Calon mahasiswa mengikuti ospek diperguruan tinggi pilihanya tahun 1990. Mereka memakai helem yang dianjurkan pimpinannya(KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA)

Perpeloncoan, atau yang lebih dikenal dengan istilah hazing, adalah praktik yang telah lama melibatkan pelecehan, penyiksaan, dan penghinaan dalam proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok.

Di Indonesia, praktik ini masih marak di beberapa tingkat dan institusi pendidikan. Senioritas dianggap lebih tinggi dan memiliki wewenang untuk memperlakukan junior secara sewenang-wenang, bahkan hingga pada tindakan kekerasan fisik.

Tradisi perpeloncoan bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah mencatatnya mulai dari zaman Yunani dengan istilah pennalisme, yang merupakan sistem penindasan ringan dan penyiksaan terhadap siswa baru.

Hal ini dimaksudkan untuk menekankan perbedaan status antara senior dan junior, dengan tujuan membuat junior merasa rendah diri dan patuh kepada senior.

Di Indonesia, perpeloncoan memiliki akar sejarah yang terkait dengan kolonialisme Belanda. Istilah ontgroening atau groentjes digunakan dalam dunia pendidikan Belanda untuk melakukan perpeloncoan, dengan tujuan untuk merendahkan dan mendiskriminasi kaum pribumi.

Bahkan, praktik ini terus bertahan pasca-kemerdekaan, dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya.

Namun, banyak upaya perlawanan terhadap perpeloncoan selama sejarah. Beberapa tokoh seperti Soedjatmoko dan organisasi mahasiswa kiri seperti CGMI dan GMNI telah berjuang melawan praktik ini. Namun, di tengah gejolak politik dan perubahan rezim, perlawanan tersebut sering kali dipatahkan.

Dampak dari perpeloncoan tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Banyak korban yang menyembunyikan cederanya karena malu atau takut. Praktik ini tidak hanya terbatas di lingkungan pendidikan, tetapi juga memengaruhi cara mahasiswa berperilaku di luar kampus, bahkan hingga dalam isu-isu politik dan sosial.

Meskipun ada upaya-upaya untuk menghapuskan perpeloncoan, praktik ini masih bertahan. Bahkan, dalam beberapa kasus, berujung pada kematian seperti yang terjadi pada Jonoly Untayana dan Fikri.

Ini mencerminkan sistem pendidikan yang masih belum ilmiah dan terjebak dalam pembodohan, demi mempertahankan hierarki sosial.

Perlawanan terhadap perpeloncoan dan sistem pendidikan yang tidak layak menjadi tanggung jawab semua warga negara, terutama mahasiswa.

Dengan menggalang kekuatan bersama, baik dari kalangan mahasiswa maupun rakyat pekerja, kita bisa bersatu melawan sistem yang menindas dan memperbudak melalui kebodohan. Itu adalah langkah awal menuju sebuah pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan layak bagi setiap individu. [UN]