koransulindo.com – Perjuangan Prof. Andi Faisal dan Prof. Masri Mansoer akhirnya membuahkan hasil, setelah kedua Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menggugat Rektor Syarif Hidayatullah Prof. Amany Lubis ke Pengadilan Tata Usaha Negara Serang, Banten.
Kedua Warek itu sebelumnya telah diberhentikan oleh Rektor Prof. Amany selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Andi diberhentikan dari jabatan Wakil Rektor Bidang Kerjasama, sementara Prof. Masri diberhentikan dari jabatan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Pemberhentian terhadap keduanya itu, karena diduga erat dengan pembangunan asrama mahasiswa. Di mana berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh UIN Watch, dalam pembangunan asrama tersebut terdapat dugaan tindak pidana penipuan atau penggelapan.
Pasalnya, asrama yang dibangun bukan merupakan asrama mahasiswa UIN Jakarta, tapi asrama salah satu organisasi ekstra, yang kemudian ditulis dan diajukan dengan proposal permohonan bantuan untuk pembangunan gedung Asrama Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Keduanya pun lantas dilaporkan oleh UIN Watch ke Polda Merto Jaya. Dalam laporan ini pelapor mencantumkan nama Prof. Andi dan Prof. Masri sebagai saksi. Tetapi demikian, diketahui pencantuman nama Prof. Andi dan Prof. Masri tanpa konfirmasi atau sepengetahuan keduanya.
Seiring waktu berjalan, kasus pembagunan asrama mahasiswa tersebut semakin riuh, yang mengakibatkan sebanyak 22 dosen mengirimkan surat permintaan klarifikasi ke Menteri Agama, tetapi tidak ada tanggapan.
Tak sampai disitu, sebanyak 126 dosen pun lantas bersurat ke Senat untuk meminta agar kasus tersebut diverifikasi dan dibentuk Mahkamah Etik (ME) untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, sampai saat ini tidak ada dibentuk ME dimaksud. Sebagai catatan, baik Prof. Andi maupun Prof. Masri tidak terlibat di dalamnya.
Meski tak terlibat dalam kasus di atas, Prof. Andi dan Prof. Masri malah menjadi pihak yang dituduh, menjadi bagian dari pelaporan dan keramaian tersebut, sehingga keduanya kemudian diberhentikan tanpa melalui prosedur yang sah atau benar.
Adapun alasan pemberhentian sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Rektor bernomor 167 dan 168 tahun 2021 yang ditandatangani tanggal 18 Februari 2021 adalah, karena sudah dianggap tidak dapat bekerja sama lagi dalam tugas kedinasan.
Merasa tak berbuat apa-apa, lantas keduanya, melalui kuasa hukumnya yang dipimpin oleh Mujahid A. Latief, menempuh sejumlah jalur hukum. Mulai dari mengajukan surat keberatan, banding administratif kepada Menteri Agama RI, hingga mengajukan gugatan ke PTUN Serang pada 10 Mei 2021.
Di Gugatan Menang
Gugatan yang ditempuh keduanya ke PTUN Serang, Banten, pun dikabulkan seluruhnya. Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang online pada sistem e-court Mahkamah Agung pada 21 September 2021 tersebut, pemberhentian keduanya oleh Rektor UIN Syatif Hidayatullah tidak sah.
Sebagaimana putusan majelis hakim PTUN Serang dalam putusannya nomor 31/G/2021/PTUN.SRG dan nomor 32/G/2021/PTUN.SRG, menyatakan batal atau tidak sah masing-masing surat keputusan pemberhentian tersebut, serta memerintahkan kepada Prof. Amany selaku tergugat untuk mencabutnya.
Selain itu, tergugat juga diwajibkan untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan penggugat sebagai wakil wektor.
Mujahid A. Latief selaku ketua tim kuasa hukum penggugat mengatakan bahwa, dengan dibatalkannya surat keputusan pemberhentian Prof. Andi dan Prof. Masri dari jabatannya sebagai wakil rektor, maka SK pemberhentian tersebut tidak lagi memiliki akibat hukum dan tidak ada pilihan lain bagi Rektor selain mencabutnya.
Menurut Mujahid, dikabulkannya gugatan tersebut karena pihaknya berhasil membuktikan sejumlah dalil dalam gugatannya, antara lain SK pemberhentian kliennya, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.
Dengan begitu, Mujahid berharap tergugat bisa menaati dan melaksanakan amar putusan a quo. “Kami berharap Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pendidik dan pimpinan PTKIN terbesar di Indonesia, memberikan contoh yang baik dengan menaati perintah pengadilan, dalam hal ini dengan segera melaksanakan putusan PTUN Serang,” kata Mujahid dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (22/9).
Terlebih, putusan tersebut sebagai warning kepada pejabat publik atau pimpinan suatu Lembaga, agar tidak sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang yang hanya karena kebencian, atau ketidaksukaannya memecat dan memberhentikan seseorang dari suatu jabatan.
Terlebih, negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Konstitusi, dimana punya aturan main dalam bernegara, sehingga tidak boleh karena jabatan atau kekuasaannya seseorang berbuat sewenang-wenang. “Semua harus sesuai prosedur dan hukum due process of law,” ujar Mujahid. [WIS]
Baca juga: