Dr. Ir. Indra Iskandar, Sekretaris Jenderal DPR RI

Oleh Dr. Ir. Indra Iskandar
Sekretaris Jenderal DPR RI

Koran Sulindo — Nama Bulukumba — sebuah Kabupaten kecil di Sulawesi Selatan — dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia memang tidak sepopuler Surabaya. Tapi di mata Sekutu, pemenang perang dunia kedua, Bulukumba yang wilayahnya dekat pesisir, dianggap sebagai tempat terbaik dan teraman untuk pendaratan tentara Sekutu di timur Indonesia.

Sejarah mencatat, dalam perang dunia kedua, tentara Jepang terkonsentrasi di timur Indonesia. Makassar adalah salah satu pusat pemerintahan dan militer Jepang di Asia Timur, selain Biak di Papua. Itulah sebabnya, setelah menang perang, Sekutu akan melucuti tentara Jepang di Sulawesi Selatan.

Ya, hanya lima pekan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaanya — 24 September 1945 — tentara Sekutu mendarat di pantai Bulukumba. Seperti pendaratan tentara Sekutu di Surabaya yang diboncengi Belanda, di Bulukumba pun sama. Belanda membonceng tentara Sekutu. Jika tujuan tentara Sekutu ke Bulukumba untuk melucuti senjata tentara Jepang dan menerima penyerahan Dai Nippon, Belanda lain lagi. Ingin kembali menduduki Indonesia. Makassar adalah kota penting dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda.

Melalui “orang-orang” Nederlands Indies Civil Administration (NICA), Belanda kembali ke Indonesia dengan dua tujuan, yaitu balas dendam terhadap Jepang yang berhasil mengusirnya dari Indonesia. Kemudian menjajah kembali Indonesia.

Baca juga: RSUP Merawat Bayi Republik Indonesia

Langkah pertama Belanda untuk mengamankan posisinya di Bulukumba, Sulawesi Selatan, adalah mengajak tokoh lokal Andi Sultan Daeng Radja untuk bergabung dan bekerja sama. Andi Sultan Daeng Radja sendiri merupakan salah satu utusan masyarakat Sulawesi untuk mengikuti persidangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mulai bersidang sejak 18 Agustus 1945. Setelah persidangan selesai, beliau langsung pulang ke Bulukumba untuk memberi penjelasan kepada rakyatnya mengenai hasil rapat PPKI dan menyusun rencana dalam rangka menindak-lanjuti peristiwa bersejarah kemerdekaan RI.

Dalam situasi seperti ini, Belanda memperoleh pelajaran pahit, karena sang tokoh bangsawan Andi Sultan Daeng Radja tidak berkenan menerima ajakan Belanda. Lebih dari itu, beliau menggalang seluruh potensi masyarakat Bulukumba untuk melawan Belanda di tanah Sulawesi. Akhirnya, terjadilah perlawanan rakyat Bulukumba terhadap Belanda. Sayang, karena kalah secara persenjataan dan kemampuan personil, pada 2 Desember 1945, Belanda menangkap Sultan Daeng Radja dan menahannya di Makassar.

Pemerintah kolonial berharap, penangkapan Sultan Daeng Radja akan mematikan perlawanan rakyat Bulukumba. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Penangkapan beliau semakin membangkitkan perlawanan rakyat Bulukumba terhadap Belanda. Bahkan lebih dari itu, semangat perlawanan masyarakat Bulukumba semakin membara. Mereka kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin.