Penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung dari Mataram
Penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung dari Mataram/Istimewa

Koran Sulindo – Periode 1767 hingga 1771 terjadi perang di ujung timur Pulau Jawa. Salah satu perang paling mematikan yang pernah terjadi di Pulau Jawa. VOC melawan rakyat Blambangan, yang kemudian memilih melakukan perang habis-habisan atau perang puputan. Perang itu berakhir dengan puputan Bayu pada 18 Desember 1771. Karena perang itu membuat Blambangan kehilangan sebagian besar penduduknya, baik karena perang maupun melarikan diri ke daerah lain.

Seolah menjelaskan dampak puputan Bayu, Raffles dalam History of Java (1817) menuliskan “Warga Blambangan sebelum puputan bayu berjumlah 80 ribu jiwa, setelah perang pada 1881 Banyuwangi hanya ditinggali 8 ribu jiwa.” Pada 18 Desember diambil menjadi hari lahir Kabupaten Banyuwangi yang sebelumnya dinamai Kadipaten Blambangan.

Perang tersebut merupakan buntut dari perjanjian yang dilakukan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dengan penguasa Mataram saat itu yaitu Pakubuwana II pada November 1743. Perjanjian tersebut timbul akibat permintaan bantuan Pakubuwana II kepada VOC untuk kembali mendapatkan tahtanya akibat berbagai pemberontakan yang terjadi.

VOC tidak terima dengan Blambangan yang didukung Kerajaan Mengwi di Bali melakukan kerja sama dengan Inggris, salah satunya dengan pembangunan kantor dagang Inggris di Ulu Pampang. VOC memberangkatkan ribuan pasukan ke Blambangan  untuk memastikan kekuasaannya sekaligus memberi peringatan kepada Inggris dan Mengwi jika Blambangan ada dalam kekuasaan mereka. Selain melalui darat, VOC juga memberangkatkan puluhan kapal dikerahkan menuju selat yang menghubungkan Bali dan Blambangan untuk memblokade laut Blambangan dari bantuan luar terutama dari Bali.

Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 menuliskan  soal isi perjanjian dengan pemimpin Mataram yang melemahkan Mataram dan memberikan keuntungan politik kepada VOC. Setidaknya VOC semakin memperkuat kedudukan dan posisi tawarnya di hadapan raja-raja Mataram.

Isi perjanjian antara Pakubuwana II dan VOC antara lain VOC diberi wewenang penuh atas Madura, Surabaya, Rembang, Jepara dan Blambangan. VOC juga diberi kewenangan jika menginginkan daerah sepanjang lajur sungai yang mengalir ke pesisir utara atau laut Jawa. Kemudian VOC akan menerima 5.000 koyan (8.600 metrik ton) beras setiap tahun.

Meski demikian, korupsi dan pengeluaran yang begitu besar untuk menegaskan dominasinya membuat VOC mengalami krisis keuangan yang hebat. Ricklefs memberi gambaran tentang VOC selama kurun waktu 1683 – 1710 hanya tiga kantor yaitu Jepang, Surat dan Persia yang memberikan keuntungan, sementara kantor lain jutru  terus mengalami kerugian bahkan termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Cirebon dan pesisir Jawa. Kelak pada tahun 1799 terbukti VOC harus mengalami kebangkrutan akibat korupsi dan manajemen yang tidak efisien. Salah satu yang paling besar adalah pembiayaan untuk perang dan penaklukan nusantara.

Maka tidak heran VOC semakin memberikan beban yang berat kepada rakyat Jawa sebagai daerah utama penghasil beras, kayu dan beberapa komoditas lainnya. Beras dan kayu saat itu merupakan komoditas utama yang dihasilkan Jawa dan diperjualbelikan di pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa sebelum kemudian dibawa ke pelabuhan penting lainnya sebagai komoditas utama dunia.

