Kampanye PNI pada masa Pemilu 1955. Foto: Life

Koran Sulindo – Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menjadi momentum penting bagi pergerakan kebangsaan Indonesia. Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Dua hari kemudian, 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah itu dimulailah masa pergolakan revolusi dan Perang Kemerdekaan melawan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia.

Sementara itu, dinamika perpolitikan nasional pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bergerak cepat. Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia dan tokoh utama pergerakan kebangsaan menginginkan terbentuknya sebuah “partai pelopor” atau “partai tunggal”.

Dalam sebuah pidatonya tanggal 23 Agustus 1945, Bung Karno menganjurkan untuk “… membangunkan suatu partai yang menjadi motor perjuangan rakyat dalam segala suasana dan lapangan, yaitu Partai Nasional Indonesia.… Apakah tujuan Partai Nasional Indonesia itu? Tujuannya ialah Republik Indonesia, membela Republik Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur bersandarkan kedaulatan rakyat. Dan apakah usahanya? Usahanya ialah memperkuat persatuan bangsa dan negara, memperbesar rasa cinta, setia, bakti kepada Tanah Air; mengikhtiarkan program ekonomi dan sosial sebagai tersebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, membantu tercapainya keadilan sosial dan perikemanusiaan dengan jalan perdamainan internasional….”

Pendirian partai pelopor itu dimaksudkan Bung Karno untuk menyesuaikan diri dengan keadaan revolusioner agar kekuatan-kekuatan politik tidak terpecah belah karena adanya banyak partai politik. Suatu partai politik yang bisa menjadi partai pelopor, menurut Bung Karno, haruslah partai yang punya asas perjuangan dan program yang 100% radikal: berjuang melenyapkan susunan masyarakat lama dan berjuang mewujudkan susunan masyarakat baru. Akan tetapi, bagi Bung Karno—ini inti pemikirannya—sebuah asas perjuangan dan program yang radikal akan menjadi “omong kosong” belaka, hanya akan menjadi aksara mati, jikalau partai tersebut “tidak membanting tulang membangkitkan massa aksi dan mengomando massa aksi ke arah surganya kemenangan.”

Dengan demikian, sebuah partai pelopor harus punya dua kriteria. Pertama: partai pelopor harus punya asas perjuangan dan program yang radikal. Kedua: partai pelopor harus aktif berjuang di tengah massa, membangkitkannya menjadi massa aksi, dan memimpin perjuangan massa aksi.

Lantas, bagaimana membangun sebuah partai pelopor? Kata Bung Karno lagi, yang pertama harus dilakukan adalah menyempurnakan diri: partai pelopor harus sempurna dalam keyakinan (ideologi), di dalam kedisiplinan, dan di dalam organisasinya. Partai pelopor harus mencetak kader yang teguh dan kukuh seperti baja. Disiplin partai pelopor meliputi tiga hal: disiplin teori, disiplin taktik, dan disiplin propaganda.Karena itu, kata Bung Karno, sebuah partai pelopor harus dipandu oleh sebuah teori revolusioner. Teori revolusioner ini harus dipasokkan kepada seluruh kader dan anggota melalui pendidikan reguler, kursus-kursus politik partai, majalah dan bacaaan-bacaan partai, dan sebagainya.

Selanjutnya, sebuah partai pelopor, kata Bung Karno, haruslah dibimbing oleh sebuah prinsip yang disebut democratisch centralisme (sentralisme demokrasi): sebuah prinsip kepemimpinan di dalam partai yang mengisyaratkan adanya kesatuan dalam aksi (tindakan). Prinsip sentralisme-demokrasi ini yang memberi ruang kepada kepemimpinan partai untuk memerangi setiap bentuk penyelewengan terhadap strijdpositie (posisi perjuangan) partai. Penyelewengan yang dimaksud Bung Karno adalah reformisme, amuk-amukan zonder (tanpa) pikiran, anarcho syndikalisme, dan penyelewengan ke arah perbuatan atau pikiran cap mata gelap.

Dalam menjalankan perannya, partai pelopor harus melakukan pekerjaan, pertama, mengolah kemauan massa dari onbewust (belum sadar) menjadi kemauan massa yang bewust (sadar). Bentukan dan konstruksi perjuangan, kata Bung Karno, harus diajarkan kepada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan mudah masuk dalam alam pikiran dan akal semangatnya. Untuk itu, kata Bung Karno, selain menjalankan pendidikan dan kursus politik kepada massa, partai pelopor juga harus punya majalah dan selebaran yang bertebaran seperti daun jati di musim kemarau. Selain itu, lanjut Soekarno, aksi massa harus dibuat beruntun-runtun seperti ombak samudra.

Kedua, partai pelopor harus mengobarkan keberanian massa untuk bangkit berjuang; memerangi segala bentuk reformisme yang menipu massa. Untuk itu, kata Bung Karno, partai pelopor mendidik massa dengan keinsyafan yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman langsung (ervaringen). Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membuka mata massa mengenai kebohongan-kebohongan dan kekosongan taktik reformisme.

Karena itu, partai pelopor harus mampu mengolah dan memperkaya pengalaman perjuangan massa dari hari ke hari; menyuluhi massa sambil berjuang di tengah-tengah massa. Menurut Bung Karno, perjuangan untuk aksi dan hasil kecil-kecilan tidak boleh ditinggalkan. Perjuangan kecil-kecilan atau perjuangan sehari-hari harus diletakkan dalam kerangka mengolah stridjvaardigheid (kemahiran berjuang) massa. Perjuangan sehari-hari, kata Soekarno, adalah suatu schooling, suatu training, suatu gemblengan tenaga menuju sesuatu yang lebih besar.

Singkat cerita, kata Bung Karno, partai dituntut untuk selalu menyatu dengan rakyat. Partai berkewajiban membangkitkan kekuatan rakyat, yakni kekuatan rakyat yang sadar politik, rakyat yang paham akan ideologi, politik, dan cara meraih cita-cita melalui jalan politik. Inilah, tegas Bung Karno sekali lagi, sosok partai politik yang secara nyata menjadi senjata rakyat dalam mengubah nasib mereka.

Namun, partai pelopor ini tak sempat berdiri. Bahkan sembilan hari kemudian, 1 September 1945, gagasan tentang “partai pelopor” itu diabaikan karena dianggap akan menyaingi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)—sebuah organisasi yang resminya adalah pembantu presiden, namun melaksanakan fungsi partai dan funsgi parlemen sekaligus.  Gagasan partai pelopor itu menjadi sirna ketika pada tanggal 3 November 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah, yang ditandatangani Wakil  Presiden Mohamad Hatta.