Koran Sulindo – Siang di akhir November 2016 itu, beberapa pejabat negara hadir dalam sebuah acara syukuran di Hotel Grand Zuri Serpong, Tangerang Selatan. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun hadir dalam acara syukuran pembebasan bersyarat (PB) Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Sejak 10 November lalu, Antasari resmi mendapat PB.
Kalla diundang sebagai tamu khusus karena kedekatannya dengan Antasari. Dalam acara itu Kalla didapuk untuk memberi sambutan dan sempat mencicipi makanan yang telah disajikan. Setelah itu ia pamit. Kepada wartawan, Kalla sempat mengatakan, kebenaran harus diungkap dalam kasus yang menjerat Antasari. Pengungkapan kebenaran ini akan menjadi pelajaran bagi masyarakat agar kasus serupa tidak terulang lagi. “Kemenangan pasti jaya. Ini penting kebenaran harus terungkap. Kebenaran harus menang,” kata Kalla seperti dikutip kompas.com.
Antasari merupakan terpidana pembunuhan bekas Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia, BUMN yang bergerak di bidang agro industri, farmasi & alat kesehatan dan perdagangan & distribusi. Akan tetapi, kasus tersebut hingga hari ini masih dianggap “gelap” dan pelaku sebenarnya belum terungkap.
Pernyataan Kalla itu sepertinya menegaskan Antasari bukanlah dalang dari kasus tersebut. Kendati demikian, akibat kasus itu, Antasari diganjar 18 tahun penjara dan telah menjalani masa tahanan lebih dari tujuh tahun. Dengan demikian, ia berhak mendapatkan PB setelah menjalani masa tahanan dua pertiga dari hukuman.
Pernyataan Kalla membawa publik kepada ingatan ketika kali pertama kasus tersebut “meledak”. Pertanyaan mendasar kasus tersebut pun kembali muncul: siapa pembunuh Nasrudin? Lalu, bagaimana peran Antasari? Untuk jawaban kedua pertanyaan ini, kendati tidak mendetail, Kalla mengatakan “Hanya Antasari yang tahu kebenarannya.”
Sebelum menjabat Ketua KPK, Antasari merupakan jaksa karir pada Kejaksaan Agung. Namanya mulai moncer ketika ia menangani kasus yang melibatkan Tommy Soeharto. Jabatan terakhirnya di Kejaksaan Agung adalah Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum. Bersama dengan empat jaksa senior, antara lain Marwan Effendy yang kala itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Antasari mendapat mandat Jaksa Agung Hendarman Supandji mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK.
Meski menuai kontroversi, laju Antasari menjadi pimpinan KPK tidak terbendung. Ia mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Pada akhir 2007, Antasari resmi menjabat Ketua KPK. Untuk menjawab keraguan berbagai pihak kepadanya, Antasari “menyikat” para pejabat negara yang terbukti berbuat rasuah. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan merupakan pembuka dari sepak terjang Antasari ketika memimpin KPK.
Urip tertangkap tangan menerima uang Rp 6 miliar dari pengusaha Artalita Suryani. Dari perbuatannya itu Urip lalu diganjar hukuman 20 tahun penjara. Kasus itu membuat sejumlah pejabat di Kejaksaan Agung terjungkal. Mereka antara lain Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rachman dan Direktur Penyidikan M. Salim. Kasus ini lantas membuat beberapa pejabat Kejaksaan Agung menyimpan “dendam” kepada Antasari.
Di tangan “dingin” Antasari, KPK menjadi “macan”. Sejumlah anggota DPR ditangkap. Kasus suap Bank Indonesia pun dibongkar habis. Ujungnya, selain Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI waktu itu), Aulia Pohan—Deputi Bank Indonesia yang juga besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)– harus mendekam di hotel prodeo. Kasus Burhanuddin, yang kemudian menyeret Aulia Pohan, bermula dari pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution yang mengungkap ke publik soal aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar.
