Angklung, alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, memiliki sejarah panjang yang menghubungkan warisan budaya Indonesia dengan dunia internasional. Bukan hanya sebagai bagian dari upacara adat dan kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda, angklung juga telah mencuri perhatian global, baik melalui pengakuan UNESCO maupun melalui penampilan-penampilan luar biasa yang mengharumkan nama Indonesia.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi perjalanan angklung dari akarnya di tanah Sunda, peranannya dalam sejarah dan perjuangan bangsa, hingga bagaimana inovasi serta pengakuan internasional membawa angklung sebagai simbol budaya Indonesia ke panggung dunia.
Asal-Usul Angklung di Tanah Sunda
Kata “angklung” berasal dari bahasa Sunda, yaitu “angkleung-angkleungan,” yang berarti gerakan pemain mengikuti irama dan menghasilkan bunyi “klung.” Terdapat juga interpretasi bahwa kata “angka” berarti nada dan “lung” berarti pecah, sehingga angklung dapat diartikan sebagai “nada yang terpecah.” Angklung dimainkan dengan cara digoyangkan, sehingga menghasilkan bunyi dari benturan badan pipa bambu yang saling bersentuhan.
Angklung terbuat dari bambu, yang dipilih karena resonansi suaranya yang unik. Setiap tabung bambu memiliki ukuran yang berbeda, yang memungkinkan alat musik ini menghasilkan nada ganda atau multitonal saat digoyangkan. Angklung biasanya terdiri dari 2 hingga 4 batang bambu yang dirangkai menjadi satu kerangka. Dengan cara ini, angklung mampu menghasilkan melodi yang harmonis, menjadikannya alat musik yang sangat khas dan berperan penting dalam budaya Sunda.
Angklung memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Sunda, terutama pada masa Kerajaan Sunda sekitar abad ke-12 hingga ke-16. Selain digunakan dalam upacara pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci, simbol Dewi Sri yang merupakan Dewi Kesuburan atau Dewi Padi, angklung juga digunakan untuk memacu semangat prajurit dalam peperangan. Fungsi ini menunjukkan betapa pentingnya angklung dalam kehidupan masyarakat pada masa itu.
Transformasi Angklung oleh Daeng Soetigna
Melansir laman resmi Kota Bandung, pada tahun 1938, Daeng Soetigna memperkenalkan inovasi angklung bernada diatonis yang dikenal dengan nama angklung padaeng. Inovasi ini memungkinkan angklung memainkan berbagai jenis musik, termasuk musik klasik dan modern, yang membuatnya semakin diminati di luar konteks tradisional dan memperluas daya tariknya. Inovasi Daeng Soetigna menjadikan angklung tidak hanya sebagai alat musik dalam upacara adat, tetapi juga sebagai alat musik yang dapat dimainkan dalam berbagai pertunjukan.
Angklung juga memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Pada Perundingan Linggarjati tahun 1946, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Daeng Soetigna melakukan pertunjukan angklung sebagai simbol kebudayaan Indonesia. Pertunjukan tersebut memperkuat posisi angklung sebagai simbol identitas nasional yang menguatkan semangat perjuangan bangsa.
Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena, murid Daeng Soetigna, mendirikan Saung Angklung Udjo (SAU) di Bandung sebagai pusat pelestarian dan pendidikan angklung. Di SAU, pengunjung dapat menyaksikan pertunjukan angklung serta belajar memainkan angklung secara langsung. Selain itu, SAU juga menjadi pusat kerajinan bambu, memproduksi berbagai souvenir dan instrumen angklung berkualitas tinggi yang digunakan di berbagai pertunjukan.
Jenis-Jenis Angklung
Angklung memiliki berbagai jenis yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Berikut adalah beberapa jenis angklung yang perlu Anda ketahui:
1. Angklung Badeng: Angklung ini digunakan dalam kesenian badeng yang menekankan segi musikal. Angklung badeng dapat ditemukan di Sanding, Malangbong, Garut. Beberapa lagu yang terdapat dalam kesenian badeng antara lain Lailahaileloh, Ya’ti, Yautike, Kasreng, Solaloh, dan Lilimbungan.
