Koran Sulindo – Pada akhir September lalu, cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra, menyatakan sikap untuk tidak menggunakan hak suaranya (golput) dalam Pilkada 2020 yang digelar secara serentak pada 9 Desember mendatang.
Eks Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu menyatakan sikapnya melalui cuitan laman Twitter dan unggahan Facebook pribadinya, hingga banyak dikutip media. Azyumardi Azra menjadikan sikapnya tersebut sebagai bentuk solidaritas bagi mereka yang wafat akibat pandemi Covid-19.
Sikap Azra tentu dapat dibaca sebagai bentuk protes terhadap keputusan pemerintah bersama parlemen yang tetap menggelar pilkada di tengah pandemi. Pemerintah bersama DPR memiliki argumen melanjutkan tahapan pilkada demi menjaga hak konstitusional rakyat dalam memilih dan dipilih. Sementara KPU memastikan proses pemilihan tetap mengedepankan protokol kesehatan yang ketat.
Langkah melanjutkan tahapan pilkada serentak sejatinya tidak mengejutkan mengingat, banyak negara yang telah berhasil menggelar pemilu di tengah pandemi. Amerika Serikat (AS) pada November nanti bakal memulai proses penghitungan suara untuk pemilu presiden (pilpres).
Polandia termasuk negara yang berhasil menggelar pilpres hingga dua putaran di tengah pandemi, karena sebanyak 20.636.635 dari total 30.268.543 pemilih terdaftar atau 68,18% menggunakan hak pilihnya.
Sedangkan Selandia Baru, Singapura, dan Korea Selatan (Korsel) telah lebih dulu melaksanakan pemilu parlemen. Korsel bahkan mampu mencatat rekor tingkat partisipasi pemilih tertinggi dalam 28 tahun terakhir yakni, mencapai 66,21% dari total 43.994.247 pemilih terdaftar, kendati dihelat di tengah pandemi.
Bayang-Bayang Golput
Gelagat bakal rendahnya partisipasi publik dalam pilkada serentak 2020 di Indonesia sudah dapat diprediksi pada masa awal pandemi. Survei Charta Politika yang dirilis Juli 2020 menyebut, 54,2% dari 2000 responden yang tersebar dan dipilih secara acak di seluruh Indonesia, menyatakan tidak setuju apabila pilkada serentak digelar pada Desember mendatang.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dilakukan selama 24-30 September menyebutkan, 57,4% dari total 1200 responden yang tinggal di wilayah yang melaksanakan pilkada, 47,9% diantaranya meminta pilkada ditunda akibat pandemi. Bahkan hanya 3,3% dari responden yang menyatakan mau mendatangi tempat pemilihan suara (TPS) pada Desember mendatang.
Data tersebut sudah pasti menggambarkan tingginya potensi golput pada pilkada serentak 2020. Bukan tidak mungkin pilkada serentak kali ini menjadi pilkada dengan tingkat partisipasi publik terendah sejak rezim pilkada serentak berlaku.
Pilkada serentak digelar pertama kali pada 2015. Tingkat partisipasi pemilih mencapai 70%. Pilkada serentak 2017 naik menjadi 74,2%. Sedangkan pilkada serentak 2018 turun menjadi 73,24%.
Dengan begitu, para kandidat yang berlaga pada pilkada serentak 2020 yang bakal dihelat di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, termasuk kandidat yang bakal bertarung dengan kotak kosong, memiliki beban lebih untuk mampu menarik partisipasi pemilih.
Maka tidaklah berlebihan bila menjadikan pilkada serentak kali ini sebagai ujian sesungguhnya bagi para calon pemimpin serta mesin partai politik pengusung untuk menegakan demokrasi, bukan menjadikan pandemi sebagai dalih minimnya partisipasi pemilih.
Apabila para kandidat yang bertarung memiliki rasa tanggung jawab menegakan demokrasi yang tinggi, bisa jadi pilkada serentak kali ini bisa keluar dari bayang-bayang golput. Indonesia mampu mengikuti prestasi negara-negara sebelumnya yang berhasil menjaga kualitas demokrasinya dengan menggelar pemilu di tengah pandemi.
Para paslon yang mampu menunjukan mutu demokrasi yang baik, bakal menjadi kepala daerah yang mumpuni bahkan bisa dijadikan modal untuk maju ke level kepemimpinan nasional. Sebab mereka mampu meningkatkan gairah publik untuk memilih di masa sulit.
