Ada pula kebaya Bali. Kebaya ini sebenarnya mirip juga dengan kebaya Jawa. Namun, bedanya, kebaya Bali memiliki garis leher “V” dengan kerah dilipat, yang kadang dihiasi tali pengikat. Kebaya Bali biasanya pas-ketat di badan, dengan bahan dari kain semi-transparan atau polos warna-warni, dari katun atau brokat, berpola dengan jahitan bunga atau bordir. Kebaya Bali juga bisa menambahkan kancing di bukaan depan. Kebaya Bali juga biasanya dikenakan dengan sabuk kebaya seperti obi, untuk membungkus pinggang. Lengannya pun lebih pendek dari lengan kebaya Jawa. Karena, selain digunakan untuk upacara keagamaan, kebaya bali juga lazim dikenakan untuk kegiatan sehari-hari.

Kebaya Sunda lain lagi. Kerahnya berbentuk “U”, cenderung melengkung lebar untuk menutupi bahu dan dada. Bagian bawahnya juga sangat panjang, dengan pinggir menggantung menutupi pinggul dan paha. Kainnya semi-transparan, dengan jahitan bunga atau bordir.

Masyarakat Tionghoa Peranakan di Jawa pada masa kolonial Belanda juga kerap menggunakan kebaya. Awalnya, mereka meniru kebaya Indo yang terbuat dari kain putih mahal yang dihias renda. Pada tahap selanjutnya, mereka membuat kebaya kerancang, yang juga masih sangat mirip dengan kebaya Indo. Bedanya, renda diganti kerancang atau cutwork (kain berlobang kebaya bordir agar terlihat

seperti renda). Kemudian, mereka membuat kebaya sulam (bordir), yakni berbahan kain  tipis warna-warni dengan gambar besar yang disulam. Gambarnya adalah flora dan fauna yang memiliki nilai simbolis dalam budaya Tiongkok, seperti teratai, bunga peony, burung phoenix, dan ayam.

Kebaya ini dikenal sebagai kebaya encim, yang diambil dari kata encim atau enci dalam bahasa Tionghoa, yang mengacu ke perempuan Tionghoa yang sudah menikah. Umumnya, yang mengenakan adalah perempuan Tionghoa di kota-kota pesisir di Jawa, antara lain Semarang, Lasem, Tuban, Surabaya, Pekalongan, dan Cirebon. Bahan kainnya biasanya yang ringan, seperti sutera atau kain halus lain, berwarna cerah, dengan bordir yang besar dan halus.

Di Malaysia dan Singapura, kebaya encim dikenal sebagai kebaya nyonya. Biasanya, kebaya ini dipadupadankan dengan sepatu manik-manik (kasut manek) berbahan sutera dan dilukis dengan motif Tiongkok.

Pada masa pendudukan Jepang, pamor kebaya di Indonesia, terutama di Jawa, meredup. Masalahnya, jalur perdagangan tekstil dan benda-benda lain yang berkaitan dengan busana diputus oleh pemerintah fasis Jepang.