Pembelotan tentara KNIL itu memberikan keuntungan besar bagi perjuangan kemerdekaan. Disersi itu memberikan pukulan mental yang besar kepada Belanda. Bahwa meskipun tentara KNIL mendapatkan fasilitas duniawi yang besar, namun tetap tidak menghilangkan kecintaan mereka kepada Republik Indonesia.

Pembelotan itu juga memberikan inspirasi kepada tentara KNIL lain di seluruh Indonesia bahwa sudah saatnya warga negara Indonesia yang kebetulan menjadi anggota KNIL untuk segera kembali ke pangkuan Ibu pertiwi. Kalaupun tidak bisa, karena alasan keluarga dan lain-lain, mereka diharapkan untuk bertempur dengan biasa-biasa saja, atau pura-pura.

Di samping itu, ini yang terpenting, disersi tentara KNIL membuka mata dunia, terutama negara-negara Sekutu bahwa seluruh rakyat Indonesia akan tetap mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga negara-negara Sekutu harus segera menyelesaikan urusannya dengan Jepang. Dan tidak terpengaruh dengan propaganda Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Tentara desertir itu juga memberikan pelajaran kepada seluruh masyarakat Sulawesi, bahwa mereka saja yang sudah mendapatkan fasilitas enak dari Belanda tetap memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia, apalagi rakyat yang ditindas penjajah. Dengan demikian, seharusnya pemuda-pemuda Sulawesi lebih gigih lagi untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Alhasil, desersi tentara KNIL itu ternyata berdampak besar bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Para pemuda Sulawesi yang bergabung dengan pejuang-pejuang kemerdekaan semakin hari semakin bertambah. Ini tentu membuat posisi Belanda di Sulawesi semakin sulit, karena semakin sibuk untuk memadamkan api perjuangan yang berkobar di mana-mana. Dari Oktober 1945 sampai Desember 1946, pemberontakan muncul di berbagai daerah di Sulawesi.

Melihat situasi itu, Belanda kesal dan marah. Pada Desember 1946, Belanda mengerahkan pasukan khusus, special troepen, yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling. Pasukan khusus ini melakukan penumpasan perjuangan rakyat dengan kasar. Westerling menembak mati ribuan pejuang dan rakyat Sulawesi Selatan yang tidak mau tunduk dan melawan Belanda.

Pada 28 Januari 1947, pasukan khusus Belanda pimpinan Westerling mengeksekusi 208 orang di tanah lapang depan kantor pemerintah setempat. Insiden tersebut merupakan salah satu dari pembunuhan massal yang dilakukan Westerling, yang lama dianggap sebagai pahlawan oleh Belanda. Westerling dan pasukannya, juga melakukan pembantaian di puluhan desa selama tiga bulan untuk memberantas pemberontakan terhadap Belanda. Menurut data pemerintah Indonesia, Westerling telah membantai 40.000 orang di Sulawesi. Dan Amsterdam tidak pernah menghukum para pembantai tersebut. Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, secara resmi menyampaikan permohonan maaf atas pembantaian tersebut dalam sebuah upacara di Jakarta, Kamis, 12 September 2013.

“Atas nama pemerintah Belanda, saya minta maaf atas perbuatan yang keterlaluan ini,” kata De Zwaan. Sebagian keluarga korban pembantaian yang menuntut kompensi atas tewasnya suami atau ayah mereka telah dibayar pemerintah Belanda. Tapi Belanda sampai hari ini menolak tuduhan pembantaian massal di Sulawesi tersebut. Menurut Belanda, korban pembantaian oleh Westerling hanya beberapa ribu orang. Tak sebanyak klaim Republik.

Keganasan Westerling yang luar biasa itu tidak dapat menyurutkan semangat masyarakat Sulawesi untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sulawesi pun, yang dihuni beberapa kerajaan lokal, akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia. [GAB]