Koran Sulindo – Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) disebut sebagai gambaran kegagalan pemerintah. Selain karena gagal memahami kewenangannya di Undang Undang Ormas 2013, juga gagal mengatasi persoalan ektremisme dan radikalisme.
Menurut Direktur Imparsial Al Araf, Perppu Ormas tidak perlu diterbitkan jika pemerintah memahami dua persoalan yang telah disebutkan itu. Penerbitan Perppu justru akan menyuburkan tindakan radikalisme antara lain karena dianggap subjektif.
“Itu membahayakan kondisi demokrasi Indonesia. memperumit kebinekaan dan toleransi. Pemerintah harus tanggung jawab atas Perppu ini,” kata Al Araf seperti dikutip Kompas.com pada Minggu (13/8).
Setelah “membubarkan” Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri akan menyasar ormas-ormas lain yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan, akan ada lima ormas lain yang akan dibubarkan.
Meski kecil ormas tersebut dinilai cukup populer. Ormas tersebut merupakan laporan dari daerah. Selain anti-Pancasila, ormas tersebut juga dianggap anarkis. Tjahjo memang tidak membantah dan membenarkan bahwa ormas tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI).
Ia akan tetapi mengakui pihaknya tidak bisa serta merta membubarkan ormas tersebut. Harus memiliki bukti yang kuat untuk membubarkan sebuah ormas. Pembubaran HTI, kata Tjahjo, membutuhkan waktu 10 tahun. Sedangkan lima ormas tersebut baru diteliti selama dua tahun.
Ia meminta masyarakat bersabar mengenai pembubaran tersebut. Sejatinya Perppu ini, kata Tjahjo, tidak hanya ditujukan yang beraliran agama, tapi juga untuk ormas sosial dan lain sebagainya. Seperti kata Al Araf, kekhawatiran terhadap Perppu kini menjadi kenyataan ketika Pancasila dan UUD 1945 ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa. [KRG]