Koran Sulindo – Mengenakan kemeja berwarna putih polos, Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Pertamina (Persero) itu langsung masuk ke Istana Kepresidenan Jakarta, akhir pekan lalu. Mobil Toyota Alphard yang membawa Nicke Widyawati itu terlihat menyolok karena satu-satunya mobil tamu yang parkir di halaman Bina Graha, tempat di mana biasanya mobil menteri atau kepala tinggi lembaga parkir, sekitar usai jam makan siang itu. Tak ada tamu lain. Nicke datang sendirian.
Perempuan lulusan ITB itu menjadi satu-satunya calon kuat mengisi kursi direktur utama perusahaan energi raksasa dalam negeri itu. Dalam 2 tahun terakhir sudah beberapa nama bergantian duduk di sana.
Sekitar 1 jam kemudian Nicke baru keluar dari ruang pertemuan, dengan langkah bergegas. Ia hanya menjawab sepotong-potong serbuan pertanyaan wartawan.
“Tidak,” jawabnya ketika ditanya apakah panggilan mendadak Presiden Joko Widodo itu membicarakan keputusan pemerintah memenangkan Pertamina dalam lelang melawan PT Chevron. Dua hari sebelumnya, memang Pertamina mendapatkan hak pengelolaan Blok Rokan di Riau mulai 2012 nanti.
“Hanya soal kilang,” katanya sambil menutup pintu mobil dan berlalu.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kemen BUMN) mengangkat Nicke sebagai pelaksana tugas Direktur Utama Pertamina menggantikan Elia Massa Manik yang dicopot mendadak dari jabatannya pada akhir April lalu. Nicke juga dilimpahi tugas sekaligus tetap sebagai Direktur Sumber Daya Manusia Pertamina (sejak 27 November 2017) dan plt Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur (sejak 13 Februari 2018).
Sebelumnya perempuan yang tahun ini melewati usia setengah abad tersebut adalah Ketua Tim Implementasi Holding Migas, kerja besar yang dirampungkannya sebulan lalu dengan akuisisi Pertagas oleh Perusahaan Gas Negara (PGN).
Darah Baru
Nicke sebenarnya orang baru di Pertamina. Ia mengawali karier di di PT Rekayasa Industri (Rekind) hingga menjabat direktur bisnis dan vice president corporate strategy unit (CSU). Sejak 2014 ia loncat menjadi Direktur Pengadaan Strategis 1 PT PLN (Persero) hingga diangkat menjadi direktur SDM Pertamina November 2017 lalu.
Ia belum genap setengah tahun berada di dunia minyak dan gas tanah air. Namun pemanggilan oleh Presiden Jokowi itu adalah sinyal kuat kursinya di Medan Merdeka Timur tetap di tangannya.
Dan beberapa minggu terakhir pemerintah tampaknya sungguh-sungguh mencitrakan bahwa perusahaan di urutan 253 dalam rangking global Majalah Fortune itu masih sehat. Terutama menghadapi isu kebangrutan yang muncul di sekitar situasi gonjang-ganjing akuisisi anak perusahaannya, Pertagas. Saat itu hampir setiap hari serikat pekerja Pertagas unjuk rasa dan isu Pertamina hendak besar-besaran menjual aset melayang di publik dan media sosial.
Untuk menutup isu itu, ya itu tadi, pemerintah memenangkan Pertamina dalam lelang Blok Rokan melawan pengelola yang sekarang, PT Chevron.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan Pertamina mampu menawarkan pengelolaan blok Rokan yang lebih baik dibanding kontraktor eksisting.
“Kalau anda bilang Pertamina keuangannya seret, itu betul. Saya tidak bilang bangkrut loh ya, tapi masih bisa jalan ga? Bisa,” kata Jonan, pekan lalu, seperti dikutip esdm.go.id.
Menurut Jonan, Pertamina memiliki resources yang sangat besar, dengan pangsa pasar yang besar. Alasan lain, Pertamina itu dibangun untuk bangsa Indonesia, bukan sebaliknya. Karena Pertamina sebagai perusahaan plat merah bidang migas dibangun unuk menopang dan mendukung kegiatan migas di Indonesia.
Alasan berikutnya, tidak ada sedikitpun keinginan pemerintah untuk membuat Pertamina bangkrut.
“Setiap kebijakan, Bapak Presiden selalu merundingkan dengan Menteri BUMN dan saya. Sanggup tidak? Sanggup Pak. Ya sudah kita jalan,” kata Jonan.
Lalu tak ada gerimis tiada hujan, tiba-tiba pemerintah berjanji melunasi utang subsidi pelayanan publik, kebijakan yang memaksa Pertamina tetap menjual Premium dan Solar dengan harga subsidi. Utang subsidi itu sudah 2 tahun ini belum dibayarkan.
