Perjalanan Megah Gunung Galunggung: Dari Erupsi Besar 1982 hingga Misteri Pembentukan Purba

ilustrasi letusan gunung galungguung

Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menandai sejarahnya dengan erupsi monumental pada tahun 1982, yang tidak hanya mengguncang wilayahnya tetapi juga menciptakan dampak yang meluas selama sembilan bulan. Namun, sebelum peristiwa dramatis tersebut, Galunggung telah menjadi saksi beberapa erupsi signifikan, mencakup tahun 1918, 1894, 1822, hingga periode seratus ribu tahun yang lalu.

Gunung Galunggung memiliki ketinggian sekitar 2.168 meter di atas permukaan laut. Galunggung menjadi terkenal karena letusan dahsyatnya pada tahun 1982.

Bencana tersebut menyebabkan menelan banyak korban jiwa dan kerusakan lingkungan. Gunung ini sebelumnya pernah meletus pada tahun 1822.

Setelah letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982, Galunggung kini menjadi tujuan pendakian populer di kalangan petualang dan pecinta alam.

Sebelum melakukan pendakian, cek dulu kondisi terkini dan peraturan dari pihak yang berwenang, karena status aktif gunung dapat berubah sewaktu-waktu.

Sebelum letusan besar, Gunung Galunggung juga pernah meletus pada tahun 1822. Tanda-tanda awal letusan terlihat pada Juli 1822 ketika air di Cikuniri menjadi keruh dan berlumpur.

Hasil pemeriksaan kawah menunjukkan air keruh yang hangat dan terkadang muncul kepulan asap dari dalam kawah. Kemudian, pada 8 Oktober hingga 12 Oktober meletuslah Galunggung.

Letusan tersebut menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu halus, awan panas, dan lahar. Aliran lahar bergerak ke tenggara setelah aliran sungai. Letusan Gunung Galunggung menewaskan 4.011 orang, menghancurkan 114 desa.

Selain itu, letusan Gunung Galunggung menghancurkan daratan di timur dan selatan hingga 40 kilometer dari puncak gunung. Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1894.

Pada bulan Oktober terjadi letusan yang menghasilkan awan panas. Kemudian, pada 27 dan 30 Oktober, lahar mengalir di saluran sungai yang sama dengan lahar letusan.

Pada tahun 1918, letusan kembali terjadi pada awal Juli yang didahului gempa bumi. Letusan 6 Juli menghasilkan abu setebal 2-5 mm yang terbatas pada kawah dan lereng selatan.

Letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 Mei 1982 disertai dengan ledakan, nyala api dan petir. Aktivitas letusan berlangsung 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983.

Sekitar 18 orang meninggal selama periode letusan ini, kebanyakan karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas, usia tua, kedinginan dan kekurangan makanan).

Dalam wawancara eksklusif dengan Koordinator Kelompok Gunung Api di PVMBG, Oktory Prambada, terungkap bahwa Gunung Galunggung mengalami erupsi dalam tiga periode kritis, mulai dari pembentukan Galunggung purba hingga pasca kaldera. Melibatkan penelitian mendalam, gunung ini terbentuk sekitar 100 ribu tahun lalu, mencapai puncaknya dalam rentang umur 25-50 ribu tahun.

Setelah fase pembentukan, Oktory mengungkap erupsi besar pada 4.000 tahun lalu yang menciptakan kaldera dan meruntuhkan satu tubuh Galunggung, menciptakan Bukit 1000 yang masih memukau hingga saat ini di bagian tenggara dan timur.

Meskipun memasuki tidur panjang, Gunung Galunggung kembali bangun pada tahun 1822. Erupsi tersebut, dengan skala letusan 5 VEI, mengungguli bahkan Gunung Merapi pada tahun 2010. Aktivitas pasca kaldera terus berlanjut hingga erupsi terakhir pada tahun 1982 hingga 1984 dengan skala 5 VEI, menciptakan sejarah singkat yang menunjukkan kekuatan alam yang menakjubkan.

Oktory menyoroti perbedaan dampak antara erupsi di periode kaldera dan pasca kaldera. Pada periode kaldera, letusan menciptakan zona amblasan sejauh 40 kilometer, sementara erupsi di periode 1822 hingga 1982 lebih terfokus, dengan dampak terparah pada skala 5 VEI. Dampak dari erupsi ini, khususnya pada tahun 1982-1982, mencakup penutupan sebagian besar bagian barat pulau Jawa oleh abu vulkanik, yang juga menyebar hingga ke Samudera Hindia di bagian barat.

Dengan sejarahnya yang penuh warna dan kekuatan alam yang luar biasa, Gunung Galunggung terus memberikan pelajaran tentang dinamika geologi. Masyarakat di sekitarnya tetap waspada terhadap potensi risiko erupsi di masa depan, menjadikan Gunung Galunggung sebagai salah satu fenomena alam yang menarik dan perlu dipahami secara mendalam. [Ulfa Nurfauziah]