Koran Sulindo – Janji Presiden Donald Trump untuk memulihkan hubungan dengan Rusia akhirnya dipenuhi. Pemimpin Amerika Serikat (AS) itu bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki pada Senin (16/7).
Pertemuan kedua kepala negara itu hanya ditemani penerjemahnya saja. Pertemuan itu berlangsung sekitar 90 menit. Tak mudah bagi Trump untuk mewujudkan pertemuan itu. Terlebih di tengah hujan kritik parlemen AS karena Rusia dituduh meretas surat elektronik calon presiden Partai Demokrat Hillary Clinton.
Bahkan sebuah komite yang dibentuk parlemen untuk menyelidiki keterlibatan Rusia memutuskan menghukum 12 perwira intelijen Rusia karena ikut campur dalam pemilihan presiden AS pada 2016. Seperti dilaporkan Straits Times, pertemuan kedua pemimpin negara itu menjadi kemenangan bagi Putin.
Pasalnya, pertemuan ini menjadi momentum baginya untuk memulihkan citra negaranya selepas runtuhnya Uni Soviet. Sebelum berjabat tangan dengan Putin, Trump mengatakan, pihaknya akan mendiskusikan banyak hal mulai dari perdagangan, militer hingga soa nuklir Tiongkok.
Dalam kesempatan itu, Trump sama sekali tidak menyinggung soal intervensi Rusia terhadap pemilihan presiden AS 2016. Sebelum bertemu, Putin terlambat sekitar 30 menit dari jadwal yang direncanakan. Karena itu, pertemuan Trump dan Putin lantas diundur hingga 1 jam.
“Ini saat yang tepat untuk membicarakan secara mendalam hubungan bilateral kedua negara, juga membahas isu-isu internasional,” kata Putin. ” Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan.”
Agen intelijen Rusia dituduh meretas akun surat elektronik Hillary, pesaing Trump pada pemilihan presiden 2016. Tuduhan itu membayangi pertemuan Trump dan Putin di Helsinki.
Penasihat kemanan John Bolton dalam wawancaranya dengan ABC’s This Weekmengatakan, ketika bertemu dengan Putin, Trump tidak akan menuntut ekstradisi perwira intelijen Rusia yang dituduh mencampuri Pilpres AS 2016. Jika Trump memang serius, semestinya itu menjadi agenda resminya ketika bertemu dengan Putin.
Putin mungkin saja tidak akan menanggapinya apalagi AS dan Rusia tidak punya perjanjian ekstradisi. Karena itu, menuntut sesuatu yang tidak pernah terjadi membuat posisi Trump akan lemah. Di samping Partai Demokrat, menurut Trump, Partai Republik juga menjadi sasaran hacker Rusia, tapi gagal karena tingkat keamanan sibernya tinggi.
Itu sebabnya, menurut Trump, Partai Demokrat seharusnya malu karena peretasan itu terjadi karena rendahnya tingkat keamanan siber mereka.
Laporan CNN pada Januari tahun lalu menyebutkan, Direktur FBI James Comey ketika itu kepada panel di Senat menyebutkan, surat elektronik milik Partai Republik juga menjadi sasaran peretasan Rusia. Namun, peretasan gagal lantaran tingkat keamanannya tinggi. [KRG]