Setiap perubahan besar dalam sejarah selalu meninggalkan jejak yang signifikan, terutama ketika perubahan itu melibatkan perjuangan kelas pekerja melawan sistem yang menindas.
Di Hindia Belanda, periode pasca-Perang Dunia I menjadi momen krusial bagi para buruh pabrik gula yang menghadapi eksploitasi besar-besaran demi memulihkan ekonomi industri. Dari tekanan dan ketidakadilan inilah lahir sebuah gerakan yang mengubah dinamika hubungan antara buruh dan pengusaha: Personeel Fabriek Bond (PFB).
Sebagai salah satu serikat pekerja pertama yang memperjuangkan hak buruh dengan pendekatan modern, PFB tidak hanya mencatatkan aksi-aksi penting dalam sejarah pergerakan buruh, tetapi juga membuktikan bagaimana kepemimpinan yang kuat dapat menjadi motor perubahan.
Artikel ini mengulas perjalanan PFB, perjuangannya yang penuh tantangan, hingga pengaruh abadi yang ditinggalkannya di tengah dinamika sosial Hindia Belanda.
Awal Berdirinya PFB
Setelah Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918, industri gula di Hindia Belanda mengalami masa pemulihan. Namun, pemulihan ini dilakukan dengan memaksimalkan eksploitasi buruh dan penghematan biaya, yang merugikan para pekerja. Sebagai respons, Personeel Fabriek Bond (PFB) didirikan, khusus untuk memperjuangkan hak buruh pabrik gula.
Melansir laman kemdikbud, PFB merupakan cabang dari Adhi Dharma atau Arbeidleger (tentara buruh), sebuah perkumpulan yang berdiri pada tahun 1915 di Yogyakarta.
Awalnya, Adhi Dharma berfokus pada memajukan pendidikan buruh pabrik gula serta membantu rakyat kecil menghadapi keluhan yang tidak direspons oleh pejabat. Namun, pada tahun 1917, Adhi Dharma diubah menjadi serikat sekerja dengan pendekatan sistem Barat, dan dinamai Personeel Fabriek Bond (PFB).
Soerjopranoto, seorang tokoh yang terkemuka, menjadi ketua PFB sejak awal pembentukannya. Ia memperkenalkan perjuangan serikat ini melalui mingguan Medan Boediman, yang dipimpinnya. Kepemimpinan Soerjopranoto membawa PFB menjadi organisasi yang signifikan dalam memperjuangkan hak buruh pabrik gula.
Prinsip dan Perjuangan PFB
Meskipun PFB bergerak di kalangan buruh dan memiliki orientasi kiri, organisasi ini menentang kekerasan dan komunisme radikal, meskipun bersedia bekerja sama dengan kelompok komunis.
Sikap ini mencerminkan latar belakang feodal beberapa pemimpinnya, seperti Soerjopranoto dan Raden Soewardi Soerjaningrat. Hubungan patron-klien antara pimpinan dan anggota PFB membuat organisasi sangat bergantung pada sosok pemimpinnya.
Dinamika ini terlihat jelas ketika Soerjopranoto ditangkap oleh pemerintah kolonial pada akhir tahun 1921. Penangkapan ini menyebabkan PFB kehilangan arah dan aktivitasnya merosot tajam. Selama lima bulan Soerjopranoto dipenjara di Malang, PFB tidak melakukan kegiatan berarti dan kehilangan pengaruhnya.
Aksi Pemogokan dan Kejayaan PFB
Pada masa kejayaannya, PFB dikenal sebagai pemimpin pemogokan buruh. Soerjopranoto bahkan mendapat julukan “Raja Mogok” karena aksinya yang terorganisir. Media seperti Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa setiap kali Soerjopranoto memimpin, pemogokan pasti terjadi.
Puncak aksi PFB terjadi pada Juni 1920, ketika organisasi ini tidak diakui oleh Sindikat Gula. Pemogokan besar-besaran terjadi, melibatkan sekitar 180 pabrik gula. Aksi ini menunjukkan kekuatan kolektif buruh pabrik gula di bawah naungan PFB.
Keruntuhan dan Upaya Kebangkitan
Namun, PFB mulai kehilangan pengaruh ketika perpecahan terjadi akibat perbedaan pandangan antara Soerjopranoto dan beberapa cabang komunis. Setelah Soerjopranoto diturunkan dari kepemimpinan, organisasi ini mengalami kemunduran.
Pada tahun 1920-an, beberapa cabang PFB berupaya menghidupkan kembali serikat ini, salah satunya melalui konferensi di Pekalongan. Bekas pengurus pusat PFB kemudian mendirikan Perkoempoelan Kaoem Boeroeh Fabriek untuk menjawab ketidakpuasan pekerja terhadap aturan-aturan pengusaha.
PFB mencatatkan sejarah penting dalam perjuangan buruh pabrik gula di Hindia Belanda. Meskipun mengalami kemunduran, pengaruhnya terhadap kesadaran buruh dan upaya melawan eksploitasi menjadi inspirasi bagi gerakan buruh di masa berikutnya. Sosok Soerjopranoto tetap diingat sebagai pelopor yang memimpin perlawanan dengan keberanian dan strategi yang taktis. [UN]