Perjalanan Panjang Wayang Potehi dari Dinasti Han ke Indonesia

Wayang Potehi (Indonesia Kaya)

Ketika kain dan kayu sederhana dihidupkan melalui tangan-tangan terampil, lahirlah sebuah seni pertunjukan yang memukau, kaya akan tradisi, dan sarat makna spiritual.

Wayang Potehi, seni boneka khas Tionghoa yang telah melintasi waktu dan budaya, menawarkan lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah cerminan harmoni antara keindahan seni dan kedalaman nilai-nilai kehidupan.

Bagaimana seni ini mampu bertahan sejak masa Dinasti Han hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia? Temukan kisah penuh pesona Wayang Potehi dalam artikel ini, dari panggung kecil di kelenteng hingga pengaruhnya yang melintasi generasi.

Jejak Wayang Potehi di Indonesia

Wayang Potehi adalah salah satu seni pertunjukan boneka tradisional yang kaya akan sejarah dan makna budaya. Berasal dari Fujian, Tiongkok Selatan, seni ini memadukan keindahan seni pertunjukan dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam.

Istilah “potehi” berasal dari bahasa Hokkien, yakni pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang), yang berarti “wayang berbentuk kantong dari kain.” Menurut sejarah yang beredar, Potehi berakar pada sebuah seni pertunjukkan boneka di Zhengzhou, Provinsi Fujian di zaman Dinasti Han pada tahun 206-220 Masehi.

Kemudian pada masa Dinasti Jin di tahun 265-420 Masehi, Potehi digunakan para tahanan yang menanti hukuman di penjara untuk menghibur diri. Potehi sendiri berkembang pesat di China pada masa pemerintahan Kaisar Ming Huang antara tahun 713-756 masehi. Sementara menurut catatan sejarah, kesenian ini sudah ada di Pulau Jawa sejak masa Dinasti Ming atau sekitar abad ke-16.

Pada saat itu, Potehi dibawa oleh imigran Tionghoa yang menetap di berbagai daerah. Seni ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai bagian dari ritual penghormatan kepada dewa-dewa dan leluhur.

Di Indonesia, Wayang Potehi sering dipentaskan di sekitar kelenteng, terutama di wilayah seperti Jombang dan Surabaya, sebagai bagian dari perayaan keagamaan masyarakat Tionghoa.

Seiring berjalannya waktu, seni ini beradaptasi dengan budaya lokal, menjadikannya salah satu bentuk akulturasi yang unik. Kini, pertunjukan Wayang Potehi dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagai latar belakang, tidak terbatas pada komunitas Tionghoa.

Keunikan Pertunjukan Wayang Potehi

Pertunjukan Wayang Potehi melibatkan lima pemain: dua dalang yang menggerakkan boneka dan tiga pemain musik pengiring. Boneka-boneka ini dibuat dari kombinasi kain dan kayu, dengan kepala dan tangan yang digerakkan melalui kantong kain. Musik pengiringnya mencakup alat-alat tradisional seperti tambur, alat musik gesek, dan simbah, yang menciptakan suasana khas dalam setiap lakon yang dibawakan.

Cerita-cerita yang diangkat dalam Wayang Potehi umumnya berasal dari legenda dan mitos Tiongkok. Beberapa lakon terkenal meliputi Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Si Jin Kwie.

Ketika dipentaskan di luar kelenteng, kisah yang lebih populer seperti Sun Go Kong atau Sam Pek Eng Tay sering menjadi pilihan untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Makna Spiritual dan Budaya

Wayang Potehi bukan hanya seni hiburan. Pertunjukan ini sering digunakan sebagai medium untuk menyampaikan rasa syukur, doa, dan pujian kepada para dewa dan leluhur. Hal ini menjadikannya sangat erat dengan tradisi spiritual masyarakat Tionghoa. Melalui kisah-kisah yang disampaikan, Wayang Potehi juga menyampaikan pesan moral yang relevan bagi kehidupan sehari-hari.

Seiring perkembangan zaman, bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Potehi telah mengalami perubahan. Jika awalnya menggunakan dialek Hokkien, kini pertunjukan juga sering disampaikan dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat luas.

Di Jombang, komunitas lokal bahkan telah mendirikan yayasan untuk melestarikan seni ini, memastikan bahwa Wayang Potehi tetap hidup dan berkembang di tangan generasi penerus.

Sebagai hasil interaksi antara budaya Tionghoa dan lokal Indonesia, Wayang Potehi menjadi simbol kekayaan warisan budaya Nusantara. Seni ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai jembatan untuk menyampaikan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya.

Pelestarian Wayang Potehi merupakan tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan yang telah ada selama berabad-abad. Dengan menjaganya, seni ini dapat terus dinikmati dan diapresiasi oleh generasi mendatang sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai. [UN]