Koran Sulindo – Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme telah disahkan DPR pada Mei 2018 lalu. Sebelumnya, tuntutan agar DPR segera mengesahkan revisi undang-undang tersebut sempat muncul besar-besaran sejak terjadinya serangan teror berantai, yang diawali dengan serangan tiga gereja di Surabaya pada 8 Mei 2018.
Dalam undang-undang yang baru, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan, “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”
Yang dapat digolongkan sebagai perbuatan pidana terorisme, menurut undang-undang yang baru tersebut, antara lain merekrut orang untuk jadi anggota korporasi atau organisasi terorisme; sengaja mengikuti pelatihan militer atau paramiliter di dalam dan luar negeri, dengan maksud merencanakan atau mempersiapkan atau melakukan serangan teror; menampung atau mengirim orang terkait serangan teror;
mengumpulkan atau menyebarluaskan dokumen untuk digunakan dalam pelatihan teror; memiliki hubungan dengan kelompok yang dengan sengaja menghasut untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Juga disebutkan dalam Undang-Undang Terorisme soal pemilikan senjata kimia, biologi, radiologi, biomolekuer, atau komponen-komponennya. Begitu pula setiap perbuatan terorisme yang melibatkan anak, diancam mendapat hukuman tambahan sepertiga dari hukuman yang dijatuhkan.
Namun, pada 3 September 2018 lalu, dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi terhadap undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Nomor perkaranya 73/PUU-XVI/2018.
Mahasiswa itu adalah Faisal Alhaq Harahap dan M. Raditio Jati Utomo. “Pemohon I maupun Pemohon II merupakan aktivis dan angota organisasi kemahasiswaan berbasiskan Islam, yakni Himpunan Mahasiswa Islam dan Lembaga Dakwah Fakultas Hukum Universitas Indonesia,” kata penggugat sebagaimana dikutip dari situs MK, mkri.id.
Dalam pokok permohonan, mereka mempersoalkan definisi terorisme yang tertuang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Terorisme. Mereka keberatan karena pasal yang disebutkan itu menciptakan kesan Islam menyetujui terorisme.
Yang mereka gugat adalah kalimat dalam beleid yang berbunyi, “dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”. “Stigma yang muncul di masyarakat pun membuat citra agama Islam menjadi tidak baik karena terpidana kasus terorisme menggunakan atribut atau simbol umat Islam,” ungkap Faisal.
Memang, faktanya, lanjut Faisal, sejumlah aksi terorisme yang terjadi Indonesia memang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang beridentitas agama Islam. Namun, menurut pandangan dia, gerakan yang dilakukan itu tak mewakili umat Islam yang sesungguhnya.
Para pelaku tindak pidana terorisme ini, ungkap Faisal lagi, merupakan kaum Khawarij atau golongan dari tubuh umat Islam yang mengafirkan pelaku dosa besar dan keluar dari pemerintahan yang sah. Kaum Khawarij sangat jauh dari ajaran Islam dan jauh dari memahami ayat-ayat Alquran.
“Kaum khawarij sering mendalilkan Alquran tanpa bekal ilmu dan pemahaman yang benar. Mereka sering meletakkan ayat bukan pada tempatnya dan mudah mengafirkan di luar kelompok, bahkan sesama umat Islam,” tutur Faisal.
Motif seseorang melakukan tindakan terorisme, lanjutnya, tidak bisa dibatasi hanya pada motif yang disebutkan dalam undang-undang tersebut. Karena, motif seseorang melakukan tindakan terorisme beragam, sehingga definisi yang disebutkan dalam beleid itu justru mempersempit pemberantasan terorisme.
Dicontohkan Faisal, tindak pidana terorisme di Mal Alam Sutera, Tangerang-Banten, yang dilakukan Leopard Wisnu Kumala pada 2015 silam. Motif Wisnu ketika itu ternyata adalah mendapatkan sejumlah uang dalam bentuk mata uang digital Bitcoin. “Itu adalah salah satu contoh motif seseorang melakukan terorisme yang tidak disebutkan dalam undang-undang, yaitu motif ekonomi,” ujar Faisal.
