Koran Sulindo – Gagasan Gubernur Bank Indonesia (BI) terpilih, Perry Warjiyo untuk mendorong peran bank sentral dalam pembangunan perekonomian mirip dengan usulan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. BI diminta tidak sekadar menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, namun diberi mandat mendorong percepatan pembangunan.
Untuk mendapatkan mandat itu, Perry mengatakan, pihaknya akan secepatnya mengajukan revisi atas Undang Undang tentang BI tahun 1999. Sesuai dengan aturan itu, peran BI selama ini dibatasi hanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi.
Dikatakannya, salah satu instrumen yang bisa digunakan BI untuk mendorong pertumbuhan adalah lewat kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi.
Kendati bukan hal baru dan sudah diterapkan di Indonesia sejak krisis keuangan melanda Asia pada 1997/1998, istilah ini di tingkat internasional relatif baru menjadi perhatian dan banyak didiskusikan beberapa waktu terakhir. Kerangka makroprudensial BI merupakan bagian dari manajemen krisis bersama dengan kerangka kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Gagasan Perry itu menarik ditelusuri karena IMF pada pertengahan tahun lalu, melalui keterangan resmi Dewan Eksekutif berjudul IMF Executive Board Approves Indonesia’s 2017 Financial System Stability Assessment setuju terhadap penilaian stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Seperti Perry, IMF menilai kewenangan BI tidak diatur secara tegas dalam hal makroprudensial untuk mendorong pembangunan ekonomi.
Untuk menegaskan kewenangan tersebut, IMF seperti juga Bank Dunia menyarankan perlunya merevisi UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU BI. Selain memperjelas tanggung jawab OJK dalam hal pengawasan, revisi itu untuk memastikan BI berperan dalam mendorong pembangunan. Harapannya kelak fungsi dan kewenangan antara OJK serta BI tidak lagi tumpang tindih.
Kesamaan gagasan Perry dan IMF menarik perhatian anggota Komisi XI DPR Faisol Riza. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu merasa perlu mempertanyakan gagasan Perry tersebut. Apalagi sosok ini pernah menduduki posisi penting sebagai Direktur Eksekutif IMF mewakili 13 negara anggota yang tergabung dalam South-East Asia Voting Group.
“Saya ingatkan Pak Perry tidak perlu menuruti ‘resep’ dari IMF yang bisa saja membawa situasi menjadi lebih buruk. BI di bawah Pak Perry sebaiknya fokus menurunkan tingkat bunga perbankan, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengelola neraca perdagangan yang defisit selama tiga bulan terakhir,” tutur Riza dalam keterangan resminya pada Minggu (1/4).
Soal defisit neraca perdagangan, mengutip data resmi BI, Riza menyebutkan, Indonesia mengalami defisit sekitar US$ 0,68 miliar pada Januari lalu. Defisit juga terjadi pada Februari 2018 yang mencapai US$ 0,12 miliar. Dari jumlah ini, maka total defisit dalam tiga bulan sejak Desember 2017 mencapai US$ 1,1 miliar.
Soal suku bunga kredit perbankan, menurut Riza, secara rata-rata masih tercatat di atas 10% hingga akhir tahun lalu. Berdasarkan data uang yang beredar BI, bunga kredit perbankan rata-rata tercatat 11,55% per Oktober 2017. Pun demikian dengan nilai tukar rupiah hari-hari ini yang nyaris menembus Rp 14 ribu per dolar.
“Hal-hal inilah yang perlu diselesaikan Pak Perry sebagai Gubernur BI terpilih. Tidak melulu mengikuti resep IMF karena lembaga ini acap salah. Kita perlu belajar dari sejarah 1998, Argentina dan Yunani. Apalagi kepentingan IMF sebetulnya hanya satu: memastikan lembaga keuangan dan perbankan bisa membayar serta tidak peduli pada pengentasan kemiskinan,” kata Riza. [KRG]