Batu andesit di Bukit Pajangan, Purworejo. Foto: koranjuri.com

Koran Sulindo – Di Bukit Pajangan, Dukuh Makem Dowo, RT 2 RW 6 Desa Sidomulyo, Purworejo, Jawa Tengah, Ditemukan gugusan batu andesit berundak mirip piramida. Ketinggiannya mencapai kurang-lebih 200 meter, dengan luas kurang-lebih 200 hektare.

Menurut Turip (45 tahun), warga setempat, sebagaimana dikutip koranjuri.com, munculnya bebatuan yang tersusun rapi dan berundak itu terjadi setelah hujan lebat yang menyebabkan terjadinya longsor di Bukit Pajangan pada 19 Juni lalu. Namun, kabar adanya batu andesit berundak tersebut mulai menyebar ke masyarakat luas setelah ada yang menginformasikan ke media sosial di internet.

Hasil penelitian sementara pihak Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Putrworejo, batu-batu andesit yang mirip dengan yang ada di Gunung Padang, Jawa Barat, itu tersusun dengan rapi. Bangunan memiliki struktur batu andesit, berukuran panjang 150 centimeter dengan diameter 30-50 centimeter. “Ini menyerupai Gunung Padang. Ini mirip piramida,” kata Eko Riyanto dari Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Purworejo. Rencananya, para ahli geologi dan arkeolog dari Yogyakarta.

Di Purworejo memang pernah ditemukan prasasti batu andesi, yang dikenal dengan nama prasasti Kayu Ara Hiwang atau prasasti Boro Tengah. Sebutan yang terakhir itu terkait tempat ditemukannya prasasti, yakni di bawah pohon kayu sono di Dukuh Boro Tengah, tepi Sungai Bogowonto atau Sungai Watukura, yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Banyuurip. Namun, sejak tahun 1890, prasasti itu telah dipindahkan dan disimpan di museum yang kemudian bernama Museum Nasional, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dengan inventaris nomor 78. Pada prasasti Kayu Ara Hiwang disebutkan tahun Saka 823, bulan Asuji, hari kelima bulan Paro Petang, Vurukung Senin (wuku) Margasira, bersamaan dengan Siva, atau bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 901 Masehi.

Menurut prasasti itu, Purworejo dulunya bernama Bagelen. Daerah tersebut dibebaskan dari segala pajak atau menjadi derah perdikan, sebagai upaya memelihara tempat suci Parahyangan. [PUR]