Ia pun meminta majelis hakim mengabulkan gugatan dengan menyatakan frasa yang dipermasalahkannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. Namun, permohonan itu kemudian diperbaiki kembali oleh kedua mahasiswa tersebut.KALAU SEBELUMNYA keduanya mempersoalkan bagian pasal yang menyebut “… dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”, dalam perbaikannya dijelaskan lebih lanjut bahwa ada inkonsistensi pasal 1 angka 2 dengan pasal lainnya tentang definisi terorisme. Mahasiswa penggugat itu mengungkapkan, definisi terorisme telah dijelaskan dalam pasal 6 namun tanpa keterangan “… dengan motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan”.
Juga telah dijelaskan melalui pasal 1 angka 1, yang menyebut tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Terorisme. “Keberadaan definisi terorisme dalam pasal 1 angka 2 dapat membuat definisinya menjadi sangat longgar dan bias terhadap definisi terorisme,” demikian dinyatakan dalam perbaikan permohonan uji materi itu.
Selain itu, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 5, yang menyatakan tindak pidana terorisme harus dianggap bukan tindak pidana politik. Padahal, disebutkan sebelumnya, politik menjadi salah satu motif dalam definisi terorisme. “Definisi terorisme dalam pasal tersebut justru membuat bias unsur tindak pidana yang telah didefinisikan dalam pasal 6 sampai 19,” kata Faisal.
Definisi terorisme yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 2 itu harusnya dihapus agar memberikan kepastian hukum yang jelas. “Dihapuskannya pasal itu akan memberi kepastian hukum terhadap pencegahan, penindakan, dan penanggulangan tindak pidana terorisme oleh negara,” ujarnya.
Sidang uji materi ini sampai sekarang baru sampai perbaikan permohonan tahap kedua.
Sebelumnya, MK telah menolak gugatan uji materi undang-undang yang baru itu. Gugatan tersebut dianggap tidak beralasan menurut hukum.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, 30 Oktober 2018 lalu.
Yang mengajukan uji materi gugatan tersebut juga dua orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Zico Leonard dan William Aditya. Keduanya menggugat pasal 1 ayat 1; pasal 43A ayat 3 huruf b; pasal 43C ayat 1, 2, 3, 4; pasal 43F huruf c, dan; pasal 43G huruf a.
Keduanya juga menggugat soal definisi terorisme. Juga tentang pencegahan tindak pidana terorisme melalui proses kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Pemohon menilai, beleid tersebut tak menyebutkan definisi radikal secara jelas dan tidak menjelaskan terorisme bertentangan dengan Pancasila. Mereka khawatir, ini akan menimbulkan stigma pada setiap orang bahwa yang radikal adalah teroris.
Namun, menurut Majelis Hakim MK, walau tak secara eksplisit menyatakan perbuatan terorisme bertentangan dengan Pancasila, pasal tersebut tetap menunjukkan perbuatan itu bertentangan dengan Pancasila. Ini terkait dengan penjelasan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan… dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
“Ideologi sebagai salah satu motif perbuatan terorisme dimaknai sebagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila,” kata Anggota Majelis Hakim MK, Saldi Isra.
Akan halnya makna radikal yang digugat pemohon, hakim menegaskan itu terkait dengan perbuatan terorisme. “Secara kontekstual yang dimaksud istilah kontra-radikalisasi dan deradikalisasi kaitannya adalah dalam tindak pidana terorisme,” ujar Hakim Saldi lagi.
Terkait dengan dalil tersebut, Saldi menilai tidak perlu ada penambahan kata terorisme mengingat kontra radikalisasi dan deradikalisasi diatur dalam sebuah UU bernomenklatur terorisme.
Karena itu, lanjutnya, sudah jelas langkah kontraradikalisasi dan deradikalisasi diarahkan kepada subyek yang rentan atau telah terpapar paham radikal terorisme. Langkah kontraradikalisasi dan deradikalisasi itu sendiri dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. [RAF]