlementer tersebut.
Masa demokrasi parlementer ini ditandai dengan jatuh-bangunnya kabinet. Akibatnya, sistem politik Indonesia di masa itu dipenuhi ketidakstabilan. Banyak pihak menyalahkan perilaku partai-partai politik sebagai sumber dari kegagalan berjalannya demokrasi parlementer.
Mengenai kelemahan-kelemahan partai politik, Wilopo—mantan perdana menteri dan Ketua PNI—mengatakan: “Dengan multipartai dan sistem kabinet parlementer ternyata tidak dapat dibentuk pemerintahan yang kuat dan tahan lama. Negara berkembang memerlukan justru kabinet yang kuat dan tahan lama, karena memerlukan tonggak-tonggak perjalanan yang kukuh untuk permulaan hidupnya. Ini sebenarnya bukan salahnya sistem kabinet parlementer. Hal ini tergantung bagaimana kita sendiri memperbuatnya. Dari kalbu partai-partai politik sendiri dulu tidak ada ditentukan benih-benih perbaikan. Dalam keadaan demikian sudah barang tentu datang campur tangan dari luar.”
Meski dinilai gagal, perlu diakui pula periode demokrasi parlementer ini berjasa. Dalam bidang legislasi, misalnya, partai-partai melalui lembaga legislatif—baik DPR Sementara maupun parlemen hasil Pemilu 1955—sangat produktif dalam pembuatan undang-undang, yaitu rata-rata 29 dan 48 undang-undang per tahun. Dalam soal akuntabilitas politik, kinerka kedua parlemen itu juga pantas dipuji. Sekalipun menghadapi perang dengan Belanda, semua hasil perundingan dengan pihak Sekutu dibawa ke parlemen dan diterima baik, meski melalui perdebatan sengit.
PNI sendiri, meski tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, kerap dikritik sejumlah kalangan. Hasil Pemilu 1955 menunjukkan PNI tidak berhasil menggarap massa rakyat kecil di perkotaan Jawa serta wilyah di luar Jawa. Dalam pengamatan Rocamora, kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 justru telah mempercepat proses transformasi ke arah bentuk organisasi politik yang konservatif. Sejumlah besar pemimpin cabang—yang memiliki garis politik nasionalisme-radikal—kemudian duduk dalam parlemen dan Konstituante. Bersamaan dengan itu mulailah terjadi pergeseran-pergeseran sejumlah besar pemimpin cabang yang paling commited dan hal ini memudahkan masuknya para pendatang baru yang seringi berkarakter opurtunis. Wafatnya Sidik Djojosukarto, mantan Ketua Umum PNI yang secara garis politik dekat dengan Bung Karno, pada September 1956 telah membuat sayap nasionalis-radikal dalam PNI kehilangan figur teladan yang dominan.
Tampilnya Suwirjo dari kubu konservatif sebagai Ketua Umum PNI dalam Kongres PNI VIII di Semarang makin mengucilkan kubu nasionalisme-radikal. Kongres ini juga menghasilkan perubahan-perubahan penting pada struktur organisasi PNI. Dewan nasional partai yang dahulu terdiri dari suatu kelompok kecil yang ditunjuk dewan pimpinan pusat di dalam struktur baru diubah menjadi badan pekerja kongres, yang keanggotaannya diperluas dengan memasukkan anggota-anggota yang dipilih dewan pimpinan daerah. Badan pekerja ini juga memiliki kekuasaan yang lebih luas dalam penentuan garis politik partai. Perubahan-perubahan organisatoris tersebut nantinya akan mendatangkan kemunduran bagi PNI.
Baca juga : Bung Karno: PNI Bukan Main!
Bung Karno sendiri beberapa kali mengkritik para pemimpin PNI. Pada awal tahun 1960, pemimpin PNI bermain-main dengan ide untuk bergabung dengan Liga Demokrasi, suatu organisasi yang menentang rencana Presiden Soekarno untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Ketua Umum PNI Suwirjo baru mengumumkan perlawanan terhadap Liga Demokrasi setelah ditekan para pemimpin muda partai. Dan akhirnya, PNI menerima tanpa syarat gagasan DPR Gotong-Royong.
Peran PNI di pentas perpolitikan kembali penting setelah Presiden Soekarno mengumumkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang menandai Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]