Komoditas tersebut sebelumnya berada dalam kekuasaan pemerintah kerajaan-kerajaan pedalaman Jawa seperti Mataram. Praktik tersebut dilakukan bersamaan dengan tekanan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa untuk tunduk kepada aturan monopoli dagang VOC yang ditempuh melalui perjanjian perdagangan yang sebagian besar hasil dari penaklukan militer. Monopoli perdagangan inilah yang diharapkan VOC bisa memberikan keuntungan yang besar meski harus ditebus dengan biaya tinggi untuk menundukan kekuasaan-kekuasaan lokal Nusantara.

Pada saat yang sama kerajaan-kerajaan di Indonesia yang sebelumnya melakukan praktik perdagangan hasil bumi terus melemah, salah satunya karena peperangan untuk memperebutkan dominasi yang kemudian dengan baik dimanfaatkan VOC terutama dengan diplomasi politik–militernya yang lebih maju. Dengan politik adu domba, VOC mampu menjadi pemenang di tengah konflik yang terus terjadi antar-kerajaan dan secara bertahap mengkonsolidasikan dominasi politik dan militernya.

Setelah era Sultan Agung. Mataram merupakan kerajaan yang berbeda. Semakin melemah saban waktu dengan intrik dan konflik perebutan tahta. Ini yang dimanfaatkan dengan baik oleh VOC untuk melemahkan kekuatan dan pengaruh politik kerajaan tersebut. Konflik membuat Mataram semakin kesulitan untuk menegakkan pengaruhnya atas daerah-daerah bawahannya. Daerah-daerah bawahan atau vassal seperti Cirebon, Semarang dan Surabaya berusaha melonggarkan diri serta mengambil posisi atas situasi yang terjadi di pusat kekuasaan tersebut. Kelak, beberapa daerah terutama daerah Timur dan pesisir Utara menjadi basis dari perlawanan menghadapi Mataram.

Setelah Sultan Agung, kekuasaan Mataram jatuh pada putra mahkota Amangkurat I. Raja penerus yang memerintah dengan kejam dan membawa Mataram pada perpecahan serta pemberontakan yang melemahkan kerajaan terbesar di Jawa setelah era Majapahit. Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap membahayakan kedudukan terus terjadi, termasuk para bangsawan dan pemuka agama. Dalam perebutan tersebut bahkan Pangeran Alit, adik dari Amangkurat I juga menjadi korbannya.

Dalam catatan Ricklefs, Amangkurat I disebutkan pernah mengumpulkan 5.000 hingga 6.000-an orang baik laki-laki maupun perempuan yang dinilai sebagai pemuka agama di halaman istana dan kemudian dibunuh. Ricklefs mengambil data tersebut berdasarkan catatan pejabat VOC yang bertugas di Mataram era Amangkurat I yaitu Rijcklofs van Goen. Kekejaman Amangkurat I bahkan harus menelan korban mertuanya Pangeran Pekik dari Surabaya dan keluarganya pun tidak luput dari eksekusi pada 1659.

Periode Amangkurat I disebut sebagai periode paling gelap dalam sejarah pemerintahan kerajaan Mataram. Dan setelah masanya Mataram justru kian tenggelam. Masa Amangkurat I seperti melegitimasi kebenaraan mitos ramalan ketika Danang Sutawijaya naik tahta, bahwa kerajaannya akan mengalami masa puncak saat cucunya memerintah tetapi setelah itu Mataram akan mengalami titi mangsa-nya. Amangkurat I adalah anak dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram sekaligus cucu dari Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati, pendiri Mataram.

Amangkurat I berusaha menghilangkan konsensus dengan para pemimpin lokal dan menggantinya dengan konsolidasi kekuasaan mutlak ditangan sang raja.  Padahal konsensi dengan penguasa –penguasa feodal bawahan inilah yang selama ini menjadi fondasi militer dan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Sebuah kebijakan yang kemudian semakin memanaskan bara menuju pemberontakan daerah bawahan Mataram.

