Ilustrasi/pertamina.com

Koran Sulindo – Pertamina menyatakan penurunan permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik yang mencapai 35 persen akibat pandemi COVID-19.

“Secara nasional penurunan permintaan BBM mencapai 35 persen dibandingkan dengan rerata Januari- Februari 2020,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, di Jakarta, Sabtu (18/4/2020), melalui rilis media.

Sejak Maret 2020, permintaan gasoline terus mengalami penurunan rata-rata 17 persen, gasoil turun rata-rata 8 persen dan avtur turun 45 persen. Sejalan dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), permintaan BBM di kota-kota besar pun tercatat mengalami penurunan di atas 50 persen, tertinggi adalah Jakarta dan Bandung yang turun hampir 60 persen.

Selain penurunan di BBM ritel, penurunan permintaan juga terjadi untuk konsumen industri mengingat banyak industri yang berhenti beroperasi.

Penurunan permintaan yang tajam ini belum pernah terjadi sebelumnya, yang tentu saja akan berdampak besar terhadap keuangan Pertamina. Karenanya berbagai penyesuaian harus dilakukan dalam rangka menjaga optimalisasi, efektifitas dan keekonomian operasi, termasuk di antaranya penyesuaian terhadap operasional kilang.

“Pertamina akan mulai menurunkan kapasitas operasi kilang secara bertahap disesuaikan dengan kondisi permintaan. Secara teknis, penurunan juga akan disesuakan dengan batas aman pengolahan kilang,” kata Fajriyah.

Meskipun kapasitas produksi pengolahan kilang diturunkan, namun stok BBM maupun LPG secara nasional dalam kondisi aman, bahkan berlebih. Bahkan stok avtur dan solar berlimpah, berada pada posisi tertinggi hingga lebih dari 100 hari.

Konsumsi Avtur Tiga Bandara

Sementara itu konsumsi bahan bakar avtur di Bandara Adi Soemarmo Surakarta turun hingga 50 persen seiring dengan pengurangan intensitas penerbangan di bandara tersebut.

“Terjadi penurunan sekitar 50 persen dari rata-rata harian di bulan Februari 2020 dari 45 kiloliter menjadi 20 kiloliter/hari di bulan April,” kata Unit Manager Communication dan CSR Pertamina MOR IV, Anna Yudhiastuti, di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (18/4/2020).

“Saat ini stok avtur di Pertamina MOR IV berkisar di angka 10.000 kiloliter dan ketahanan stoknya mencapai 36 hari. Dari angka tersebut Pertamina memastikan kebutuhan avtur untuk Pertamina MOR IV tetap terjaga,” katanya.

Penurunan konsumsi avtur tidak hanya terjadi di Bandara Adi Soemarmo tetapi juga di bandara lain yang ada di wilayah MOR VI, yaitu Bandara Ahmad Yani, Semarang dan Adi Sucipto, Yogyakarta.

Berdasarkan data, penurunan tertinggi terjadi di Bandara Adi Sucipto Kota Yogyakarta yang sebelumnya rata-rata di Februari adalah 180 kiloliter/hari dan saat ini turun menjadi 20-50 kiloliter/hari.

“Sedangkan penurunan konsumsi avtur di Bandara Ahmad Yani sama dengan di Adi Soemarmo yaitu sekitar 50 persen, dari 100 kiloliter/hari menjadi 50 kiloliter/hari,” kata Anna.

Pendapatan Sektor Transportasi Terpuruk

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat terjadi penurunan 25 persen hingga 50 persen pendapatan di sektor transportasi sejak pandemi COVID-19 melanda Tanah Air sehingga menekan bisnis sektor transportasi nasional yang merata pada semua moda.

“Jika kondisi masih berlarut dan berkepanjangan maka diprediksi akan banyak pelaku usaha angkutan jalan yang akan gulung tikar,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan, Carmelita Hartoto, di Jakarta, Minggu (12/4/2020), melalui rilis media.

Moda transportasi darat terdampak dari kebijakan jaga jarak sosial dan fisik. Kebijakan yang ditindaklanjuti dengan sosialisasi masif kepada masyarakat untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah, sekaligus penutupan lokasi wisata telah membatasi pergerakan masyarakat di luar rumah.

“Pelaku usaha sangat memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Hanya saja, di saat bersamaan terjadi penurunan omzet angkutan jalan sejak dua bulan lalu,” jelasnya.

Kadin memprediksi, penurunan omset bisa lebih parah pada enam bulan ke depan seiring perpanjangan masa darurat pandemi COVID-19 hingga 29 Mei 2020.

Di moda transportasi udara, penurunan frekuensi sudah sejak awal 2020. Di awali penutupan rute ke China, kemudian dilanjutkan penutupan rute ke Arab Saudi  dan Korea Selatan, ditambah tidak adanya kegiatan bepergian telah menekan pendapatan operator maskapai antara 20% hingga 50 persen.

“Bukan hanya perusahaan yang mengalami kesulitan, tentu karyawan perusahaan penerbangan yang berjumlah puluhan ribu ini dapat terkena dampak perumahan,” kata Carmelita. [RED]