Ilustrasi/unspun.com

Koran Sulindo – Anggota Komisi VII DPR, Mukhtar Tompo, menilai Pertamina adalah korban dalam insiden kebocoran pipa minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.

“Seharusnya sebagai obyek vital nasional, kapal dilarang membuang sauh dalam radius 1.750 meter,” kata Mukhtar, dalam Rapat Kerja komisi VII dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (16/4/2018), seperti dikutip dpr.go.id.

Pertamina mengalami kerugian kurang lebih sebesar 85.000 barel karena kejadian itu.

Berdasarkan data Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, terdapat aktivitas membuang jangkar pada radius 445 meter di dalam area terlarang, padahal seharusnya sudah dilakukan pada jarak 1.000 yard atau sekitar 914 meter.

Penyebab pipa patah mengarah pada kapal MV Ever Judger, jangkar kapal seberat 12 ton diduga tersangkut di pipa, lalu menggaruknya hingga patah dan bergeser 120 meter dari posisi awalnya.

“Ketika kapal berada di atas kawasan larangan membuang jangkar, seharusnya ada perintah menurunkan jangkar hanya satu meter di atas permukaan air. Yang terjadi justru jangkar langsung jatuh sedalam 25 meter ke dasar laut,” kata politisi Partai Hanura itu.

Mukhtar mendesak Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga diundang ke DPR untuk menyampaikan hasil penyelidikan mereka terhadap kapal MV Ever Judger.

“Saya mendapat informasi, Komisi nasional keselamatan transportasi telah mengambil voice data recorder dari kapal Ever Judger. Semoga itu bisa jadi pintu masuk untuk mengetahui penyebab insiden ini,” kata Mukhtar.

Rapat Kerja di DPR

Dalam rapat kerja DPR Senin (16/4/2018) kemarin, DPR meminta pertanggungjawaban pihak terkait atas kejadian di Teluk Balikpapan.

Rapat dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik, dan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) M. Fanshurullah Asa.

Kebocoran atau tumpahan minyak di Teluk Balikpapan pertama diketahui pukul 03.00 waktu setempat, Sabtu, 31 Maret 2018. Saat tumpahan minyak dibersihkan, tiba-tiba api berkobar di tengah laut pukul 10.30.

PT Pertamina menjelaskan, minyak di Teluk Balikpapan meluber karena patahnya pipa penyalur minyak mentah dari Terminal Lawe-lawe di Penajam Paser Utara ke Kilang Balikpapan. Pipa baja berdiameter 20 inci dan tebal 12 milimeter tersebut berada di dasar laut dengan kedalaman 20-25 meter.

Hingga 8 April, kebocoran minyak diperkirakan mengotori area seluas 7.000 hektare. Panjang pantai yang terkena dampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai sekitar 60 kilometer. Ekosistem yang terkena dampak berupa tanaman mangrove  34 hektare di Kelurahan Kariangau serta 6.000 tanaman mangrove dan 2.000 bibit mangrove di Kampung Atas Air Margasari.

Ilustrasi: Terumbu karang di Teluk Balikpapan/Greenpeace

Kebakaran itu mengakibatkan lima orang tewas, 1 luka bakar, dan 20 orang selamat. Sekoci penyelamat di kapal kargo MV Ever Judger terbakar setelah api menjalar dari tali kapal.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga meminta Pertamina melakukan pemantauan udara, khususnya di rumah-rumah panggung penduduk pesisir akibat tumpahan minyak di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pasalnya, saat ini, di beberapa areal teluk, khususnya permukiman, tumpahan minyak sudah menyebar ke rumah panggung masyarakat.

Selain itu, lepasnya zat volatile organic compounds (VOC) ke udara menimbulkan bau tajam yang bisa mengganggu kesehatan masyarakat.

“Kami minta Pertamina segera melakukan pemantauan udara, khususnya pada rumah panggung,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani, seperti dikutip Antaranews.com.

Tanggung Jawab Pertamina

Dalam siaran pers terakhir, KLHK menyatakan masih terus melakukan pengambilan sampel dan data-data terkait pencemaran akibat tumpahan minyak itu.

Berdasarkan analisis citra satelit LAPAN dengan data Landsat 8 dan Sentinel 1A, diestimasikan tumpahan minyak mencakup area seluas 12.987,2 Ha, dan panjang pantai yang terdampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai lebih kurang 60 km.

Investigasi yang dilakukan KLHK sejak tim ini dikirimkan adalah pengambilan sampel di 1 titik water control quality, 1 titik sea water control quality, dan 13 titik kualitas air laut, hingga penyelaman untuk mengambil sedimen dan sampel permukaan air laut di area sekitar TKP.

Foto udara Teluk Balikpapan setelah bencana tumpahan minyak/AFP-Getty Images)

Disamping itu Pengawas KLHK melakukan pengawasan terhadap sistem penyaluran minyak baik crude oil maupun produk. Hal ini untuk memastikan kepatuhan terhadap perizinan yang ada, guna menjamin keamanan lingkungan.

KLHK juga meminta kepada GM Pertamina Balikpapan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak, terutama yang berada dekat lokasi kejadian.

Disamping itu tyerdapat dampak lain bencana ini, yaitu lepasnya Volatile Organic Compound (VOC) ke udara yang menimbulkan bau tajam dan mengganggu kesehatan masyarakat.

Berkaitan dengan langkah hukum yang akan dilakukan, KLHK telah melakukan koordinasi dengan Direktur Reskrimsus Polda Kaltim.

“Polda Kaltim akan melakukan penyidikan pidana, dan KLHK akan mendukung proses penyidikan oleh Polda. Saat ini KLHK sedang melakukan pengumpulan data untuk penghitungan ganti rugi terhadap dampak lingkungan yang atas kejadian ini,” kata Rasio Ridho Sani, seperti dikutip ppid.menlhk.go.id.

Sementara berkaitan dengan sanksi terhadap tumpahan minyak ini, pengawas KLHK sedang mendalami kepatuhan Pertamina RU V Balikpapan terhadap perizinan dan peraturan perundangan terkait.

“Langkah koreksi ini perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulang kembali. Pertamina harus bertanggung jawab atas kejadian ini,” kata Rasio. [DAS]