Kepercayaan rakyat dan penguasa daerah bawahan yang kian lemah membuat Amangkurat I semakin kehilangan kekuatan untuk membangun militer yang kuat untuk menunjukan kekuasaan mutlak kerajaan. Pada saat yang sama daerah bawahan pun semakin keras berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Mataram dan membawa ketidakpercayaan antar bangsawan dalam diri mereka. Sebuah kenyataan yang kemudian dipanen dengan perang antar mereka dan memberikan ruang bagi VOC untuk menjadi pemenang dikemudian hari.

Kepercayaan terhadap Amangkurat I semakin memburuk ketika raja Mataram tersebut membangun kerja sama perdagangan dengan VOC dengan membuka pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara pantai Jawa. Kerja sama yang membuat rakyat harus semakin menderita akibat mobilisasi komoditas untuk kepentingan perdagangan sementara keuntungan hanya mengalir ke istana raja di Plered.

Pada akhirnya sebuah aliansi militer yang melibatkan bangsawan istana, penguasa bawahan bahkan putra mahkota terbentuk menuju pemberontakan terbesar dalam sejarah Mataram. Aliansi tersebut di bawah Trunajaya mengobarkan pemberontakan yang diawali dari ujung timur kekuasaan Mataram yang kemudian meluas ke daerah pesisir utara Jawa sebelum memasuki pusat kerajaan dan merebut istana Plered. Pada akhirnya Amangkurat I meninggal dalam pelarian di Tegal Wangi.

Amangkurat II
Putra Mahkota yang nyaris ikut menjadi korban pemberontakan meski dalam tahap sebelumnya terlibat dalam aliansi anti-sang raja akhirnya naik tahta dengan gelar Amangkurat II setelah membunuh Trunajaya dengan bantuan militer VOC. Selanjutnya adalah episode-episode konflik dan perang memperebutkan kekuasaan yang justru terus melemahkan Mataram.

VOC terus melibatkan diri dalam berbagai konflik dan perang dalam memperebutkan tahta Mataram, tujuannya jelas untuk memperkuat dominasi politik mereka dan melakukan kontrol perdagangan komoditas dari pedalaman Jawa, terutama beras, gula dan kayu. Campur tangan VOC  yang terjadi mulai dari era kekuasaan Amangkurat I sebagai penerus Sultan Agung dan terus terjadi sampai dengan penguasa-penguasa Mataram selanjutnya.

Begitu banyak perang yang terjadi mulai termasuk perang suksesi I yang menaikkan Pangeran Puger (Pakubuwono I) dan menurunkan Amangkurat III, hingga perang suksesi II yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti dan kemudian memecah Mataram pada beberapa wilayah, termasuk melahirkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian dan dominasi VOC semakin membawa Mataram yang besar pada senjakalanya.

Perjanjian dagang dengan VOC yang telah terjalin sejak era Amangkurat I pengganti Sultan Agung.  Sultan Mataram yang harus melarikan diri akibat pemberontakan Trunajaya dan meninggal dalam pelarian. Perjanjian semakin mengikat ketika Amangkurat II bersekutu dengan VOC untuk mengalahkan Trunajaya, dan membunuhnya di istana raja. VOC mendapatkan monopoli  perdagangan utama hasil dari kerajaan agraris tersebut seperti beras dan gula.

