KALAU SEBELUMNYA keduanya mempersoalkan bagian pasal yang menyebut “… dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”, dalam perbaikannya dijelaskan lebih lanjut bahwa ada inkonsistensi pasal 1 angka 2 dengan pasal lainnya tentang definisi terorisme. Mahasiswa penggugat itu mengungkapkan, definisi terorisme telah dijelaskan dalam pasal 6 namun tanpa keterangan “… dengan motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan”.

Juga telah dijelaskan melalui pasal 1 angka 1, yang menyebut tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Terorisme. “Keberadaan definisi terorisme dalam pasal 1 angka 2 dapat membuat definisinya menjadi sangat longgar dan bias terhadap definisi terorisme,” demikian dinyatakan dalam perbaikan permohonan uji materi itu.

Selain itu, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 5, yang menyatakan tindak pidana terorisme harus dianggap bukan tindak pidana politik. Padahal, disebutkan sebelumnya, politik menjadi salah satu motif dalam definisi terorisme. “Definisi terorisme dalam pasal tersebut justru membuat bias unsur tindak pidana yang telah didefinisikan dalam pasal 6 sampai 19,” kata Faisal.

Definisi terorisme yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 2 itu harusnya dihapus agar memberikan kepastian hukum yang jelas. “Dihapuskannya pasal itu akan memberi kepastian hukum terhadap pencegahan, penindakan, dan penanggulangan tindak pidana terorisme oleh negara,” ujarnya.

Sidang uji materi ini sampai sekarang baru sampai perbaikan permohonan tahap kedua.

Sebelumnya, MK telah menolak gugatan uji materi undang-undang yang baru itu. Gugatan tersebut dianggap tidak beralasan menurut hukum.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, 30 Oktober 2018 lalu.

Yang mengajukan uji materi gugatan tersebut juga dua orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Zico Leonard dan William Aditya. Keduanya menggugat pasal 1 ayat 1; pasal 43A ayat 3 huruf b; pasal 43C ayat 1, 2, 3, 4; pasal 43F huruf c, dan; pasal 43G huruf a.

Keduanya juga menggugat soal definisi terorisme. Juga tentang pencegahan tindak pidana terorisme melalui proses kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Pemohon menilai, beleid tersebut tak menyebutkan definisi radikal secara jelas dan tidak menjelaskan terorisme bertentangan dengan Pancasila.  Mereka khawatir, ini akan menimbulkan stigma pada setiap orang bahwa yang radikal adalah teroris.

Namun, menurut Majelis Hakim MK, walau tak secara eksplisit menyatakan perbuatan terorisme bertentangan dengan Pancasila, pasal tersebut tetap menunjukkan perbuatan itu bertentangan dengan Pancasila. Ini terkait dengan penjelasan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan… dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

“Ideologi sebagai salah satu motif perbuatan terorisme dimaknai sebagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila,” kata Anggota Majelis Hakim MK, Saldi Isra.

Akan halnya makna radikal yang digugat pemohon, hakim menegaskan itu terkait dengan perbuatan terorisme. “Secara kontekstual yang dimaksud istilah kontra-radikalisasi dan deradikalisasi kaitannya adalah dalam tindak pidana terorisme,” ujar Hakim Saldi lagi.

Terkait dengan dalil tersebut, Saldi menilai tidak perlu ada penambahan kata terorisme mengingat kontra radikalisasi dan deradikalisasi diatur dalam sebuah UU bernomenklatur terorisme.

Karena itu, lanjutnya, sudah jelas langkah kontraradikalisasi dan deradikalisasi diarahkan kepada subyek yang rentan atau telah terpapar paham radikal terorisme. Langkah kontraradikalisasi dan deradikalisasi itu sendiri dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. [RAF]