Putra Mahkota menempatkan para tahanan di Hotel Ritz Carlton, Riyadh.

Koran Sulindo – Penguasa Arab Saudi Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud menempuh langkah ekstrem untuk memastikan anaknya, Pangeran Mohammed bin Salman, naik takhta selagi dia masih hidup.

Jika kabar itu benar, Putra Mahkota Mohammed bin Salman yang dikenal sebagai MBS bakal menjadi orang paling kuat di dunia Arab.

Sumber yang dekat dengan keluarga Kerajaan Saudi seperti dilansir Daily Mail menyebutkan, Raja Salman berencana mengundurkan diri dan mengumumkan Pangeran Mohammed sebagai penggantinya pekan ini.

Laporan itu menyebut, Raja Salman setelah mundur hanya akan terlibat dalam acara-acara seremonial. “Raja Salman akan mengumumkan penunjukkan MBS sebagai Raja Arab Saudi pekan depan, kecuali ada kejadian dramatis. Raja Salman akan memainkan peran seperti ratu di Inggris. Dia hanya akan memegang jabatan sebagai Penjaga Kota Suci,” kata sumber itu, pekan lalu.

Alih kekuasaan Raja Salman kepada anaknya itu tampaknya mendapat dukungan seluruh anggota keluarga, termasuk adik Mohamed, Pangeran Ahmed.

Saudi hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan terkait rumor tersebut. Namun, Press TV melaporkan stasiun televisi milik pemerintah Saudi Al-Arabiya sempat melansir kabar tersebut melalui akun Twitter, namun kemudian dihapus.

Juli 2017 lalu, kabar serupa juga sempat beredar tak lama setelah Raja Salman memecat keponakannya, Pangeran Mohammed bin Nayef, sebagai putra mahkota dan menunjuk anaknya, MBS. September lalu, radio Lebanon Al-Manar, yang mengutip keluarga kerajaan, juga melaporkan Raja Salman akan segera mundur karena alasan kesehatan.

Bagaimanapun, di Saudi, suksesi kerajaan tetap menjadi rahasia yang dijaga sangat ketat.

Dengan dukungan diam-diam ayahnya, pangeran berusia 32 tahun itu telah menjadikan dirinya sebagai tokoh paling kuat di dunia Arab dan menabuh genderang konfrontasi di semua sisi sekaligus. Dalam sebulan terakhir, hampir semua cabang kekuasaan di Saudi sudah tergenggam di tangan MBS.

Berdalih pemberantasan korupsi, MBS memerintahkan penangkapan terhadap 11 pangeran dan hampir 200 tokoh bisnis Saudi sekaligus memangkas kekuasaan ulama konservatif. Pangeran muda yang ambisius itu juga menggagas perseteruan dengan Qatar, menuduh Iran menyiapkan perang dan mendorong pengunduran diri perdana menteri Libanon Saad Hariri.

Sebelumnya, di Yaman atas inisiatif MBS tentara Saudi memerangi pendukung Iran dalam perang brutal yang memicu krisis kemanusiaan.

Tapi apakah MBS bertindak terlalu jauh?

Philip Gordon penasihat Gedung Putih untuk Timur Tengah era Presiden Barack Obama menyebut tindakan sang pangeran tak didasari perhitungan matang. “Dia tidak melakukannya dengan hati-hati. Jika dia mengasingkan terlalu banyak pangeran dan pilar-pilar rezim, menimbulkan konflik regional yang mahal dan menakut-nakuti investor asing, dia justru melemahkan prospek reformasi yang sedang diterapkan.”

Raja Salman menunjuk MBS sebagai menteri pertahanan Saudi tak lama setelah mengambil alih kekuasaan dari saudara tirinya Abdullah bin Abdulaziz, Januari 2015 silam. Dua bulan menjabat menteri pertahanan, MBS segera memimpin koalisi Arab mengusir pemberontak Houthi yang didukung Iran dari ibukota Yaman, Sanaa. Dua bulan berikutnya, MBS juga ditunjuk ayahnya sebagai sebagai wakil pangeran mahkota.

