Ilustrasi Sukatno, Sekretaris Umum I Pemuda Rakyat/Foto; Alinea.id

Koran Sulindo – Kota Bandung, Januari 1958. Tokoh pemuda itu melangsungkan pernikahannya dengan seorang aktivis dari Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) bernama Sri Sulistiawati. Mereka bertemu karena sama-sama aktif dalam organisasi pemuda progresif yang anti-imperialis.

Sukatno, demikian nama tokoh pemuda itu. Ia merupakan Sekretaris Umum I Pemuda Rakyat yang terpilih pada Kongres Nasional Kedua organisasi itu pada 1952. Dua tahun sebelum hari pernikahannya itu, Sukatno terpilih menjadi anggota DPR termuda pada 1956.

Lantas siapa sebenarnya Sukatno? Dalam sebuah catatan yang dituliskan Sukatno dalam penjara berjudul Garis-Garis Besar Perjalanan Hidupku, Sukatno merupakan anak dari Supiyani dan anggota Veldpolitie atau polisi perintis dari kepolisian kolonial Belanda. Sukatno masih kecil ketika ayahnya yang berdinas di Turen, Malang bercerai dengan ibunya.

Menjadi orang tua tunggal bukanlah perkara mudah. Akan tetapi, itulah yang dilakoni Supiyani dalam membesarkan Sukatno. Setelah perceraian itu, kata Sukatno, ibunya membawanya menumpang hidup dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Yang diingat Sukatno, persinggahan pertamanya di keluarga kerabat neneknya di Galuhan, Kediri, Jawa Timur.

“Di situlah ibu merawatku sambil membantu pekerjaan rumah tangga Mbah Harjo, seorang mandor pabrik tapioka milik Haji Sakur, Kandar, Kediri,” tulis Sukatno dalam Garis-Garis Besar Perjalanan Hidupku.

Dalam memoarnya itu, Sukatno tidak tahu secara persis tahun,bulan dan tanggal lahirnya. Orang tuanya tidak pernah memberitahunya. Maklum ibunya pada waktu itu buta huruf. Yang ia tahu bahwa dilahirkan pada Selasa Wage menurut penanggalan Jawa. Ia bahkan tidak tahu persis berapa usianya ketika ibu dan ayahnya memutuskan untuk berpisah.

Awalnya, ia merasa ini tidak akan menjadi masalah. Tidak ada kenangan apapun yang bisa diingatnya sebelum akhirnya Supiyani – ibunya itu – membawanya numpang hidup di kediaman Mbah Harjo, Galuhan, Kediri itu. Seingat Sukatno, ia tidak lama di Galuhan. Tak lama kemudian, saudara sepupu ibunya membawa mereka ke Surabaya.

Di sana, mereka menumpang hidup di rumah Sahid. Sosok ini merupakan kakak kandung dari Supiyani. Sukatno memanggilnya sebagai pakde alias paman. Sahid – paman Sukatno – bekerja sebagai tukang mesin di pabrik es di kawasan Ngagel. Sebagai pekerja tetap, Sahid bersama keluarganya berhak menempati salah satu petak dari suatu bangunan bangsal kayu besar yang merupakan milik pabrik secara gratis.

Di sanalah Sukatno kecil bersama ibunya menumpang untuk sementara. Dalam ingatan Sukatno, beberapa kepala keluarga buruh di sana juga berasal dari Kertosono, kampung neneknya. Dan tentu saja mereka semua saling berkerabat. Di sini, pekerjaan ibunya juga membantu pekerjaan rumah tangga.

Pada suatu hari, paman Sukatno yang lain yaitu Subandi datang berkunjung ke rumah Sahid. Sosok Subandi ini merupakan lulusan Vervolg School sehingga mampu mendapatkan pekerjaan sebagai tukang ahli dalam perusahaan sepuh logam dan nikel untuk perabotan di Dinoyo Tangsi. Dari sana, Subandi memboyong Sukatno dan ibunya untuk tinggal bersama.

Setelah beberapa waktu tinggal di Dinoyo, Sukatno dan ibunya lalu pindah lagi ke Desa Perning, Mojokerto untuk menempati rumah yang baru dibeli Subandi. Di sana, umur Sukatno sudah bisa untuk masuk sekolah. Soal tahun, bulan dan hari lahir yang tadinya tidak ada masalah, kini menjadi soal. Karena ketika didaftarkan bersekolah dasar pada 1935, tidak seorang pun yang tahun, bulan dan hari lahir Sukatno.

Biar masalah itu tidak berlarut-larut, maka tahun kelahiran Sukatno dibuat pada 1929. Ketika menginjak kelas dua, Sukatno dan ibunya kembali diboyong pamannya yang lain untuk kembali ke Desa Kemaduh, Kertosono. Berbekal surat pindah sekolah, ia pun bisa melanjutkan sekolah di Desa Plosorejo berjarak dua kilometer dari Desa Kemaduh.

