Ilustrasi Peristiwa Madiun 1948/Istimewa

Koran Sulindo – Peristiwa Madiun: suatu peristiwa sejarah yang terjadi 54 tahun yang lalu, yaitu pada bulan September 1948.

Apa gunanya disinggung kembali suatu peristiwa yang terjadi setengah abad lebih yang lalu? Apakah hanya terdorong secara emosional oleh nostalgia, oleh kenang-kenangan pribadi? Atau untuk mencari hikmah dari suatu peristiwa politik penting masa lampau?

Bagi saya, ikut serta di dalam seminar ini, adalah suatu usaha kecil untuk ikut mencoba memberikan sedikit isi kepada hikmah tersebut; dan sama sekali bukan karena terdorong nostalgia atau kenang-kenangan emosional belaka.

Tidak banyak, bahkan mungkin tidak ada yang bisa saya tuturkan tentang peristiwa itu sendiri dan fakta-fakta sekitarnya. Saya tidak mengalami sendiri proses terjadinya Peristiwa Madiun itu. Lagi pula, dalam bulan-bulan Juni sampai dengan Agustus 1948 saya sibuk memberikan laporan tentang misi saya di luar negeri kepada pemuda dan rakyat Indonesia. Kiranya cukup terwakilkan oleh uraian seorang tokoh utama, seperti kawan Sumarsono dan kawan-kawan lainnya, tentang berbagai aspek penting Peristiwa Madiun itu sendiri, khususnya aspek politik dan militer. Di samping itu tersedia pula tidak sedikit penulisan tentang Peristiwa Madiun, bukan hanya dari pihak Indonesia sendiri, juga hasil penelitian pengamat-pengamat politik luarnegeri baik media pers maupun kalangan ilmuwan sejarah, yang sudah lama beredar. Yang saya mungkin dapat menggambarkan adalah situasi Solo berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi di bulan September menjelang hijrah kami (dua kawan lainnya dan saya) ke Madiun pada tanggal 18 September 1948.

Uraian saya akan dimulai dengan suatu prolog dan saya akhiri dengan suatu epilog, kalau boleh saya gunakan kata-kata ‘besar’ itu!

Dalam prolog, pertama saya ingin menunjuk kepada kenyataan bahwa lama setelah Peristiwa Madiun menjadi sejarah, sementara orang masih juga menganggap peristiwa itu sebagai salah satu ‘hasil godokan’  South East Asian Youth- and Students Conference yang diselenggarakan bulan Februari 1948 di Kalkutta, India. Lepas dari fakta bahwa anggapan ini salah sama sekali, dia menunjukkan adanya ketakutan di kalangan kekuatan-kekuatan konservatif (oleh Bung Karno jauh sesudah Konferensi Kalkutta disebut the old established forces) baik di Barat maupun di Timur, akan tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru, terutama di kalangan generasi muda yang anti-kolonialis dan anti-imperialis.

Perlu kawan-kawan mengetahui (kalau memang sudah lupa atau waktu itu belum lahir atau masih balita!) bahwa atas penugasan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), sesudah mengunjungi “World Youth Festival” pertama dan sidang WFDY dan IUS di Praha bersama Suripno dan Sugiono (Ketua Sarekat Mahasiswa Indonesia) bulan Juli-Agustus 1947 di Praha, – saya pada bulan November 1947 dari London menuju Kalkutta untuk ikut serta sebagai anggota International Preparatory Committee mempersiapkan Konferensi itu, mewakili BKPRI. Kemudian pada bulan Februari 1948, saya ikut serta sebagai anggota Delegasi Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh kawan Soepeno dengan anggota-anggotanya Otto Rondonuwu dan Amin, yang ketiga-tiganya langsung datang dari Indonesia.

Adalah kenyataan, bahwa Konferensi Kalkutta yang pesertanya datang dari belasan negara Asia Barat, Timur dan Selatan serta Asia Tenggara telah mengambil keputusan-keputusan dan juga mengeluarkan Resolusi Pokok yang dengan kuat mengutuk imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat, serta Seruan untuk berlawan. Negara-negara itu ketika itu sedang bergejolak dalam perjuangan untuk merebut dan membela kemerdekaan nasionalnya dan perdamaian dunia, melawan kolonialisme dan imperialisme.

