Koran Sulindo – Hanya enam negara di Asia, termasuk India dan Cina, mampu meluncurkan satelit ke luar angkasa.
Namun, Indonesia diproyeksikan segera menyusul setelah bulan ini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengumumkan rencana pembangunan bandar antariksa di Biak, Papua.
Bandar antariksa tersebut akan menjadi yang pertama di Indonesia, dan ditargetkan beroperasi pada tahun 2024. Situs peluncuran tersebut juga akan menjadi bandar non-militer pertama di Pasifik yang berlokasi dekat dengan garis khatulistiwa.
Ada dua bandar antariksa yang saat ini bertempat dekat dengan ekuator, keduanya di Amerika Selatan. Pusat Antariksa Guyana milik Prancis dan Eropa sekitar 5 derajat di atas khatulistiwa, sementara Pusat Antariksa Alcantara milik Brasil berada sekitar 2 derajat di bawahnya.
Bandar antariksa yang dekat dengan ekuator ideal untuk meluncurkan satelit orbit rendah, yakni dengan ketinggian orbit di bawah 2.000 km.
Satelit tersebut bagus untuk transmisi data karena memiliki latensi rendah, dan juga sering dirancang sebagai satelit komunikasi atau untuk riset iklim.
Bandar Dekat Ekuator Pertama di Pasifik
Ketika beroperasi, bandar antariksa di Biak tersebut akan menjadi bandar ekuator non-militer pertama yang akan melayani peluncuran di daerah Pasifik, dan merupakan yang terdekat dengan garis khatulistiwa dengan jarak hanya 1 derajat lintang selatan.
Beberapa lokasi lain yang dipertimbangkan oleh LAPAN sebelumnya adalah Morotai di Maluku Utara dan juga Pulau Enggano di Bengkulu.
Pada akhirnya Biak yang dipilih, utamanya karena lokasinya yang paling dekat dengan garis khatulistiwa.
“Untuk peluncuran orbit rendah termasuk yang orbit ekuator seperti satelit komunikasi atau meteorologi, dari segi biaya peluncurannya tentu akan lebih murah,” ungkap Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin.
Djamal mengatakan bahwa peluncuran satelit tergantung pada kemiringan bidang orbit dari garis ekuator. Peluncuran dari ekuator lebih murah karena tidak perlu ada manuver untuk merubah orbitnya setelah sampai di antariksa.
“Peluncuran ekuator masih jarang sekali di dunia, kan hanya ada di Guyana, dan Brasil juga ada di Alcantara. Tetapi di wilayah dekat pasifik itu tidak ada. Ini kesempatan baik buat bandar antariksa Biak,” katanya.
Peningkatan Kapabilitas Peluncuran
Djamal mengatakan bahwa bandar antariksa di Biak akan memiliki fasilitas dan kemampuan peluncuran yang lebih baik dibandingkan situs peluncuran milik LAPAN yang saat ini ada di Garut, Jawa Barat.
Situs peluncuran di Garut sangat terbatas untuk proyek pengujian, dan hanya bisa meluncurkan roket eksperimental dengan diameter terbesar 450mm, seperti roket RX-450 milik LAPAN.
Peluncuran roket yang lebih besar dari 450mm akan berbahaya bagi pemukiman penduduk di sekitar situs peluncuran.
Bandar antariksa yang akan di bangun di Biak dapat mengakomodasi roket yang lebih besar, seperti roket RX-550, dan juga roket bertingkat yang mampu meluncurkan satelit ke orbit rendah.
Selama ini, Indonesia meluncurkan satelit-satelitnya dari fasilitas negara lain.
Satelit komunikasi pertama Indonesia, satelit Palapa, diluncurkan pada tahun 1976 dari Pusat Antariksa Kennedy di Amerika Serikat. Tiga satelit LAPAN lainnya diluncurkan dari Pusat Antariksa Satish Dhawan di India pada tahun 2007, 2015, dan 2016.
Dengan mendirikan bandar antariksa di Biak, LAPAN berharap Indonesia dapat mewujudkan impian bangsa ini untuk meluncurkan satelit dengan fasilitas sendiri.
Ketika ditanya mengapa butuh waktu yang cukup lama untuk mendirikan bandar antariksa pertama Indonesia, Djamal mengatakan masalah utamanya adalah finansial.
Namun, ia belum bisa memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk proyek ini karena masih dalam tahap yang sangat awal.
“Ketika fasilitas ini dibangun tapi aktivitas peluncuran roket belum banyak, tentu menjadi tidak masuk akal,” katanya.
Sebagai perbandingan, Cina adalah negara dengan peluncuran orbital terbanyak di tahun 2018 dengan 38 peluncuran. Indonesia hanya meluncurkan roket-roket eksperimental, dan tidak ada satupun yang membawa satelit.
Gandeng Mitra Internasional
Premana Premadi, seorang astronom di Institut Teknologi Bandung, merasa optimistis dengan pembangunan bandar antariksa baru ini. Tapi, ia memperingatkan bahwa bandar ini harus didukung oleh investasi besar untuk sumber daya manusia.
“Kalau mau ada spaceport [bandar antariksa], saya pikir juga harus ada investasi yang besar pada tenaga ahli antariksa. Ini akan membantu lebih cepat alih teknologi dari negara maju,” katanya.
Premana juga menyarankan Indonesia untuk berkolaborasi dengan konsorsium antariksa internasional, termasuk lembaga keantariksaan lain, organisasi internasional dan juga perusahaan antariksa untuk membantu mengoperasikan bandar antariksa di Biak.
“Tapi harus dimulai sekarang menjajakannya, bermitra dengan konsorsium akan membantu dalam pengembangan infrastruktur dan teknologi, meningkatkan kualitas SDM, dan juga memastikan jaringan customer [pelanggan],” terangnya.
Djamal sepakat bahwa kemitraan internasional adalah kunci untuk membuat situs di Biak menjadi bandar antariksa yang sukses.
“Tentu setelah nanti spaceport ini jadi, tentu tidak efisien kalau hanya digunakan untuk meluncurkan satelit atau roket LAPAN yang jumlahnya belum terlalu banyak,” katanya. “Kemitraan internasional dibutuhkan sehingga bandar antariksa tersebut itu lebih efisien lagi. Jadi dengan adanya customer dari berbagai negara tentu diharapkan ini menjadi bandar antariksa yang cukup aktif di Pasifik.”
Apa Langkah Selanjutnya?
Djamal juga berharap bahwa bandar antariksa ini dapat mendongkrak aktivitas keantariksaan Indonesia.
UU Keantariksaan tahun 2013 sendiri memandatkan penggunaan luar angkasa untuk kepentingan nasional melalui lima aktivitas utama: sains antariksa, penginderaan jauh, penguasaan teknologi antariksa, peluncuran, dan kegiatan komersil keantariksaan.
Ketiadaan suatu bandar antariksa yang layak menyebabkan hanya tiga aktivitas pertama yang dapat dilakukan.
“Untuk launching [peluncuran] dan kegiatan komersial keantariksaan selama ini belum secara serius kita lakukan, maka tahun depan mulai kami coba untuk sedikit demi sedikit,” kata Djamal. “Artinya kami harus mencari mitra-mitra bisnis baik nasional maupun internasional untuk bisa mewujudkan dua kegiatan tersebut.” [Tulisan ini disalin dari theconversation.com].