Petani Garam: Pemerintah Tidak Berpihak ke Kami

Krisis bahan baku garam berdampak pada kenaikan harga [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pemerintah dinilai tidak serius dan berpihak kepada petani garam. Selain karena aturannya, petani menganggap pemerintah tidak serius dalam mengawasi penerapan harga pokok pembelian garam (HPP).

Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin, pengawasan dalam pelaksanaan HPP teramat kurang dan sama sekali tidak sanksi. Itu terbukti ketika harga garam pernah jatuh menjadi Rp 300 per kilogram pada masa musim kemarau.

“Saat itu pemerintah belum serius mengawasi penerapan HPP,” kata Jakfat seperti dikutip Kontan.co.id pada Minggu (6/8).

HPP garam diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani Garam tahun 2011. Dalam aturan itu diatur harga garam pada titik pengepul Rp 750 per kilogram untuk kualitas satu, dan Rp 550 per kilogram untuk kualitas dua.

Berdasarkan itu, Jakfar meminta pemerintah menegakkan hukum apabila ketahuan perusahaan atau industri yang membeli garam petani di bawah harga tersebut.

Sejalan dengan Jakfar, pengamat Perikanan dan Kelautan di Sulawesi Tengah, Fadly Y Tantu menilai pemerintah tidak serius mengembangkan potensi daerah untuk memproduksi garam. Padahal, Sulawesi Tengah disebut menjadi daerah penghasil garam dan bisa menjadi pusat pengembangan garam.

Adapun keuntungan Sulawesi Tengah disebut karena posisinya strategis dan berada pada pusat garis khatulistiwa, dengan intensitas panas matahari yang cukup tinggi. Posisi itu membantu proses penguapan dalam pembuatan garam dari air laut.

Wilayah yang luas juga merupakan potensi pengembangan tambak garam. Apalagi didukung daerah teluk yang bisa dijadikan tempat perluasan tambak-tambak garam. Akan tetapi, ia menyesalkan dukungan pemerintah yang sangat kurang. Itu terlihat dari ketiadaan rencana strategis untuk pengembangan garam walau potensinya begitu besar.

Harga bahan baku garam konsumsi saat ini mencapai Rp 3.200 per kilogram. Kenaikan harga disebut karena kondisi garam yang langka akibat faktor cuaca. Panen raya oleh petani diperkirakan akan dimulai pada September nanti.

Data yang dimiliki Kiara, produksi garam lokal sejak 2012 hingga 2016 terus mengalami penurunan. Selain karena kualitas garam lokal itu rendah, juga karena harganya yang sama sekali tidak menguntungkan petambak garam.

Pada 2012, misalnya, produksi garam lokal mencapai sekitar 2,07 juta ton (jumlah impor 2,3 juta ton). Selanjutnya, produksi garam lokal pada 2013 mencapai 1,08 juta ton (impor 2,02 juta ton). Kemudian, pada 2014, produksi garam lokal mencapai 2,1 juta ton (impor 2,25 juta ton). Lalu, pada 2015, produksi garam lokal mencapai sekitar 2,8 juta ton (impor 2,1 juta ton). Terakhir, pada 2016, produksi mencapai sekitar 138 ribu ton (impor tiga juta ton). [KRG]