Perubahan Iklim, Keadilan, dan Ketimpangan Ekologi

Setip negara termasuk Indonesia dituntut berkomitmen setiap untuk mengatasi perubahan iklim [Foto: rappler.com]

Pemerintah Indonesia harus berupaya memperjuangkan isu perubahan iklim bagi kesejahteraan rakyat. Jangan malah menyebabkan ketimpangan ekologi.

Koran Sulindo – Al Gore bertepuk tangan menyambut hasil Konferensi Perubahan Iklim ke-21 (COP 21), akhir tahun lalu di Paris. Bersama orang-orang yang memiliki ide yang sama, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat itu menyambut secara antusias hasil tersebut. COP 21 merujuk pada Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Dengan hasil tersebut seolah-olah bumi telah dapat diselamatkan. Berdasarkan hasil COP 21 di Paris yang dihadiri 147 kepala pemerintahan itu, negara-negara disebut berdiri bersama-sama dan bersatu. Terutama untuk mengurangi gas rumah kaca secara bertahap. Dengan demikian, bisa mencegah terjadinya perubahan iklim atau setidaknya mengurangi kenaikan suhu global.

Hampir setahun berselang, rasa serupa ditunjukkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya beberapa hari lalu. Itu karena seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pengesahan Paris Agreement to UNFCCC (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim).

“Dengan pengesahannya sebagai undang-undang, Indonesia akan memperoleh banyak manfaat. Misalnya, mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang rendah emisi. Indonesia juga dapat berperan serta dan memiliki hak suara ketika mengambil keputusan terkait Persetujuan Paris, termasuk mengembangkan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaan Persetujuan Paris,” kata Siti Nurbaya.

Ia menuturkan, pengendalian perubahan iklim merupakan amanat UUD 1945 terutama pada Pasal 28H. Negara memberikan arah dan kewajiban memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat tetap memperhatikan perlindungan pada aspek lingkungan dan sosial.

Kendati Persetujuan Paris akan menjadi sebuah aturan berupa undang-undang, Indonesia juga mesti bersiap-siap menyongsong negosiasi perubahan iklim di Kota Marrakesh, Maroko, pertengahan November mendatang. Sekitar 197 perwakilan negara akan menghadiri pembicaraan perubahan iklim itu. Sebelum COP 21 di Paris, pertemuan serupa juga pernah dilakukan di Indonesia. Hasilnya: Bali RoadMap untuk Perubahan Iklim

Akan tetapi, setiap konferensi perubahan iklim itu nampaknya selalu menguntungkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Bahkan pembicaraan perubahan iklim di Paris setahun lalu disebut telah didikte kepentingan kapitalisme, sehingga hasilnya justru akan memperburuk ketidakadilan sosial dan iklim.

Beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam Konferensi Perubahan Iklim tersebut adalah rencana kemanusiaan untuk memerangi perubahan iklim. Rencana aksi ini akan diterbitkan dalam Kesepakatan Paris untuk Perubahan Iklim. Yang ingin dicapai dari kesepakatan itu adalah membendung peningkatan suhu bumi agar tidak melebihi dua derajat celsius. Jika, suhu bumi melebihi angka tersebut, maka perubahan iklim sulit dibendung dan akan menimbulkan bencana dalam skala besar.

Jose Maria Sison, Ketua Liga Internasional Perjuangan Rakyat (ILPS), menuturkan setiap pertemuan COP setelah penandatanganan UNFCCC pada 1992 dan efektif berlaku pada 1995, negara-negara industri besar telah berjanji untuk memotong emisi karbondioksida dan gas rumah kaca (GRK) mereka. Ini dimaksudkan untuk menghentikan pemanasan global.

Namun, dua dekade setelahnya, jelang COP 21, dunia tercekik dan terpanggang oleh tingginya gas rumah kaca dan pemanasan global sehingga krisis ekologi meningkat yang  sebelumnya tidak pernah terjadi. Para ahli pada 2014 menyebutkan perubahan iklim telah mencapai level berbahaya manakala peningkatan emisi karbondioksida dan gas rumah kaca naik secara masif.

Kedua hal ini naik dalam kecepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan mengancam ambang batas keseimbangan iklim (350 ppm) sekitar 30 tahun lalu dan saat ini pada pertengahan 2015 telah mencapai rekor 402,80 ppm.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan iklim berdampak buruk pada kesehatan. Sekitar 150 ribu orang tewas karena perubahan iklim setiap tahun. Juga berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, menyebabkan gizi buruk dan menurunkan kualitas air bersih. Kendati bencana bisa terjadi kapan saja, perubahan iklim mendatangkan malapetaka topan Haiyan di kepulauan Filipina pada November 2013. Ribuan orang tewas dan merusak kebun petani yang menjadi sumber pendapatan mereka.

