Peringkat Keselamatan Tinggi, Mengapa Lion Air Bisa Jatuh?

Ilustrasi kecelakaan pesawat Lion Air [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Setelah melalui audit utama internasional, tiga maskapai besar Indonesia menaikkan peringkat tingkat keselamatan mereka. Ketiga maskapai itu adalah Garuda Indonesia, Batik Air dan Lion Air. Berdasarkan AirlineRatings, lembaga pemeringkat global yang diakui, ketiga maskapai itu dianggap memenuhi standar keselamatan penerbangan. [Baca: Lion Air dan Isu Keselamatan Penerbangan]

Adapun kriteria yang ditetapkan lembaga pemeringkat standar keselamatan penerbangan itu adalah lulus audit IATA Operation Safety Audit (IOSA); tidak masuk dalam daftar hitam Uni Eropa; mendapat sertifikasi dari Otoritas Penerbangan Amerika (FAA); dan menaati standar yang ditetapkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang meliputi legislasi, operasi, kelaikan udara, investigasi kecelakaan, aerodrome, organisasi, layanan navigasi udara dan perizinan.

Dari hasil audit IOSA dan ICAO pada 2017, maka Lion Air resmi dinyatakan sebagai maskapai yang memenuhi standar keselamatan penerbangan. Dengan kata lain, maskapai ini menjamin dan memastikan keselamatan penumpang yang menggunakan Lion Air. Namun, lembaga ini tidak mengukur tingkat sumber daya manusia maskapai terutama pilotnya.

Berdasarkan lembaga pemeringkat keselamatan penerbangan itu, Garuda Indonesia dan Batik Air mendapat bintang 7, sementara Lion Air mendapat bintang 6. Lalu, tahun lalu, FAA melakukan audit terhadap PT Batam Aero Technic (BAT) yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perawatan dan perbaikan pesawat udara atau MRO milik Lion Air Group.

Audit itu berkaitan dengan manajemen keselamatan dan keamanan. Hasilnya, BAT berhasil mendapat sertifikasi dan spesifikasi operasi FAA 145. Indonesia sejak 2016, juga masuk dalam Kategori I oleh FAA. Kendati demikian, maskapai Indonesia tidak serta merta bisa masuk ke Amerika Serikat karena harus melewati beberapa tahapan. Negaranya bisa lulus Kategori I, tapi maskapainya belum tentu mendapat predikat yang sama.

Soal kriteria standar keselamatan penerbangan ini juga dipaparkan ICAO dalam situs resminya. Lembaga tersebut menyatakan, pedoman untuk mengetahui sebuah maskapai telah memiliki kinerja keselamatan yang baik seutuhnya bisa dimulai dari hasil audit ICAO, kemudian sertifikasi dari FAA dan hasil audit dari IOSA. Jika merujuk kepada hal itu, maka Lion Air bisa dikategorikan maskapai yang memiliki kinerja keselamatan yang baik.

Sebelum 2018 atau 2 tahun sebelumnya AirlineRatings memastikan dari 10 maskapai dengan peringkat keselamatan terburuk 9 di antaranya beroperasi di Indonesia. Kesembilan maskapai itu hanya mendapatkan bintang 1 atau peringkat terburuk soal standar keselamatan penerbangan. Dari 9 maskapai itu termasuk Batik Air, Lion Air, Wings Air dan beberapa maskapai lainnya. Garuda Indonesia pun hanya mendapat bintang 3.

Hanya berselang 2 tahun, maskapai-maskapai besar Indonesia seperti Batik Air, Lion Air dan Garuda Indonesia memastikan telah memenuhi standar keselamatan penerbangan sehingga mendapat kategori bintang 7. Namun, kecelakaan penerbangan Lion Air yang jatuh di Perairan Karawang pada 29 Oktober 2018, menimbulkan pertanyaan atas peringkat keselamatan penerbangan yang disandang maskapai ini.

Pesawat tersebut jatuh di Tanjung Karawang di kedalaman 30 meter hingga 35 meter dari permukaan laut. Tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) masih menyelam untuk menemukan pesawat dan korban. Kronologi jatuhnya pesawat ini berawal dari BNPP menerima informasi dari Pemandu Lalu Lintas Udara (ATC) sekitar pukul 06.50 bahwa pesawat tipe B737-Max itu hilang kontak. BNPP lalu mengklarifikasi informasi itu kepada ATC dan Lion Air. Hasilnya, benar pesawat itu terbang dan hilang kontak. [Baca juga: Pesawat Lion Air Dipastikan Jatuh di Perairan Dekat Karawang]

Analisis
Mengutip analisis Aviation-Safety.net, laman resmi AirlineRatings menuliskan, Lion Air JT-610 jurusan Jakarta-Pangkalpinang sebelumnya terbang dari Denpasa menuju Jakarta. Disebutkan ketika lepas landas, kecepatan pesawat tersebut setelah mengudara tidak terkendali. Baru 8 menit kemudian kecepatan pesawat tersebut mulai stabil.

AirlineRatings juga menyebutkan, kecepatan udara pesawat tersebut tidak bisa diukur dan altimeter atau alat untuk mengukur ketinggian tak bisa ditampilkan setelah lepas landas. Itu membuat kapten pilot semakin tidak bisa mengontrol instrumen penerbangan sehingga menyerahkannya kepada kopilot.

Kondisi ini seolah-olah sesuai dengan pernyataan Direktur Utama Lion Air, Edward Sirait yang menjelaskan, pesawat tersebut sebelum terbang mengalami masalah teknis. Ia akan tetapi tidak mau menjelaskan apa masalah teknis yang dialami pesawat. Edward hanya memastikan, semuanya telah ditangani pabrik pesawat dan sesuai dengan prosedur.

“Kami saat ini berupaya mengumpulkan semua informasi dan data tentang pesawat,” kata Edward.

Di samping penilaian Airlineratings, merujuk kepada penilaian Skytrax terhadap kualitas maskapai, Lion Air hanya mendapatkan bintang 2. Berdasarkan testimoni pelanggannya, umumnya mereka tidak merekomendasikan terbang bersama Lion Air. Alasannya macam-macam, mulai dari keterlambatan, pelayanan buruk hingga dinilai tidak profesional.

Skytrax adalah lembaga konsultan yang melakukan riset maskapai penerbangan. Perusahaan ini melakukan survei untuk menentukan maskapai, bandar udara, hiburan dalam pesawat, staf, dan elemen perjalanan udara terbaik lainnya. Riset mereka mulai dari pre-flight, in-flight dan post-flight seperti kualitas pelayanan penumpang di bandara, kualitas ruang tunggu, kenyamanan kabin, sajian dalam pesawat (in-flight meal), kualitas hiburan dalam pesawat (in-flight entertainment), hingga layanan oleh awak kabin.

Dari semua data ini, lantas apa yang bisa kita simpulkan dari peristiwa jatuhnya Lion Air tipe B737-Max itu? [KRG]