Rincian dana itu, Rp 68,5 miliar dikucurkan untuk bantuan hukum mantan direksi dan jajaran Dewan Gubernur BI yang terlibat dalam sejumlah kasus hukum, serta Rp 31,5 miliar digunakan untuk diseminasi UU BI di DPR. Sejak kasus itu menjadi perhatian publik, ada banyak orang yang “mengincar” Antasari. Karena penetapan Aulia sebagai tersangka, Presiden SBY disebut-sebut marah besar kepada Antasari. Fakta ini diungkap anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah, medio 2013.
Pada November 2014, Antasari tidak mau menanggapi soal itu. Biarlah itu menjadi opini publik. Akan tetapi, ia mengingatkan ketika menjabat sebagai Ketua KPK, siapapun bisa ditahan asal memenuhi syarat dua alat bukti permulaan yang cukup.
Barisan “Korban” Antasari
Di luar soal kemarahan SBY itu, sejak 2008, beberapa orang pernah merencanakan untuk membongkar “kebusukan” Antasari di masa lampau dengan menggunakan wartawan. Bahkan orang-orang ini menyatakan tersedia dana yang tidak terbatas untuk itu. Salah seorang dari kelompok itu adalah tokoh yang dkienal sebagai Harijadi A Munandar. Ia merupakan pengurus Majelis Dzikir An Nurussalam, lembaga dakwah yang didirikan oleh SBY. Ia juga mengaku sebagai adik dari mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, M. Salim, yang juga menjadi “korban” Antasari dalam kasus tangkap tangan jaksa Urip.
Soal ini, Ari Yusuf– salah satu pengacara Antasari sewaktu kasus ini sedang panas-panasnya– mengatakan memang ada pihak-pihak tertentu yang ingin merusak karakter kliennya itu. Soal asmara hanya pengalihan, dan dalam kasus terbunuhnya Nasrudin ia melihat ada banyak keganjilan.
Sementara cerita Harijadi – orang Majelis Dzikir SBY itu – ia melihat sepak terjang Antasari selama menjadi Ketua KPK hanya menargetkan orang-orang tertentu. Ia heran mengapa Antasari tidak pernah mau membongkar kasus-kasus yang berkaitan dengan anggota DPR dari PDI Perjuangan, misalnya. Ketika itu kasus yang banyak melibatkan kader PDI Perjuangan berkaitan dengan pemberian cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Gultom.
Harijadi mengaku heran mengapa kasus itu mandek di tangan Antasari. Diskusi internal Majelis Dzikir SBY menyimpulkan Antasari sesungguhnya sedang menargetkan SBY. Terlebih ketika itu Aulia Pohan – besan SBY – sudah dijebloskan ke dalam penjara, kata Harijadi.
Hubungan yang kurang baik ini kemudian berlanjut hingga hari ini. Buktinya Antasari enggan mengundang SBY menghadiri syukuran atas PB yang diterimanya pada 10 November 2016. Padahal, selain Jusuf Kalla, Antasari juga mengundang beberapa pejabat setingkat menteri antara lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Politikus Partai Demokrat Amir Syamsuddin tidak rela jika Antasari dan SBY dibenturkan sedemikian rupa. Tidak perlu ada desakan agar SBY dan Antasari saling bertemu. Amir yang bekas Menteri Hukum dan HAM itu tidak melihat relevansinya dan kepentingan yang mendesak atas pertemuan Antasari dan SBY. Ia mempersilakan jika Antasari ingin bersilaturahmi dengan SBY. Tidak akan ada orang yang menghalang-halanginya.
Antasari di hari pembebasannya mengaku mengundang berbagai pihak untuk hadir dalam syukuran pembebasannya. Selain kerabat, ia juga mengundang senior-seniornya di Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM dan terutama Jusuf Kalla. Wakil Presiden ini disebut paling rajin menjenguk Antasari selama berada di penjara. Sementara untuk SBY, Antasari mengaku sama sekali tidak pernah terpikir untuk mengundangnya. Apalagi SBY tidak pernah menjenguk atau sekadar menyapanya.
Lantas bagaimanakah kelak kisah akhir kasus Antasari ini? Yang pasti kisah ini belum akan usai. Bahkan, akan memasuki babak baru yang tak kalah seru. [Kristian Ginting]