Koran Sulindo – Monopoli dan perampasan tanah di bawah rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla disebut kian masif. Kehidupan rakyat meliputi kaum tani, buruh, buruh migran, masyarakat perkotaan dan lain-lain justru semakin merosot. Bahkan rakyat hidup di bawah ancaman teror, intimidasi, kekerasan, kriminalisasi hingga pembunuhan.
“Ironisnya, pemerintah Jokowi justru menjalankan program reforma agraria yang sama sekali tidak menjawab persoalan mendasar kaum tani dan rakyat. Justru semakin melanggengkan monopoli tanah dan praktik feodal,” kata Koordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR) Rudi HB Daman dalam keterangan resminya ketika berunjuk rasa memperingati Hari Tani Nasional di Jakarta, Senin (25/9).
FPR, sebut Rudi, menggela aksi unjuk rasa serentak di 18 provinsi di bawah koordinasi Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Aksi ini diikuti oleh ribuan kaum tani, buruh, pemuda-mahasiswa dan masyarakat perkotaan. HTN disebut momentum bagi kaum tani dan rakyat Indonesia menuntut pelaksanaan reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional. FPR juga menolak reforma agraria palsu Jokowi-JK.
Rudi menuturkan, refroma agraria Jokowi adalah palsu, karena tidak bertujuan mengurangi atau menghapuskan monopoli tanah oleh tuan tanah besar dalam berbagai bentuk. Reforma agraria sejati hanya dapat dilakukan dengan menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani.
Reforma agraria sejati juga menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, memperbaiki upah buruh tani yang sangat rendah, menentang monopoli pasokan pertanian yang diimpor dengan harga sangat mahal serta merusak, dan menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah.
“Reforma agraria sejati dilakukan dengan mempromosikan gotong-royong atau kerja sama mengurangi biaya produksi dan memenuhi kebutuhan pokok bagi kaum tani miskin, serta mempromosikan gerakan menabung di tengah kaum tani,” tutur Rudi.
Fakta-fakta
Rudi lalu membeberkan fakta-fakta selama hampir tiga tahun Jokowi berkuasa. Menjelang Hari Tani Nasional ke-57, pada pertengahan bulan ini, telah terjadi pengusiran dan kekerasan terhadap masyarakat Desa Bebidas, NTB oleh Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Mereka mengerahkan pasukan gabungan sebanyak 700 personel. Empat hari kemudian, terjadi pembakaran dua rumah milik masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD), termasuk lahan pertanian mereka dirusak oleh perusahaan swasta. Situasi serupa juga telah dialami rakyat di berbagai daerah.
Lalu, program reforma agraria dan Perhutanan Sosial Jokowi-JK yang sama sekali tidak menghapuskan monopoli tanah oleh perkebunan besar milik swasta atau pemerintah sebagai agen dari modal internasional milik kapitalis monopoli (Imperialisme). Begitu pula penguasaan tanah luas oleh konsesi pertambangan, taman nasional dan perusahaan konservasi sama sekali tidak tersentuh.
Jokowi-JK berencana melakukan redistribusi tanah sebesar 4,5 juta hektar yang terdiri dari 400 ribu tanah HGU yang habis masa berlakunya dan tanah terlantar serta 4,1 juta hektar tanah dari pelepasan Kawasan Hutan. Artinya, Jokowi menyediakan “tanah kosong” atau “tanah sisa”, serta tanah telantar bagi kaum tani sebagai obyek reforma agraria yang justru menjadi masalah tersendiri.
Soal kehidupan rakyat yang semakin merosot itu, Rudi menguti data Badan Pusat Statistik pada Maret 2017 menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 27,77 (10,64%) juta jiwa, dengan persebaran di perkotaan sebanyak 10,60 juta dan perdesaan 17,10 juta jiwa. Angka tersebut meningkat sebesar 6.900 jiwa dari periode September 2016.
Catatan AGRA, hanya dalam dua tahun masa pemerintahan Jokowi-JK, terdapat 49 kasus tindak kekerasan dan kriminalisasi rakyat. Tindak kekerasan terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854 orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi.
Lagipula, kata Rudi, reforma agraria sejati tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah. Reforma agraria tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata.
Reforma agraria sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan diambil tanahnya oleh perusahaan besar monopoli. Dengan demikian, reforma agraria akan menjadi jalan bagi pembangunan industrialisasi nasional yang tidak saja menjamin kesejahteraan bagi kaum tani, melainkan seluruh rakyat Indonesia.
Atas dasar kondisi itu, pada peringatan Hari Tani Nasional kali ini, FPR secara tegas mendukung kaum tani Indonesia dan AGRA menolak reforma agraria dan Perhutanan Sosial Jokowi. Dan akan terus berjuang untuk mewujudkan reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional. Itu sebabnya, persatuan kaum tani dan solidaritas antar-rakyat tertindas menjadi penting untuk menolak reforma agraria Jokowi.
Juga penting untuk menghentikan seluruh tindak kekerasan, intimidasi, teror, dan kriminalisasi terhadap kaum tani, buruh, perempuan, pemuda-mahasiswa dan rakyat lainnya di Indonesia. [KRG]