Pada tanggal 12 April 1948 saya tiba kembali di Indonesia. Segera sesudah itu, BKPRI menyelenggarakan rapat-rapat laporan tentang Konferensi Kalkutta di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat itu juga terjadi insiden-insiden pembunuhan dan penculikan di Solo bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus, dan berikut di Madiun sendiri pada bulan Agustus dan awal/pertengahan September 1948.

Pada 30 Juni 1948, dalam kehidupan pribadi, saya menjalani perkawinan saya yang sudah dua tahun tertunda itu, dengan Sukarno, anggota DPP Pesindo dan salah seorang dari 11 kawan yang kemudian dibunuh di Ngalihan.

Betapa tepat stelling bahwa Peristiwa Madiun adalah lanjutan dari Peristiwa Solo dan bahwa kedua-duanya tidak berdiri sendiri, dapat saya pribadi mengalaminya. Pada kira-kira 7 September (tanggal yang tepat sudah saya lupa), tengah malam, kamar kecil yang Sukarno dan saya tempati di bagian belakang rumah Bung Wikana sesudah perkawinan kami, digedor dan dibuka dengan paksa oleh dua-tiga orang gerombolan bersenjata. Sukarno, tanpa diberikan kesempatan untuk berpakaian mengenakan celana panjangnya, didorong keluar, masuk sebuah truck yang sedang menunggu, kemudian hilang di gelap malam.

Pada tanggal 14 September (entah sore, entah malam) ia kembali. Dengan tidak memberikan penjelasan apapun, ia mengambil beberapa potong pakaian dan sikat giginya, untuk kemudian menghilang lagi. Saya hanya dipesan: “Jaga dirimu!” Ini adalah kata-kata terakhir yang saya dengar dari mulutnya, dan kesempatan terakhir kami bertemu muka selagi ia masih hidup.

Karena keselamatan saya sendiri terancam oleh gerombolan bersenjata yang pada 17 September mengepung rumah Bung Wikana di Solo, saya dengan beberapa kawan dibawa lari ke Madiun mencari perlindungan di BKPRI. Setibanya di Madiun, kami tidak ditempatkan di BKPRI, tetapi di rumah seorang teman di Kota Madiun. Kami tidak diperbolehkan keluar rumah. Ini sebabnya juga saya tidak banyak mengetahui tentang apa yang terjadi di kota Madiun sendiri, sebelum kami mengikuti barisan panjang yang menuju ke Dungus, Sarangan, Gunung Lawu. Baru di dalam perjalanan itu kami mendengar apa yang telah terjadi di kota Madiun.

Lepas dari penilaian orang mengenai situasi politik ketika itu di Madiun menjelang “Mars Jauh”, lepas dari ada tidaknya satu atau lebih auctor intellectualis-nya yang oleh sementara orang dianggap ‘keblinger’, saya berpendapat bahwa “Mars Jauh” itu sendiri merupakan suatu tindakan beladiri melawan agresi militer pemerintah R.I. ketika itu yang dilancarkan oleh pasukan Siliwangi. Suatu tindakan beladiri melawan penindasan dan penghinaan terhadap rakyat. Karenanya harus dipuji. Beribu-ribu kawan yang telah mengorbankan jiwanya harus kita kenangkan dengan rasa hormat yang mendalam.

Sikap Komunis
Saya ingin menyebut beberapa detik peristiwa yang menggambarkan sikap orang komunis terhadap rakyat pekerja, terhadap tanahair, terhadap hidup dan perjuangan yang saya saksikan di dalam “Mars Jauh” itu.

Di sebuah desa ada anggota pasukan kita yang karena kehausan memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa. Saat itu Bung Amir yang kebetulan melihatnya, menghardik dengan suara keras dari bawah pohon: “Turun! Turun segera! Jangan memetik!” Dengan nada serius dan rasa marah tertahan, Bung Amir memberikan peringatan kepada kita semua yang maju berkumpul menyaksikannya: “Pohon kelapa itu milik rakyat penduduk yang mendiami kampung ini dan memiliki rumah serta isi kebun ini. Mereka sekarang tidak ada. Kita sekali-kali tidak berhak mengambil sesuatu dari tuanrumah yang sedang tidak ada dan tidak memberikan izin kepada kita untuk mengambil sesuatu.”

