Penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung dari Mataram
Penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung dari Mataram/Istimewa

Koran Sulindo – Percaya diri mempecudangi gabungan orang Banten dan Inggris dengan membakar habis Jayakarta pada 30 Mei 1619, Jan Pieterzoon Coen segera menyatakan seluruh daerah itu di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie.

Untuk memantapkan kedudukannya, Coen berketapan hati membangun kota itu sebagai rendezvous kapal-kapal VOC, gudang-gudang rempah sekaligus pusat pemerintahan.

Ide itu sepenuhnya selaras dengan niat pemegang saham VOC yang dicanangkan sembilan tahun sebelumnya, yakni ketika mengangkat seorang gubernur jenderal pertama di Hindia.

Masalahnya, dengan sebagian besar penduduknya kabur ke Banten, Coen justru mewarisi kota yang nyaris kosong. Dan ia harus benar-benar membangunnya dari nol.

Secara keseluruhan mereka hanya berjumlah 350 orang yang terdiri dari para pedagang Eropa, kolonis, wanita dan tentu saja serdadu. Mereka inilah kelompok sosial utama kehidupan kolonial yang menjadi cikal bakal bagi Pemerintahan VOC dan Pemerintahan Belanda selanjutnya.

Membangun kota di dataran berawa sementara di saat yang sama selalu dikepung musuh benar-benar menjadi masalah. Di sisi lain, menjadi penguasa tanpa kawula di Batavia, VOC  ibarat joki tanpa kuda.

Coen terlebih dulu harus memecahkan masalah pelik. Mengisi Batavia dengan penduduk yang sekaligus berfungsi sebagai tenaga kerja.

Ia tak hanya butuh serdadu untuk mempertahankan kastil dari serangan musuh, namun juga butuh orang-orang sipil yang jago memperbaiki kapal, dokter, penginjil dan tentu saja wanita.

Ia jelas tak mungkin mengharapkan kebutuhan itu dicukupi dari negeri induk. Perjalanan laut yang panjang dan tingkat kematian tinggi penumpang membuat ide itu segera diabaikannya.

Di masa itu sedikitnya butuh waktu enam bulan penuh menempuh perjalanan laut dari Belanda ke Batavia selain harus menghadapi berbagai kendala di perjalanan baik yang disebabkan faktor alam ataupun manusia.

Faktor alam umumnya berupa badai laut, kapal karam menabrak karang atau jebakan perairan dangkal, sementara kendala manusia umum terjadi berupa pemberontakan awak kapal, perompakan hingga berjangkitnya penyakit karena kapal yang tak higienis.

Jelas waktu itu bagi orang-orang Eropa perjalanan ke Timur bukanlah hal mudah dan menyenangkan. Bahkan ketika sampai di tujuanpun, masalah tak sepenuhnya teratasi.

Mereka mesti harus berhadapan dengan penduduk pribumi yang asing belum pesaing-pesaing dari Eropa yang tak ramah. Masalah makin kompleks karena orang-orang itu mesti beradaptasi dengan temperatur, gaya hidup yang berbeda hingga penyakit-penyakit tropis.

Pendek kata, bagi orang-orang Belanda yang menghuni Batavia di masa-masa awal kehidupan nyaris tak tertahankan. Mereka bahkan hanya punya sedikit alasan berpikir mereka hidup di sebuah surga tropis.

Bagi mereka, seandainya tak terbunuh dalam pertempuran kejam atau percekcokan lokal, hampir dipastikan mereka bakal mati oleh penyakit atau alkohol. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 menyebut setahun setelah penaklukan Batavia itu, Coen mengakui bahwa “bangsa kita harus minum atau mati.”

Pada kenyataannya pegawai-pegawai VOC lebih sering justru harus mengalami kedua pilihan itu sekaligus.

Menghadapi masa depan buruk dan tak pasti, tak mengherankan sebagian besar orang-orang Belanda penghuni awal Batavia mereka mencari pelarian pada kesenangan-kesenangan sesaat sekaligus berusaha memaksimalkan  keserakahannya.

Di sisi lain perjalanan jauh nan berisiko membuat upaya mengirim wanita Belanda ke Batavia dianggap mahal dan pemborosan. Akibatnya gampang ditebak, populasi pria dan wanita di Batavia njomplang.

Pria Belanda rendahan hidup liar dan untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya memilih untuk mempunyai peliharaan wanita Asia yang dianggapnya lebih ekonomis.