2. Angklung Gubrag: Ditemukan di Kampung Cipining, Cigudeg, Bogor, angklung gubrag digunakan untuk menghormati Dewi Padi dalam kegiatan menanam dan mengangkut padi serta menempatkannya ke lumbung.
3. Angklung Padaeng: Diperkenalkan oleh Daeng Soetigna pada sekitar tahun 1938, angklung padaeng menggunakan laras nada diatonis yang memungkinkan angklung dimainkan bersama alat musik internasional lainnya.
4. Angklung Buncis: Berasal dari Baros, Arjasari, Bandung, angklung buncis awalnya digunakan dalam acara pertanian yang berhubungan dengan padi, tetapi kini digunakan sebagai hiburan masyarakat.
5. Angklung Toel: Diciptakan oleh Kang Yayan Udjo dari Saung Angklung Udjo pada tahun 2008, angklung toel dimainkan dengan cara “menoel” atau menekan angklung, yang kemudian akan bergetar karena adanya karet di sana.
6. Angklung Sarinande: Merupakan angklung padaeng yang hanya menggunakan nada bulat tanpa nada kromatis, dengan nada dasar C. Satu unit kecil angklung sarinande berisikan 8 angklung, dari Do rendah sampai Do tinggi.
7. Angklung Sri-Murni: Diciptakan oleh Eko Mursito Budi untuk kebutuhan robot angklung, angklung ini menggunakan dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama sehingga menghasilkan nada murni atau mono-tonal.
Pengakuan Internasional Angklung
Angklung mendapatkan pengakuan internasional yang signifikan dengan dimasukkan dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity oleh UNESCO pada tahun 2010. Pengakuan ini menegaskan pentingnya angklung sebagai bagian dari warisan budaya dunia yang harus dilestarikan. Tak hanya itu, angklung juga mencatatkan prestasi luar biasa lainnya pada tahun 2011.
Angklung tercatat dalam Guinness Book of World Records setelah ribuan orang memainkan angklung secara serentak di Washington, Amerika Serikat, dalam sebuah pertunjukan yang dipimpin oleh Daeng Udjo dari Saung Angklung Udjo. Mereka memainkan lagu We Are The World karya Michael Jackson dalam sebuah rekaman sejarah yang mencatatkan jumlah peserta terbesar yang memainkan angklung dalam satu waktu.
Setiap tahun pada tanggal 16 November, dunia memperingati Hari Angklung Sedunia untuk mengenang penetapan angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda asal Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2010. Peringatan ini menjadi bentuk apresiasi atas pentingnya angklung sebagai bagian dari warisan budaya dunia yang harus dilestarikan dan diteruskan kepada generasi mendatang. Tanggal ini juga mengingatkan kita akan kontribusi besar angklung dalam memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional.
Tidak hanya dikenal di dalam negeri, angklung telah menjadi alat diplomasi budaya yang sangat penting. Melalui pertunjukan dan program budaya antarnegara, angklung telah membantu Indonesia dalam memperkenalkan dan mempromosikan nilai-nilai harmoni, kerja sama, dan perdamaian. Angklung juga telah memainkan peran penting dalam mengatasi stereotip negatif dan memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia internasional melalui berbagai acara dan pertunjukan di luar negeri.
Angklung adalah simbol kekayaan budaya Indonesia yang berasal dari Sunda dan telah berhasil meraih pengakuan dunia. Dari masa Kerajaan Sunda hingga pengakuan internasional oleh UNESCO, perjalanan angklung mencerminkan kekuatan tradisi yang dipadukan dengan inovasi.
Dengan pusat-pusat pelestarian seperti Saung Angklung Udjo yang terus mengembangkan angklung, alat musik ini terus berkembang dan membawa melodi tradisional Indonesia ke panggung global, sekaligus mempromosikan harmoni budaya di seluruh dunia. Angklung tidak hanya sekadar alat musik, tetapi juga simbol kuat dari identitas budaya Indonesia yang terus hidup di tengah masyarakat dunia. [UN]