Di suatu daerah datar ketika pasukan Siliwangi tak terlalu jauh di belakang barisan kami, dan kami diperintahkan jalan cepat, menempuh, sedapat mungkin, tujuh kilometer sejam untuk menghindarkan kontak dengan musuh, saya melihat seorang tua berjalan agak sulit, bercelana kumuh, basah dari darah yang setetes demi setetes membasahi kakinya. Pak Sardjono! Ketua CC PKI pada waktu itu, bekas buangan di Digul. Ia sedang menderita penyakit ambeien. Dengan senyum di bibir, seolah-olah minta maaf karena mungkin tak sanggup memenuhi target tujuh kilometer sejam itu – beliau menghampiri saya, sambil berkata memandang pemandangan alam yang hijau dan indah, seolah-olah tak ada perang saudara, tak ada Siliwangi yang membunuh bangsanya sendiri: “Sangat indah Tanah Air kita!”

Humor dan cetusan falsafah di tengah-tengah pertempuran, betapapun sengit, juga terjadi. Tempat adalah sebuah lereng pucuk gunung Lawu. Barisan sedang dicecar oleh berondongan puluru Siliwangi, dibalas oleh pasukan kita. Tempat itu gundul dan hanya dipenuhi pohon-pohon kapok dengan batang-batang kurus-tinggi. Ingin menyelamatkan secercah hidup yang sedang tumbuh di dalam perut, saya lari mencari keselamatan di belakang sebatang pohon kapok yang kurus, sambil merangkul dengan kedua belah tangan perut saya. Tiba-tiba setelah meredanya pertempuran, terdengar gelak-ketawa – muncullah sosok seorang komandan pasukan kita: Yadao! Masih tertawa kecil-kecil ia berkata: “Perut zus lebih lebar dari batang pohon itu!” Kemudian dilanjutkan dengan penuh arti: “Ibu dan bayi saling melindungi jiwanya masing-masing ….”

Pada tanggal 18 November 1948 rombongan pemudi-pemudi Pesindo, termasuk saya, ditangkap di Klambu. Kalau tadi kami masih bersama-sama, setibanya di satu pos markas tentara pemerintah, saya dipisahkan dari rombongan pemudi.

Suatu ketika saya dihampiri seorang perwira tinggi yang melemparkan pertanyaan aneh (saya lupa kata-kata yang tepat) yang bernada tuduhan (begitulah yang saya secara subjektif rasakan!): apakah saya telah membawa blueprint-nya pemberontakan Madiun dari Kalkutta. Perwira itu ternyata Kemal Idris. Jawaban saya: “Saya tidak tahu-menahu tentang blueprint apa saja. Saya di  Kalkutta utusan pemuda Indonesia membela dan mempropagandakan kemerdekaan Indonesia.”

Saya disatukan dengan rombongan Bung Amir, Pak Sardjono, Suripno, Maruto Darusman dan Djokosujono, dibawa dengan kereta api ke Solo, ke rumah gubernuran, di mana kami ditunggu Gatot Subroto. Di Delanggu terjadi satu peristiwa yang memberikan kesan yang mendalam kepada saya. Di stasiun bergerombollah massa rakyat: teriakan kutukan disertai lemparan kulit buah pisang dan lain-lain serta telur busuk telah ‘menyambut’ kami. Bagi saya, betapa perih dan sakit untuk mengalami luapan marah dan histeria massa rakyat itu. Bukan sepotong kulit jeruk keprok yang mengena pipi saya itu yang menyakitkan, tetapi arti politik di belakang peristiwa itu: suatu cerminan dari perpecahan  yang mendalam dalam kekuatan rakyat yang selamanya mengalami penindasan dan penghinaan? Sesuatu yang pada waktu itu saya belum dapat mengenal dan menyadarinya, hanya dapat merasakan sebagai suatu sinyal, suatu isyarat yang menakutkan. Tinggal satu pertanyaan yang sangat mengganggu: siapa yang bertanggungjawab atas keadaan itu? [Francisca Fanggidaej, penulis adalah tokoh pergerakan Indonesia dan makalah ini disampaikan dalam acara Sarasehan bertema Peristiwa Maadiun 1948 pada 20 Oktober 2002 di Diemen, Belanda]