Dalam organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng Radja memberi perintah kepada Laskar PBAR. Melihat fenomena ini, pada tanggal 17 Maret 1949, Belanda mengasingkan lagi ke ke Manado, Sulawesi Utara, dan baru bebas setelah Konperensi Meja Bundar di Belanda, 1950.
Pada babak berikutnya, perlawanan terhadap kehadiran Belanda di Sulawesi tidak hanya terjadi di Bulukumba, melainkan juga menyebar luas di seluruh daratan pulau berbentuk Kalajengking tersebut. Pemuda-pemuda di Sulawesi, seperti Emy Saelan, Wolter Monginsidi, dan lain sebagainya juga menggalang perlawanan terhadap Belanda di seluruh tanah Sulawesi. Pada 28 Oktober 1945, pemuda dan pelajar Sulawesi melakukan serangan serentak. Mereka berhasil merebut stasiun radio di markas tentara Belanda atau KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger).
Sayang, pemuda-pemudi Sulawesi menguasai stasiun radio tersebut hanya sebentar. Mereka tak mampu menahan serangan balik dari pasukan Belanda dan Sekutu yang persenjataannya lengkap. Meski begitu, penguasaan mereka terhadap stasiun radio tetap memberikan kesan mendalam bagi seluruh rakyat Sulawesi. Karena, melalui radio tadi, para pejuang berhasil menyiarkan semangat perlawanan terhadap Belanda untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bahkan lebih dari itu, propaganda pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan itu sempat didengarkan oleh beberapa tentara KNIL dan menginspirasi mereka untuk melakukan desersi. Peran lain dari pemuda Sulawesi dalam mempertahankan kemerdekaan adalah mencoba membelokkan KNIL yang seharusnya pro-Belanda menjadi pro-Republik Indonesia.
Baca juga: Orang-orang Maluku dan Deklarasi 16 September 1945
Pada Desember 1945, Belanda mengirimkan beberapa kompi KNIL ke Makassar. Tujuannya, untuk memadamkan api perlawanan yang tumbuh subur di Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu. Namun dua tentara KNIL yang pernah mendengar dari radio soal kemerdekaan Indonesia, yaitu Sersan Salendu dan Sersan Laloan, mencoba mempengaruhi anggota KNIL lainnya untuk berbalik arah mendukung dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Keduanya kebetulan berasal dari daerah yang sama, yaitu dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Sesampainya di Makassar, beberapa komandan KNIL segera bersilaturahmi dengan Sam Ratulangi, tokoh Sulawesi yang juga mengikuti persidangan PPKI mewakili masyarakat Sulawesi. Akhirnya, Sam Ratulangi menghubungkan tentara KNIL yang pro-Republik Indonesia dengan pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan. Setelah dirasa cukup aman, ketua sersan KNIL bersama beberapa prajurit lainnya lari ke luar kota Makassar, dengan membawa sebuah truk, sejumlah senjata bren, dan amunisinya.
Desersi itu tentu saja sangat memukul Belanda, secara fisik dan kejiwaan. Bagaimana tidak, tentara yang ia bentuk, dengan seleksi ketat untuk menjamin loyalitasnya kepada Belanda, mendapatkan gaji yang sangat cukup, serta persenjataan yang lengkap dan modern, justru berbalik arah melawan Belanda. Ibarat orang pacaran, ia sudah memberikan segalanya, namun sang pacar justru pindah ke lain hati. “Sakitnya tuh di sini” kata anak zaman now, menirukan tembang dangdut penyanyi Citata — membayangkan sakitnya orang Belanda “dikhianati” tentara KNIL.
Belanda bersama tentara Sekutu lainnya melakukan pengejaran besar-besaran terhadap tentara KNIL yang desersi itu. Belanda ingin memberikan pelajaran yang keras. Karena itu, beberapa minggu setelah kabur, sebagian besar para tentara KNIL yang pro-Republik Indonesia itu ditangkap. Hanya sebagian kecil saja yang bisa lolos. Mereka yang ditangkap diadili secara militer dihukum selama 10 tahun. Sam Ratulangi yang diendus oleh Belanda sebagai tokoh penghubung juga mendapatkan hukuman tahanan rumah dan tidak boleh melakukan kegiatan politik. Kalau saja Belanda sendirian di Sulawesi, tidak bersama tentara Sekutu, sudah pasti para desertir dan Sam Ratulangi akan mendapatkan hukuman yang lebih sadis dan tidak berprikemanusiaan.