Di sisi lain, sebagai gubernur jenderal sekaligus orang kedua di VOC, Coen jelas berkepentingan tampil sebagai teladan kehidupan keluarga yang baik dan emoh berlaku seperti orang-orang Belanda lainnya yang mengandalkan selir atau budak belian sebagai pelampiasan kebutuhan biologis.

Ia memanggil istrinya, Eva Ment ke Batavia yang mendarat bersama adik perempuannya pada 27 September 1627. Ia adalah wanita Belanda totok pertama yang mendarat di Nusantara.

Gadis Kompeni

Sebenarnya sebelum kedatangan Eva, pada tahun 1609 VOC sudah mulai mengantisipasi ‘paceklik’ wanita dengan mendatangan 36 wanita Belanda. Mereka dikirim sebagai calon pengantin khususnya bagi pegawai-pegawai VOC di Ambon dan daerah sekitar Maluku.

Wanita-wanita itu disebut dengan panggilan ‘anak gadis Kompeni’ julukan yang merendahkan sekaligus digunakan sebagai penanda asal-usul kelasnya.

Mereka datang dari Belanda dengan beberapa kemudahan termasuk bebas ongkos perjalanan dan bekal sejumlah pakaian sekaligus upah tak seberapa.

Di sisi lain, kelas sosial di tempat asal yang rendah membuat wanita-wanita itu tak kuasa menolak VOC yang memaksa mereka menikahi pria-pria yang tak dikenalnya dengan mahar seadanya.

VOC berharap kedatangan wanita-wanita itu meredam kebiasaan liar pria Belanda yang gemar memelihara wanita Asia. Setidaknya setelah dinikahkan pria-pria tersebut hidup teratur, memiliki hubungan yang sah, sekaigus berkeluarga dengan normal.

Belakangan baru terbukti kesulitannya, banyak di antara wanita-wanita itu setelah perkawinan justru menyeleweng dan menjadi pecandu minuman keras.

Coen yang gusar dengan fenomena itu kemudian dengan sangat memohon agar petinggi VOC berhenti mengirim wanita-wanita dari ‘jenis’ itu. Sebagai gantinya ia mendesak perusahaan dagang itu mengirim wanita Belanda terhormat yang berasal dari keluarga baik-baik.

Kalaupun tak ada wanita baik-baik yang mau berlayar ke Batavia, Coen menyarankan yang dikirim adalah anak-anak gadis dari rumah yatim piatu yang mendapatkan pendidikan keras.

VOC setuju dengan usul itu dan mengabulkan permintaan Coen.

Mereka segera mencari dan mengumpulkan gadis-gadis dan mengirimnya dengan kapal-kapal ke Batavia. Selama pelayaran, pengawasan kepada gadis-gadis itu diserahhkan pada istri-istri pegawai VOC rendahan yang berlayar menyertai suaminya.

Pada akhirnya kebijakan mengirim wanita dari Belanda itu belakangan dihentikan VOC.

Perusahaan dagang itu beralasan biaya yang mahal dan perjalanan yang berat ke Hindia menjadi dalih utama penghentian pengiriman itu.  Mereka menyebut mengirim wanita Belanda meningkatkan pengeluaran pemerintah.

Selain alasan ekonomis, wanita Belanda totok cenderung dianggap lemah dan terlalu banyak menuntut. Sebuah keadaan yang diperkirakan bakal menyulitkan proses adaptasi pegawai-pegawai VOC.

Ditambah lagi dengan kenyataan sebagian besar dari para wanita itu –setelah beberapa saat di Hindia- sering merasa tidak betah dan ingin kembali ke Belanda.

Di samping itu, banyak suara menyebut atas dorongan para istri pejabat-pejabat VOC dianggap lebih mementingkan dirinya sendiri dan lebih suka membuka perdagangan pribadi yang menggerogoti keuntungan VOC.

Selain wanita ‘resmi’ yang pergi ke Batavia atas izin VOC, tertarik dengan kekayaan tanah jajahan beberapa wanita nekat berusaha naik kapal dengan menyamar sebagai serdadu atau kelasi kapal.

Sebuah kapal yang tiba di Batavia tanggal 6 Juni 1657 dalam registernya tercantum 289 penumpang dengan 156 di antaranya merupakan pelaut, 119 serdadu dan 6 wanita. Masalahnya, dua di antara para serdadu itu adalah wanita yang menyamar.

Di sisi lain, langkanya wanita Eropa di Hindia bagaimanapun tak lepas dari aturan-aturan mereka sendiri. Aturan Kompeni melarang pria Eropa menikah tanpa izin atasannya.

Aturan ini selain berlaku bagi pegawai VOC juga diterapkan bagi orang sipil Belanda yang punya ikatan dengan Kompeni.