Selama dua tahun berikutnya, perang di Yaman benar-benar menjadi malapetaka bagi negara tetangga Saudi yang miskin itu.

Awal Juni tahun ini, MBS bersekutu dengan Putra Mahkota Uni Emirat Arab Mohammed Bin Zayed menciptakan krisis baru. Mereka mengincar Qatar dengan ‘membobol’ kantor berita resmi serta menanamkan pernyataan palsu terkait Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.

Segera setelah itu, Saudi dan UEA memulai serangan diplomatik, politik dan ekonomi melawan Qatar dengan bantuan Bahrain dan Mesir. Dua minggu menjelang krisis, Raja Salman mencopot Pangeran Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota sekaligus menteri dalam negeri dan menggantikannya dengan MBS.

Memastikan agar semua lancar bekas putra mahkota itu dikenai tahanan rumah yang memicu kegugupan dan ketidakpuasan pada keluarga Kerajaan. Reaksi domestik diredam dengan jeritan patriotisme palsu yang dikerahkan melawan Qatar.

Pada tanggal 3 November, Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri diundang MBS ke Riyadh untuk bertemu dengan Raja Salman. Sehari berikutnya, Hariri malah mengumumkan pengunduran dirinya melalui saluran televisi Saudi dan mengutuk koalisinya, Hizbullah sekaligus mengancam bakal ‘memotong tangan’ Iran di Lebanon.

Sebelum syok benar-benar mereda, MBS beralih haluan dengan menahan puluhan pangeran dan mantan menteri atas tuduhan korupsi. Saat ini mereka diyakini ditahan di Hotel Ritz-Carlton di Riyadh yang segera menjadi penjara paling mewah di dunia.

MBS sukses mengumpulkan semua kekuatan ditangannya setelah menahan sepupunya Pangeran Mutaib bin Abdullah sekaligus mengambil alih kepemimpinan Garda Nasional.

Tindakan keras anti-korupsi menyembunyikan motif MBS yakni ‘mengisi ulang’ cadangan devisa kerajaan yang dalam tiga tahun terkuras akibat anjloknya harga minyak. Pembersihan itu berpotensi menghasilkan dana segar hingga US$ 800 miliar.

Laporan Financial Times menyebutkan para penghuni Hotel Ritz-Carlton di Riyadh dalam beberapa kasus ‘ditawari’ menyerahkan 70 persen aset miliknya sebagai ganti kebebasan. Pembebasan juga bakal mencakup janji kesetiaan kepada MBS yang tengah mempersiapkan tahta Saudi. Jaksa Agung Saudi mengatakan bahwa lembaganya kini tengah menyelidiki tuduhan korupsi yang berjumlah sekurangnya US$100 miliar –total nilai aset yang disita bisa mencapai US$ 800 miliar.

Seorang pengusaha multi-miliarder yang ditahan di Ritz-Carlton diperintahkan menyerahkan 70 persen kekayaannya ke negara sebagai hukuman selama berpuluh-puluh tahun terlibat transaksi bisnis yang diduga korup. Dia setuju membayar, namun belum menyelesaikan rincian pemulangan aset itu ke Saudi.

Gebrakan anti-korupsi dan janji reformasi yang diusung MBS menuai dukungan publik Saudi khususnya generasi muda. Toh selama ini mereka tak pernah mendapatkan manfaat dari kekayaan para pengusaha-pengusaha itu. “Mengapa orang miskin menanggung semua penderitaan,” kata seorang akademisi Saudi. “Orang kaya juga perlu membayar dengan cara mereka.” [Teguh Nugroho]

Baca juga:

Arab Saudi yang Salah Berhitung

Tur ke Asia, Saudi Mencari Pijakan 

Membaca Pergeseran Saudi ke Asia

Membaca Pergeseran Saudi ke Asia II