Phoa Keng Hek dan Institut Teknologi Bandung

Kampus Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Barakgebouw A (Aula Barat) dilihat dari plaza gerbang dalam. Foto diambil tahun 1936.

TIDAK BISA dihindari bahwa banyak orang menduga bahwa Institut Teknologi Bandung (ITB) didirikan oleh orang Belanda. Kemungkinan besar karena nama ITB pada saat mula-mula berdiri, yaitu de Techniche Hoogeschool te Bandoeng (TH Bandoeng). Juga, nama fakultas satu-satunya yang ada di ITB saat itu, dengan hanya satu jurusan menggunakan istilah Belanda, yaitu de Faculteit van Technische Wetenschap.

Namun kenyataannya Institut Teknologi Bandung yang dibangun di atas lahan 30 hektar pada 3 Juli 1920 itu didirikan oleh warga Hindia Belanda (nama Indonesia pada saat itu) dari etnis Tionghoa.

Kisah Awal

Pendirian perguruan tinggi ini perlu dilakukan dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknik yang semakin terbatas pada masa itu sebagai dampak dari Perang Dunia pertama.

Pada 1914, beberapa tahun sebelum berdirinya THS (Technische Hoogeschool te Bandoeng) yang merupakan pioner awal ITB. Dibentuklah Panitia Keuangan untuk mengembangkan kampus ITB, salah satu orang penting dalam kontribusi ini adalah Phoa Keng Hek yang merupakan Kepala Sekolah Tionghoa Hwee Kwan.

Phoa Keng Hek Sia merupakan seorang tuan tanah, aktivis sosial dan presiden pendiri Tiong Hoa Hwe Koan, sebuah organisasi pendidikan dan sosial Konfusianisme berpengaruh yang dimaksudkan untuk memperbaiki posisi etnis Tionghoa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) serta salah satu pendiri ITB.

Ia merupakan pendiri dari Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tahun 1901, jauh lebih awal dari sekolah Taman Siswa. Sekolah THHK menyebar hampir ke seluruh pelosok Indonesia, jumlahnya mencapai sekitar 130an sekolah.

Phoa Keng Hek, sangat dihormati oleh kalangan etnis Tionghoa dan etnis lainnya, termasuk oleh pihak kolonial Belanda. Phoa termasuk orang yang berjasa besar dalam mendirikan ITB, bersama 2 tokoh lainnya dari kalangan Tionghoa yakni H.H Kan dan Nio Hoey Oen.

Ketiganya berjasa besar dalam mengumpulkan uang sebesar 500 ribu golden, guna menyiapkan segala kebutuhan berdirinya ITB. Satu hal yang tak sanggup dilakukan oleh penjajah Belanda kala itu.

Siapa kah Phoa?

Lahir di Bogor tahun 1857, merupakan anak dari seorang kaya raya bernama Phoa Tjong Tjay, yang juga pemimpin kalangan Tionghoa (Letnan) di Jatinegara, Batavia. Kekayaannya selain digunakan untuk mengembangkan dunia pendidikan juga untuk hal sosial lainnya.

Phoa Keng Hek Sia

Diantara tindakannya yang sangat fenomenal adalah meminta pemerintah Belanda untuk menutup tempat perjudian/kasino. Hal itu dilakukan karena Phoa prihatin betapa membahayakannya tempat perjudian bagi masyarakat luas.

Orang ini memang sosok langka, jabatan pemimpin Tionghoa (Kapiten) juga ditolaknya. Padahal jabatan itu diperebutkan dan banyak diimpikan oleh orang-orang Tionghoa lainnya pada saat itu.

Yang luar biasa adalah ketika Phoa bersedia mengganti uang ke kas pemerintah Belanda akibat ditutupnya kasino tersebut. Tentu itu bukan jumlah sedikit. Bayangkan berapa banyak uang yang harus dibayarkan tersebut.

Sejarah Technische Hoogeschool te Bandoeng

Dikutip dari laman ITB, Sejak resmi dibuka untuk tahun kuliah 1920-1921, terdaftar 28 orang mahasiswa dengan hanya ada dua orang Indonesia. Sementara itu, jumlah dosen pada permulaan tahun 1922 terdapat 12 orang Guru Besar. Empat tahun kemudian, pada tanggal 4 Juli 1924 di luluskanlah 12 insinyur pertama dari TH (de Techniche Hoogeschool te Bandoeng)

Status TH dari saat pembukaan sampai tahun 1924 adalah bijzondere school yang kemudian berganti statusnya dari swasta menjadi instansi pemerintah.

Pada Dies ke-6 tanggal 3 Juli 1926, dari 22 orang kandidat insinyur yang lulus berjumlah 19 orang dengan 4 orang di antaranya adalah pribumi. Saat itulah untuk pertama kalinya TH Bandung menghasilkan insinyur orang Indonesia. Satu dari keempat orang itu adalah Ir. R Soekarno yang kelak menjadi proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.

Kemudian saat pendudukan Jepang pada 1944-1945, TH berubah nama menjadi Bandung Kogyo Daigaku (BKD) dan kemudian menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung setelah Indonesia merdeka.

Selanjutnya pada 1946, sempat berpindah ke Yogyakarta dengan sebutan STT Bandung di Jogja yang kemudian menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada 21 Juni 1946, terjadi perubahan nama menjadi Universiteit van Indonesie di bawah kendali NICA dengan Faculteit van Technische Wetenschap dan Faculteit van Exacte Wetenschap berdiri kemudian. Setelah itu pada 1950-1959 menjadi bagian dari Universitas Indonesia untuk Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.

Didorong oleh gagasan dan keyakinan yang dilandasi semangat perjuangan proklamasi kemerdekaan serta wawasan ke masa depan, Pemerintah Indonesia meresmikan berdirinya Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Maret 1959.

Pada 3 Juli 2021, ITB secara de facto berusia 101 tahun di mana telah menghasilkan lebih dari 120.000 alumni, memiliki 12 fakultas/sekolah, 128 program studi, dan 111 Kelompok Keahlian, memiliki 25 Pusat, 7 Pusat Penelitian, dan 6 Pusat Unggulan Iptek (PUI). ITB berlokasi di dua tempat lain selain kampus Ganesa Bandung yaitu Jatinangor dan Cirebon. [S21]