Keputusan itu diambil dalam sebuah forum di kawasan Jakarta Pusat, awal Agustus lalu antara Nicke Widyawati dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri ESDM.
“Pembayaran subsidi sebagian besar sudah dilakukan dan ada settlement sebesar Rp20 triliun untuk yang 2016-2017,” kata Nicke. “Keuangan Pertamina masih sangat kuat. Tiga tahun terakhir kalau kita lihat, tambahan dari keuntungan Rp90 triliun. Ini sebagian besar masuk ke return earning.”
Nicke menyebut Pertamina masih memiliki kapasitas investasi senilai Rp11,7 triliun, artinya arus keluar masuk uang lancar jaya.
Masalah Lama?
Benarkah? Selain likuiditas keuangan, masalah lain yang mendera Pertamina dalam 4 bulan terakhir ini adalah tak mempunyai dirut, selama itu hanya pelaksana tugas. Perusahaan dengan jumlah pekerja sebanyak 27.817 orang, penghasilan tahunan sekitar 40 miliar dolar AS, dan aset sebesar 50 miliar dolar AS tak punya pimpinan tetap?
Konon nama-nama calon Dirut Pertamina sudah di kantong presiden. Selain Nicke, kandidat lain adalah Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Amien Sunaryadi.
Menteri BUMN Rini Soemarno yakin pengumuman Dirut baru Pertamina dalam waktu dekat.
Dan memang jalinan kemesraan Rini dengan Nicke terus berlanjut. Terakhir, Nicke diajak Rini mengunjungi persiapan peluncuran satelit Merah Putih di SpaceX, Florida, Amerika Serikat, akhir Juli lalu. Dan akhir pekan lalu Nicke dipanggil mendadak Jokowi.
“Bu Nicke itu yang Pertamina perlukan,” kata Rini, akhir Juli lalu.
Setelah Pertamina memiliki dirut baru, bukan berarti masalahnya selesai. Terus melemahnya nilai tukar rupiah dan terus meroketnya harga minyak dunia menciptakan beban berat bagi anggaran negara. Dua faktor tersebut membuat alokasi subsidi energi melambung mencapai Rp 163,5 triliun, naik 73 persen dari target yang dicanangkan pada awal tahun. Pemerintah tetap ngotot tidak mengubah anggaran.
“Pemerintahan Joko Widodo kali ini terlihat lebih mengedepankan kalkulasi politis ketimbang perhitungan ekonomi. Pemerintah terkesan ingin menutup ruang bagi kelompok oposisi untuk mempersoalkan perbedaan rencana dan pelaksanaannya dalam anggaran negara,” tulis analis ekonomi Ronny P Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia sekaligus Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia, dalam tulisannya,”Menunggu Kreativitas Pertamina dan Pemerintah” di kompas.com.
Kebijakan seperti itu berpotensi membuat anggaran negara tidak kredibel dan lebih lanjut mengganggu perekonomian nasional.
Kebijakan itu memukul tidak hanya Pertamina, tapi juga PLN. Keduanya mendapat tugas menyalurkan subsidi energi. Nilai subsidi energi yang dialokasikan melalui dua perusahaan tersebut tidak lagi mampu menutup selisih harga dan biaya penyediaan bahan bakar minyak penugasan dan listrik golongan rumah tangga miskin.
PLN pada triwulan pertama 2018 merugi Rp 6,49 triliun. Salah satu penyebabnya adalah beban selisih kurs yang mencapai Rp 4,2 triliun, naik 44 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp 2,93 triliun. Biaya bahan bakar minyak sebesar Rp 5,6 triliun turut menggerus pendapatan perseroan itu. Pertamina sama saja. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution bahkan pernah mengatakan perlu tambahan subsidi Rp 10 triliun agar Pertamina tak kolaps.
Persoalan yang datang berikutnya adalah bagaimana menambal kekurangan itu. Jalan yang mungkin adalah melakukan “akrobat” anggaran dengan mengambil dari pos penerimaan lain yang surplus. Namun jika tetap ingin memegang prinsip sistem penganggaran yang baik, pemerintah tentu tidak bisa main utak-atik pos anggaran tanpa mengajukan anggaran perubahan ke legislatif.
Jalan yang ditempuh pemerintah Jokowi adalah melego beberapa aset milik Pertamina dengan cara halus; dan dari sinilah isu Pertamina akan menjual besar-besaran asetnya merebak.
Pertamina memang kelimpungan karena aliran uang keluar masuk mepet. Dan ini sudah bukan tanggung jawab Dirut Pertamina lagi, semestinya, siapapun dia nanti. [Didit Sidarta]