DAALAM diskusi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, pada 22 Juni 2017 lalu, arkeolog dari Universitas Indonesia, Hasan Djafar, mengatakan artifak bercorak Islam dari masa Majapahit memang banyak ditemukan. Misalnya di Makam Troloyo, ada 100-an nisan dengan hiasan tulisan Arab. Nisan itu berasal dari masa 1203-1533 Masehi. Itu artinya ada sejumlah nisan yang berasal dari masa sebelum berdirinya Majapahit.

Namun, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, walau ditemukan juga koin bertulisan Arab dan nisan berkalimat syahadat di situsnya. “Majapahit tetap bercorak Hindu-Buddha, tecermin dalam peraturan perundang-undangan dan sistem teologinya,” ungkapnya.

Hal yang sama juga diungkapkan rekan sejawat Hasan Djafar, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, yang menulis buku Catuspatha: Arkeologi Majapahit. Menurut Agus, Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha, yang bisa dilihat dari prasasti dan sistem pemerintahannya. Gelar raja, misalnya, sudah bisa menjadi bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha. “Raden Wijaya bergelar Krtarajasa Djayawarddhana Anantawikramotunggadewa. Djayawardhana itu sudah jelas Hindu karena artinya ‘keturunan Dewa Wisnu yang bertakhta’,” tutur Agus.

Dari prasasti-prasasti yang dibuat pada abad ke-9 dan ke-10 dapat diketahui masyarakat Jawa pada masa itu memang sudah mengenal bermacam jenis tekstil. Ada ratusan prasasti yang menyebutkan, tekstil menjadi salah satu hadiah kepada pejabat kerajaan atas diberikannya anugerah sima atau pembebasan pajak.

Bahkan, ada prasasti yang memuat kata wdihan (pakaian pria) dan kain atau ken (pakaian perempuan).Juga ada kata kalambi (pakaian atas) dan singhel (pakaian khusus untuk golongan pendeta, terbuat dari kulit kayu). Kitab Tantu Panggelaran mengungkapkan, singhel dibuat dari daun lalang, daluwang, atau babakaning kayu.

Arkeolog Edhie Wurjantoro dalam penelitiannya—seperti diungkapkan dalam “Wdihan dalam Masyarakat Jawa Kuna Abad IX-X M” (1986)—menemukan ada berbagai jenis wdihan yang dijumpai dalam sumber prasasti. Setiap golongan masyarakat, termasuk raja, mengenakan jenis wdihan yang berbeda.

Begitu pula dengan kain atau ken, ada beberapa jenis dan pemakainya berbeda-beda menurut jenisnya. Jenis ken untuk istri pejabat tinggi, misalnya, berbeda dengan ken untuk istri pejabat menengah, pejabat rendahan, dan masyarakat umum.

Tapi, memang, tidak ada informasi dari prasasti-prasasti itu yang menyebutkan apa saja jenis kain yang digunankan pada masa itu. Berita Tiongkok dari masa Dinasti Song (960-1279) hanya menyebutkan, penduduk Jawa memelihara ulat sutera dan menenun kain sutra halus. Diungkapkan pula, banyak penduduk memakai baju dari katun. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dari dada sampai ke bawah lutut, dengan cara dibelitkan ke sekeliling tubuh.

Apakah mode sudah dikenal pada masa itu? Ya. Karena ada prasasti yang memuat kata pawdihan yang kira-kira artinya ‘penenun’ atau ‘tukang jahit’, misalnya di Prasasti Patakan dari abad ke-11 pada masa pemerintah Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan.

Adapun dari relief Candi Borobudur, yang dibuat pada abad ke-9, dapat ditemukan gambaran bangsawan dan rakyat, baik laki-laki dan perempuan, yang membiarkan bagian dadanya terbuka. Juga ada relief yang menggambarkan bangsawan yang mengenakan pakaian tipis, kemungkinan dari sutera atau katun.