Penunjukan penjabat (Pj) Gubernur, Walikota dan Bupati dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Hal itu disebabkan semakin mengentalnya sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat.
Ketua dewan pers yang baru juga guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mengkritik penunjukan penjabat (Pj) gubernur dan wali kota saat ini. Menurut dia, penunjukan tersebut merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Menurut Azyumardi Indonesia telah mempunyai sistem otonomi daerah. Namun, penunjukan penjabat itu malah dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
“Demokrasi kita itu semakin cacat dengan proses resentralisasi,” kata Azyumardi dalam peringatan dan refleksi 24 tahun reformasi di Jakarta, Sabtu (21/5).
Ia juga mengingatkan bahwa sentralisasi adalah permasalahan utama Indonesia selama berpuluh tahun. Oleh sebab itu, masyarakat memperjuangkan reformasi pada 1998.
Sementara itu, salah satu buah reformasi adalah otonomi daerah. Ia menyayangkan kemunduran dengan penunjukan penjabat daerah tersebut.
“Ini bertolak belakang dengan reformasi. Kalau kita belajar dari sejarah, sentralisasi itulah yang kuat dijadikan perlawanan,” ujar Azyumardi.
Ia juga mengajak belajar dari sejarah mengenai pemberontakan di daerah dalam bentuk PRRI atau dalam bentuk perlawanan Daud Beureh, termasuk Permesta.
Azyumardi berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia harus direformasi karena terus mengalami kemunduran. Ia berharap reformasi kali ini bisa dilakukan dengan damai.
“Demokrasi kita harus direformasi. Karena demokrasi kita semakin koruptif, mahal, semakin merajalela praktik cukongisme. Jadi kita sekarang memerlukan reformasi jilid II yang damai,” ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian telah melantik lima penjabat (Pj) gubernur untuk lima provinsi pada Kamis (12/5). Penunjukan penjabat gubernur di sejumlah daerah ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan setelah masa jabatan kepala daerah tersebut habis. [DES]