Menyoroti kehidupan orang Eropa yang tinggal di Batavia, Nicolaus de Graff (1619-1688) dalam Oost-Indise spiegel door menulis wanita dikelompokkan dalam berbagai golongan berdasarkan asal-usulnya.

Pemalas

Menduduki tempat pertama adalah wanita kulit putih kelahiran Eropa, kedua wanita kulit putih kelahiran Hindia-Belanda, ketiga wanita berdarah campuran dan yang keempat adalah wanita pribumi berkulit hitam.

Selanjutnya golongan wanita berdarah campuran dipilah lagi menjadi mestiso yang berbapak Eropa dan ibu pribumi dan kastiso yang berbapak Eropa dan ibu mestiso.

Menjadi masalah karena meski sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan asal-usul darahnya mereka tetap lekat dengan citra negatif. Mereka digambarkan sebagai sosok yang sombong, pemalas, penuh nafsu dan kejam.

Menurut De Graaff, wanita yang tinggal di daerah tropis cenderung ‘lemah’ dalam banyak aspek hidupnya kecuali di bidang seksual.

Mereka dianggap pemalas karena menyerahkan semua urusan rumah tangga –bahkan termasuk pendidikan anak- kepada para budak atau para pembantu mereka.

Mereka juga digambarkan memberlakukan budak dan pembantunya dengan cara yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan verbal seringkali dilakukan untuk kesalahan kecil yang tak jarang diikuti dengan kekerasan fisik.

Tak hanya kepada para wanita di Batavia, De Graaff juga memandang dengan negatif semua pegawai VOC dengan menyebutnya sebagai gerombolan koruptor.

Menurut De Graaff, kelakuan buruk itu tak lepas dari motivasi mereka pergi ke Timur. Hanya segelintir kecil pegawai VOC yang memiliki perhatian dan ketertarikan pada bangsa yang didatanginya.

Ribetnya memperistri wanita totok membuat banyak pegawai-pegawai rendahan VOC mengambil seorang budak sebagai istri. Cara ini juga tak kalah rumit.

Mereka wajib membayar uang pembelian budak kepada VOC atau dibayar dengan cara cicilan dari gaji si suami. Selain itu bekas-bekas budak itu wajib belajar bahasa Belanda sekaligus menjalani pembaptisan di gereja sebagai tanda kelahiran kembali sebagai seorang nasrani sejati.

VOC menganggap penting membatasi perkawinan model ini karena dengan perkawinannnya wanita-wanita itu beralih kebangsaan mengikuti suaminya dan berstatus wanita Eropa.

Mahal dan ribetnya prosedur pernikahan bagi pegawai VOC itu seringkali membuat pria Belanda memutuskan untuk menempuh jalan pintas pernikahan tidak resmi alias pergundikan dengan seorang nyai. Alasannya semata-mata soal ekonomi, tipikal orang-orang Belanda yang terkenal karena kekikirannya.

Nyai adalah julukan bagi wanita pribumi, kadangkala juga bagi seorang wanita Cina yang hidup bersama pria Eropa, Cina, atau Arab tanpa hubungan pernikahan. Meski tak memiliki kedudukan resmi sebagai ibu rumah tangga meski seorang nyai biasanya memegang peran ibu rumah tangga di rumah sang pria.

Bagi pria Belanda mengawini seorang nyai lebih hemat karena secara keuangan mereka tak terlalu menjadi beban karena terbiasa hidup sederhana, ini berbanding bumi langit dengan wanita Eropa yang berkehidupan mewah.

Hubungan campur karena minimnya keberadaan wanita Eropa, makin meningkat seiring dengan munculnya anggapan bahwa wanita lokal lebih kuat –terutama dari segi fisik terhadap penyakit-penyakit daerah tropis.

Di sisi lain, VOC juga sangat diuntungkan dengan keberadaan keturunan kawin campur. Mereka yang laki-laki menjadi tenaga kerja VOC sementar yang perempuan menikah dengan laki-laki Belanda yang juga bekerja kepada VOC.

Jika pada akhirnya pria Belanda tetap memutuskan menikah dengan wanita Eropa, misalnya dengan dalih menguntungkan karirnya nasib buruk bakal menanti si nyai. Ia dicampakkan begitu saja tanpa perlindung hukum.

Mereka, meski telah hidup sekian lama sebagai pendamping laki-laki Eropa bahkan jika termasuk menjadi ibu dari anak-anaknya, ia harus meninggalkan rumah tangganya dengan sekadar uang sebagai ganti rugi. Belum lagi anaknya pun seringkali harus diserahkan kepada si suami. (TGU)