DIPERINGATI setiap tanggal 8 Maret, Hari Perempuan merupakan perayaan tentang berbagai prestasi yang telah dicapai para perempuan dari berbagai penjuru dunia. Hari spesial tersebut dirayakan demi meningkatkan kesadaran tentang hak kesetaraan bagi perempuan hingga diskriminasi gender yang kerap terjadi dalam berbagai sektor.
Di Nusantara kisah tentang prajurit perempuan dan kepiawaian mereka dalam berperang telah diabadikan dalam beragam tari Bedhaya di Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai contoh adalah tarian Retno Tinanding, yang diilhami olah gerak prajurit perempuan Jawa. Sampai sekarang tarian tersebut masih ditampilkan di Keraton Surakarta.
Sejarawan Ann Kumar dalam buku Prajurit Perempuan Jawa mengutip keterangan utusan VOC dari Batavia, Rijklof van Goens, pada pertengahan abad ke-17 di Keraton Mataram, Kartasura, yang telah menyaksikan kepiawaian ”Prajurit Estri”, yakni 150 serdadu perempuan dalam menggunakan senjata, menyanyi, menari, dan memainkan alat musik.
Keberadaan prajurit perempuan di Jawa, menurut Peter Carey, juga dikenal dengan kemampuan mereka berkuda dan menggunakan senjata.
Prajurit Perempuan di Kerajaan Jawa
Jauh sebelum teori gender terkonsep dan merebak di kalangan akademisi Indonesia, perempuan dari tanah Jawa telah lebih dulu membuktikan pertukaran peran dalam kehidupan sosial adalah hal yang lumrah dilakukan. Kesempatan untuk mengambil inisiatif dan tindakan atas kehendak sendiri mampu mereka lakukan.
Kesempatan itu bahkan melampaui pencapaian kaum perempuan di era kemudian yaitu pada akhir abad ke-19. Selain berperan sebagai penjaga nilai-nilai sosial-tradisional masyarakat, perempuan pada saat itu telah memasuki era yang didominasi oleh kaum laki-laki baik dalam hal bisnis, politik, bahkan kemiliteran.
Ketika meneliti Perang Jawa (1825-1830), Peter Carey dan Vincent Houben menggambarkan sosok perempuan luar biasa yang mereka temui dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX.
Peter Carey dan Vincent Houben menggambarkan perempuan dalam buku tersebut sebagai sosok prajurit yang menjadi pengawal khusus raja. Perempuan-perempuan bangsawan yang melakukan perlawanan fisik terhadap kolonialisme, perempuan-perempuan pengusaha yang ulet, sampai pada gambaran perempuan-perempuan yang berhasil memperjuangkan hak pribadinya dalam ranah domestik.
Keraton Surakarta dan Yogyakarta, setidaknya adalah tempat di mana perempuan prajurit pengawal raja dapat ditemukan. Pada masa Pakubuwono V (1820-1823), datanglah seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis bernama Joseph Donatien Boutet mengunjungi Surakarta. Joseph mengungkapkan kekagumannya terhadap para ‘Srikandi Pengawal’ raja yang ia lihat.
Setidaknya ada empat puluh perempuan prajurit yang duduk berbaris di bawah tahta sang raja. Joseph melihat bahwa setiap dari prajurit perempuan itu mengenakan perlengkapan senjata. Seperti sebilah keris di pinggang, pedang yang menyelempang, dan bedil di tangan.
Anggapan yang selama ini melekat di kalangan masyarakat bahwa perempuan hanya berperan sebagai pagar ayu telah terbantahkan. Perempuan benar-benar pernah berlatih menjadi seorang prajurit kerajaan.
Jan Greeve, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa juga menyaksikan bahwa para prajurit perempuan menyambut dirinya ketika ia mengunjungi Surakarta pada 31 Juli tahun 1788.
Memasuki abad ke-18 dan ke-19 pasca perang Diponegoro, peran penting perempuan Jawa berangsur-angsur mulai memudar. Carey dan Houben berpendapat bahwa hal ini terjadi karena pengaruh kolonialisme dan menyebarnya Islam. Maka, pada akhir abad ke-19, kehidupan perempuan Jawa berubah sebagaimana yang digambarkan oleh Kartini, dibatasi dan dikungkung.
Maka dengan berbekal kecerdasan dan luas kalangan yang dimiliki, Kartini mencoba mendobrak kehidupan perempuan yang berwajah muram, penuh belenggu, dan terbelakang itu. Upaya Kartini inilah yang kemudian memberikan inspirasi bagi kaum perempuan setelahnya untuk menjadi lebih baik dan progresif.
Perempuan di Era Baru
Memasuki era baru pasca Kartini, perempuan Jawa dan daerah lainnya di Indonesia pun memasuki era baru. Di mana perempuan kemudian memiliki akses untuk memperoleh pendidikan. Meski perempuan yang memperoleh pendidikan masih terbatas, namun mereka memiliki semangat tinggi untuk menyebarkan gagasannya kepada masyarakat luas. Perempuan-perempuan mulai bergerak membentuk organisasi secara umum maupun perkumpulan yang hanya khusus perempuan saja.
Perkumpulan perempuan pertama yang didirikan adalah Poetri Mardika. Perkumpulan ini berdiri di Jakarta pada tahun 1912. Kemudian diikuti oleh berbagai macam organisasi perempuan lainnya baik di pulau Jawa maupun di pulau-pulau lainnya. Di Jepara sendiri, sebagai kota kelahiran Kartini berdirilah Perkumpulan Wanito Hadi pada tahun 1915.
Semua ini menunjukkan ternyata perempuan sudah memiliki andil besar dalam memperjuangkan dan memperoleh kemerdekaan Indonesia. Maka bukankah kurang benar jika konsep kesetaraan kita anggap sebagai bentuk adopsi dari Barat? Karena kenyataannya kita sudah memiliki konsep tersebut. Baiknya, angin emansipasi dari Barat cukup sekedar menyegarkan dan justru seharusnya mengembalikan kesadaran perempuan Indonesia pada semangat kehidupan yang setara sesuai dengan ajaran luhur bangsa. [S21]