Naiknya Pakubuwono I setelah berperang dengan Amangkurat III, bersamaan dengan perjanjian dengan VOC semakin melemahkan kekuasaan mataram.  Isi perjanjian tersebut antara lain memberikan beberapa daerah kepada VOC, termasuk Semarang yang kemudian menjadi kantor besar VOC di pesisir utara. VOC juga diperbolehkan untuk membangun benteng di manapun mereka suka.  Satu garnisun pasukan VOC pun ditempatkan langsung di istana raja, tentu dengan biayai istana. Larangan berlayar bagi orang Jawa untuk lebih jauh dari Lampung, Kalimantan arah utara hingga Lombok arah Timur.  Kemudian yang paling menguntungkan adalah monopoli perdagangan terutama beras, impor tekstil dan candu serta kemudian dilanjutkan dengan perjanjian penyerahan komoditas kayu, beras, nila dan kopi kepada VOC pada 1709.  Selain itu, Mataram harus terikat utang karena setiap operasi militer VOC di Mataram merupakan tanggungan kerajaan.

Bahkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 telah menempatkan penguasa-penguasa baru tersebut layaknya boneka di tangan VOC. Pangeran Mangkubumi, misalnya, harus menyetujui bahwa kelak pengangkatan pepatih dalem dan bupati harus seizin VOC dan bersumpah setia di hadapan mereka. Jika terjadi peperangan dan ada bupati atau pejabat yang berpihak kepada VOC maka pangeran Mangkubumi wajib mengampuni mereka. Selanjunya daerah yang sudah dikuasai VOC seperti pesisir utara Jawa dan Madura tidak boleh lagi diganggu gugat, meski VOC bersedia membayar 10.000 real tiap tahun. Monopoli VOC atas komoditas pangan pun dilanjutkan, bahkan penguasa baru harus mentaati seluruh perjanjian yang ada dengan penguasa Mataram terdahulu.

Mataram pada akhirnya menyisakan tiga pemerintahan yang berasal dari satu dinasti. Setelah Perjanjian Giyanti menyisakan Kasunanan di Kartasura yang biasa disebut Pakubuwanan dan Kesultanan Ngayokarta Hadiningrat untuk dinasti Hamengkubuwono. Maka Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 berikutnya melahirkan satu lagi wilayah baru sebagai klaim atas suksesi dinasti Mataram yaitu Kadipaten Mangkunegaran yang diberikan kepada Raden Mas Said yang dalam masa perang melawan VOC dijuluki Pangeran Sambernyawa karena kemampuan dan taktik perangnya yang mengagumkan. Raden Mas Said kemudian naik tahta  dengan gelar Mangkunegara I.

Sebenarnya, VOC pun tidak memiliki cukup kestabilan untuk mengendalikan Jawa. Perang antar-keluarga kerajaan, antar-kerajaan dan berbagai pemberontakan terus terjadi hingga tahun-tahun 1757 setelah Mataram tenggelam. VOC harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mengendalikan Jawa, biaya yang bahkan tidak dapat ditebus sekalipun sudah dibebankan pada utang terhadap penguasa Mataram.

VOC menyadari jika terjadi persatuan dalam kerajaan apalagi dengan dukungan rakyat maka mereka akan menghadapi bahaya yang lebih besar dan biaya perang yang timbul tidak akan tanggung-tanggung. Paling tidak VOC mengalami bagaimana sulitnya ketika Sultan Agung menjadi Mataram yang kuat. Sehingga politik untuk membentuk aliansi militer dalam pertentangan antar-kerajaan atau dalam sebuah kerajaan seperti yang dilakukan di Mataram adalah metode yang jamak dilakukan. Setidaknya VOC memperoleh keuntungan dengan rezim lokal yang lemah dan terpecah satu sama lain.

Apa yang terjadi dalam dinasti Mataram menunjukkan bagaimana dinasti kerajaan tersebut sangat rentan dan rapuh. Dinasti kerajaan Mataram mewarisi apa yang ada dalam kerajaan-kerajaan di Jawa terutama setelah era Majapahit terutama jika menyakut suksesi kekuasaan. Bagaimana kerajaan tersebut dibangun melalui perang yang seringkali saling klaim sebagai penerus sah dari kerajaan terbesar yaitu Majapahit sebuah hal yang paling tidak terlihat jelas hingga era kerajaan Demak dan Pajang. [Widi Asmoro]