Memburu Kualitas
Pengamat politik, Emrus Sihombing tidak menampik pandangan yang menyatakan, pelaksanaan pilkada kala pandemi merupakan ujian berat bagi para kandidat dan mesin partai lantaran Covid-19. Malahan dia meyakini, pilkada serentak kali ini merupakan momentum yang tepat bagi para kandidat menunjukan mereka merupakan politisi negarawan yang lebih mengedepankan kualitas demokrasi.
Politisi negarawan yang dimaksud Emrus adalah mereka yang menghendaki tingginya partisipasi pemilih karena publik tergerak untuk memilih lantaran ide yang ditawarkan. Mereka bakal berupaya meyakinkan pemilih, bahkan menjadikan pandemi Covid-19 sebagai diskursus yang bisa ditangani.
“Para kandidat politisi negarawan harus memiliki strategi agar partisipasi pemilih di pilkada yang diikutinya tinggi, misalnya minimal partisipasi pemilih 70%. Untuk mengejar target itu tentu mereka harus menawarkan inovasi agar masyarakat tergerak untuk memilih. Inilah potret politisi negarawan,” kata Emrus.
Sikap politisi negarawan tersebut dapat menghindari rendahnya partisipasi pemilih pada pilkada kali ini. Sebaliknya, jika politisi yang berkontestasi hanya mengejar demokrasi kuantitatif, hanya hitung-hitungan pengaruh kursi, membiarkan terjadinya paslon melawan kotak kosong, maka potensi tingginya golput di pilkada kali ini sangat mungkin terjadi.
Menurut dia, pandemi Covid-19 merupakan lonceng peringatan yang harus dicermati oleh berbagai pihak yang memiliki tanggung jawab menegakan demokrasi. Kandidat kepala daerah, parpol, dan KPU harus mampu menjaga partisipasi pemilih pada pilkada tetap tinggi.
KPU harus gencar menyosialisasikan pilkada yang aman dengan protokol kesehatan ketat, sedangkan paslon dan parpol meyakinkan pemilih untuk menggunakan hak suaranya.
Adanya larangan kampanye tatap muka bukan hambatan serius karena calon pemimpin harus mampu menembus sekat-sekat penghalang.
Dengan begitu, inovasi atau kreativitas paslon menjadi kunci untuk menarik sekaligus meyakinkan pemilih menggunakan hak suaranya. Medsos, iklan media massa, fasilitas webinar, bisa dijadikan akses bagi paslon untuk berinteraksi dengan pemilih sekaligus menawarkan program.
Emrus tidak bisa memastikan apakah pilkada serentak kali ini dipenuhi oleh sosok-sosok negarawan yang mampu berinovasi dan gencar menawarkan ide kepada pemilih. Sebab untuk memastikan hal tersebut diperlukan riset tersendiri.
Sekalipun begitu, dia meyakini, adanya dialektika atau perdebatan gagasan antar-paslon merupakan cara jitu untuk menjaga partisipasi pemilih tetap tinggi di saat pandemi maupun di saat normal. Bahkan bisa meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
Bagaimana kandidat mengatasi Covid-19 di wilayahnya apabila terpilih nanti. Bagaimana cara mengatasi kelesuan ekonomi akibat pandemi. Apa kebijakan yang bakal dikedepankan di sektor kesehatan, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang ditunggu jawabannya dari kandidat untuk menggairahkan partisipasi pemilih.
“Dibuat kontrak politik atas langkah-langkah yang bakal dilakukan itu. Ditandatangani. ‘Apabila tidak tercapai target, saya mundur’. Kalau itu yang dilakukan pasti mereka berbondong-bondong memenangkan pilihannya,” kata Emrus.
Sejauh ini gaung program yang ditawarkan kandidat di pilkada 2020 belum begitu terdengar. Kalah dengan perkembangan informasi penanganan pandemi yang jumlah pasien sembuhnya terus meningkat dalam beberapa hari belakangan.
Belum ada gagasan dari paslon yang menjadi perbincangan serius. Masih kalah dengan informasi adanya kasus pelanggaran pilkada yang meningkat. Misalnya di Jawa Barat, Bawaslu menangani 107 laporan yang diantaranya terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan serta netralitas ASN.
Kita patut menunjukan rasa optimistis bahwa 105 juta pemilih di 270 daerah yang menggelar pilkada serentak, bisa menggunakan hak pilihnya lantaran diyakinkan oleh paslon yang memberi jawaban atas kebutuhan masyarakat sekarang ini. Bagi paslon yang tidak menawarkan program lebih baik mundur daripada tidak mendapat legitimasi kuat dari rakyat. [Erwin C. Sihombing]