Di sana pula ibu Sukatno kembali berumah tangga setelah dilamar oleh Wirmargo, seorang tukang besi di Pabrik Gula Lestari. Ia seorang duda tapi tidak punya anak. Setelah menikahi Supiyani, Sukatno dianggap sebagai anak kandungnya dan sangat dicintainya. Pun sebaliknya. Di Desa Plosorejo, Sukatno berhasil menyelesaikan sekolah dasarnya yang hanya sampai kelas tiga. Dan setelah itu, ia melanjutkan sekolah ke Vervolg School.

Kedua orang tuanya benar-benar mendukung Sukatno untuk terus bersekolah. Pasalnya, kedua orang tuanya itu benar-benar buta huruf. Karena kecintaannya kepada orang tuanya, Sukatno pun dengan sukarela mengajari orang tua terkasihnya untuk bisa membaca dan menulis. Lulus dari Vervolg School, Sukatno dipaksa orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Schakel School atau setara dengan Hollands Inlandsche School.

Belum genap setahun Sukatno berada di sekolah itu, pasukan Jepang mendarat di Hindia Belanda sekitar 1942. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah Jepang berkuasa secara politik, Sukatno masih sempat meneruskan sekolahnya. Guru yang mengajar di sekolah Sukatno juga masih sama, tapi pelajarannya berubah: mengutamakan pelajaran berbahasa Jepang.

Juru Bahasa
Hanya enam bulan ia bertahan di sekolah itu. Setelah itu Sukatno memilih bekerja menjadi kenek tukang besi di Pabrik Gula Lestari. Berbekal pengetahuannya berbahasa Jepang, suatu hari administrator yang merupakan orang Jepang mengunjungi pabrik. Di sana hanya Sukatno yang bisa menerjemahkan bahasa Jepang itu. Ia kemudian diangkat sebagai juru bahasa administrator tersebut.

Setelah itu, Sukatno seringkali menemani administrator itu berkunjung ke berbagai desa. Dari sana pula ia melihat betapa menderitanya rakyat di bawah pendudukan Jepang. Hingga pada suatu hari ketika berkunjung ke ladang tebu berjarak 10 kilometer dari pabrik, sang administrator itu memarahi seorang tani agak tua yang kurus kering. Saking marahnya, sang administrator pun mengambil sebatang potongan tebu yang akan digunakan untuk memukul tani agak tua itu.

Sebelum mengenai tani itu, Sukatno terlebih dulu merampas batang tebu tersebut. Sang administrator pun terjungkal. Melihat itu, sang administrator malah berbalik mengejar Sukatno. Mengetahui hal itu, Sukatno pun melarikan diri. Ia terus berlari menyusuri jalan desa hingga akhirnya mencapai jalan raya Kertosono – Surabaya. Ia meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki ke Surabaya.

Pendek cerita, semua pengalaman hidupnya itu menjadi bekal Sukatno untuk terus setia melawan penjajahan dan penindasan. Itu sebabnya, sejak melarikan diri dari desanya karena menghempaskan seorang administrator Jepang yang kejam, Sukatno mulai membangun hubungan dengan para pemuda secara luas di Kota Sepanjang, kota kecil yang berjarak 15 kilometer dari Surabaya. Para pemuda yang tidak puas terhadap Jepang acap mendengarkan perkembangan politik terbaru di tanah air.

Di suatu hari mereka mendengar Sekutu berhasil menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Menyusul berita tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Kekalahan Jepang itu menjadi babak sejarah baru dalam kehidupan Sukatno. Berita proklamasi kemerdekaan segera pula tiba di pabrik tempat Sukatno bekerja. Dari berita itu, Sukatno dan para pemuda anti-fasis Jepang sepakat mendirikan Pemuda Republik Indonesia (PRI) di pabrik air keras yang menjadi bagian dari PRI Surabaya.

Pendek cerita, PRI lantas melebur ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sukatno aktif di sana dan ikut bertempur terutama di Surabaya ketika menghadapi rencana Belanda yang memboncengi Sekutu untuk kembali menguasai Indonesia. Ia bahkan mendapat tugas penting ke berbagai daerah termasuk ke Sumatera pada waktu itu. Ketika Peristiwa Madiun 1948 pecah, Sukatno sedang berada di Sumatera.

Sukatno kembali ke Pulau Jawa ketika gencatan senjata dengan Belanda sedang berlangsung pada 1949. Di masa itu ada perundingan Konferensi Meja Bundar. Ia kembali ke desanya. Di sana ia bertemu dengan semua kerabatnya termasuk kedua orang tuanya. Keluarganya tak mengira Sukatno rupanya masih hidup.

Sukatno bertekad untuk terus mengabdi kepada rakyat. Itu sebabnya, ia pamit kepada orang tuanya untuk pergi lagi ke Yogyakarta. Singkat cerita, Sukatno terlibat dalam pembangunan kembali Pesindo pasca-Peristiwa Madiun. Pesindo pun mengadakan Kongres Nasional di Jakarta pada November 1950. Kongres memutuskan mengubah Pesindo menjadi Pemuda Rakyat. Sukatno terpilih menjadi Sekretaris II. [Kristian Ginting]