Amerika Serikat hingga saat ini tetap menjadi salah satu penyumbang GRK terbesar. Namun, karena perkembangan dan melesatnya industri Tiongkok, negeri tirai bambu itu lalu menggeser posisi AS sebagai penyumbang GRK terbesar di dunia. Catatan Sison, Tiongkok menyumbang GRK sekitar 29 persen pada 2013, lalu menyusul AS sekitar 15 persen dan 28 negara Eropa menyumbang sekitar 11 persen. Kendati begitu, AS tetap saja yang paling bertanggung jawab atas GRK. Pasalnya, GRK bisa bertahan selama berabad-abad  di atmosfer.

Jika diakumulasi dimulai dari periode 1850 hingga 2011, AS menyumbang GRK sekitar 27 persen, lalu diikuti negara-negara Eropa sekitar 25 persen. Sementara negara-negara yang industrinya cepat berkembang– seperti Tiongkok– dan negara-negara relatif cepat berkembang– Brasil, Indonesia, India dan Meksiko– juga berkontribusi sebagai penyumbang GRK.

“Ini merupakan buah dari produksi dan konsumsi masif ciri dari kapitalis global, terutama karena ketergantungan yang akut pada industri skala besar, konstruksi, dan korporasi pertanian. Dan Amerika Serikat tetap menjadi salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca,” kata Sison.

Komitmen Indonesia
Indonesia sejak awal berkomitmen menghadapi perubahan iklim termasuk COP 21 yang merupakan bagian dari UBFCCC. Itu terlihat dari pernyataan Presiden Jokowi dalam pertemuan Kepala Negara G20 di Turki pada November tahun lalu. Kala itu Jokowi mendorong setiap negara agar menyukseskan COP 21 di Paris. Kemudian, Jokowi meminta agar negara-negara mendukung dan memberi contoh termasuk menyumbang dana bagi negara-negara berkembang senilai US$ 100 miliar pada 2020.

Komitmen mengurangi GRK yang menyebabkan perubahan iklim juga telah ditunjukkan Indonesia dalam sebuah dokumen resmi Intended Nationally Determined Contribution (INDC). Dan kini pemerintah telah mengadopsinya dan menjadikannya sebagai sebuah UU. Dalam dokumen itu, Indonesia berjanji akan mengurangi emisi GRK dari kegiatan bisnis sebesar 29 persen pada 2030 atau 41 persen jika ada bantuan dari internasional.

Sesuai dengan hasil COP 21, Indonesia merupakan salah satu negara penerima dana penyelamatan hutan di bawah payung Forest Carbon Partnership Fund. Indonesia juga menjalin kerja sama bilateral dengan sejumlah negara antara lain Vietnam, Iran, Filipina, Kolombia, Papua Nugini, Peru, Cile, Belanda, Serbia, Jepang, dan Norwegia.

Berdasarkan dokumen perjanjian COP 21 itu, semua negara mesti bertindak untuk menahan laju deforestasi, degradasi lahan dan memperbaiki tata kelola lahan. Sektor kehutanan termasuk proses yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan. Klausul ini menjadi penting bagi Indonesia. Bahkan pada COP 21 Paris, Indonesia meluncurkan sistem perhitungan emisi karbon dari sektor lahan yang dikenal dengan nama INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).

Di luar itu, pekerjaan rumah Indonesia adalah mempertahankan percepatan pembangunan agar bisa mencapai puncak emisi karbon dari pembangunan konvensional pada 2020 dan menurunkan emisi karbon secara drastis pada tahun-tahun setelahnya. Tak lalu sikap Indonesia itu bebas dari kritik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) justru menyayangkan sikap Indonesia yang sekadar mementingkan dukungan program yang disebut bagian dari mekanisme pasar yang dibangun negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.

Apa yang dilakukan delegasi pada COP 21 Paris sesungguhnya memupus harapan masyarakat sipil akan perbaikan pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Walhi khawatir jika pengelolaan hutan, pesisir, laut dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema mekanisme pasar, itu hanya akan memenuhi hasrat negara-negara maju untuk mitigasi perubahan iklim.

Karena itu, hal pokok yang perlu dilakukan Indonesia setelah COP 21 Paris adalah memperbaiki pengelolaan hutan dan gambut, pesisir serta laut. Kemudian, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batu bara. Pemerintah juga mesti menindak tegas dan menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Karena itu, memerangi GRK yang menyebabkan perubahan iklim sejatinya menciptakan masyarakat adil dan berkelanjutan. Bukan malah sebaliknya, menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan ekologi. [Kristian Ginting]