Perebutan Tahta 1677 Berulang di Keraton Kasepuhan Cirebon

Pelantikan perangkat Kesultanan Kasepuhan Cirebon ricuh (Foto: Sudirman Wamad/detikcom).

Suluh Indonesia – Aparat keamanan masih berjaga-jaga di lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon. Mobil polisi tampak bersiaga di pintu masuk keraton, untuk mencegah kericuhan berulang. Aksi saling lempar batu sempat terjadi di sana akhir Agustus 2021, dan terus memanas dalam beberapa hari.

Dua kelompok yang bersiteru diduga merupakan pendukung Sultan Sepuh XV, Pangeran Raja Adipati (PRA) Luqman Zulkaedin, dan Sultan Sepuh Aloeda II, Raden Rahardjo Djali. Aksi lempar batu dipicu oleh pelantikan perangkat kasultanan oleh Sultan Sepuh Aloeda II RH Rahardjo Djali, Rabu (25/8/2021).

Luqman sebelumnya sudah dinobatkan sebagai Sultan Sepuh XV menggantikan Arief setelah sang ayah, Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, wafat akibat sakit pada 22 Juli 2020.

Namun, Rahardjo menuding penunjukan Luqman sebagai Sultan Sepuh XV tidak sah. Dia merasa dirinyalah yang berhak menduduki tahta keraton.

Sebelum Arief wafat, Rahardjo juga sudah membuat heboh Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Saat itu, pada 26 Juni 2021, dia masuk ke dalam keraton dan langsung menurunkan foto Sultan Arief dan permaisurinya Raden Ayu Syariefah Isye, dari dinding.

Dia pun mengklaim sebagai orang yang berhak atas Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Rahardjo menyebut diri sebagai cucu dari Nyi Mas Rukiah, istri kedua Sultan Sepuh XI Tadjul Arifin Djamaluddin Aloeda Mohammad Samsudin Radjanatadiningrat.

Dari pernikahannya dengan Sultan Sepuh XI, Nyi Mas Rukiah, sebagaimana silsilah yang ditunjukkan Rahardjo, dikaruniai empat orang anak, salah satunya Ratu Mas Dolly Manawijah. Rahardjo merupakan anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan Ratu Mas Dolly bersama seorang pria.

Rahardjo merasa dirinyalah yang berhak menjadi sultan. Pelantikan dirinya sebagai Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon dilakukan secara diam-diam pada 18 Agustus 2021. Prosesi jumenengan ini digelar tertutup di Umah Kulon, salah satu rumah di lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon, dan hanya dihadiri oleh keluarga maupun kerabat saja.

Dia memilih tempat itu dengan alasan Sultan Sepuh XI dulu menghabiskan sisa hidupnya di situ. Sultan Sepuh setelah menikahi nenek Rahardjo, Nyi Mas Rukjah, mengganti gelar di belakangnya dari Natadiningrat menjadi Aloeda. Itu sebabnya, Rahardjo menyebut dirinya Sultan Sepuh Aloeda II, bukan Sultan Sepuh XVI.

Selanjutnya, usai pelantikan dirinya sebagai Sultan Sepuh Aloeda II, dia pun melantik aparatnya yang berakhir ricuh dan saling lempar batu.

Baca juga: Syekh Jumadil Kubro dan Wajah Islam Toleran di Jawa

Sebelum itu, sosoknya juga sudah sempat viral karena menggembok pagar di Keraton Kasepuhan. Saat itu dia juga sudah mengaku sebagai penerus sah takhta Sultan ke-11 Keraton Kasepuhan, Sultan Sepuh XI Radja Jamaludin Aloeda Tajul Arifin.

Dia menyebut pengangkatan dirinya sebagai Sultan Sepuh Aloeda II sebagai usulan ahli sejarah, tanpa menyebut siapa ahli sejarah dimaksud. Dan dia menyadari, penggunaan gelar Sultan Sepuh XII, sebagai pengganti kakeknya akan memunculkan polemik, sekaligus sebagai penanda era baru.

Atas pengangkatan itu, dia mengharapkan keluarga Sultan Sepuh XV Pangeran Raja Adipati (PRA) Luqman Zulkaedin secara legowo meninggalkan Keraton Kasepuhan Cirebon. Dia menilai Luqman maupun garis keturunan di atasnya, yang selama ini menduduki tahta Kesultanan Kasepuhan Cirebon sebagai pihak yang tidak berhak atas kesultanan.

Menurut Rahardjo, yang sebelumnya tinggal di Jakarta, Luqman maupun garis keturunan di atasnya bukanlah trah asli Sunan Gunung Jati yang berhak atas Kesultanan Cirebon.

Tentu saja, klaim Rahardjo dibantah pihak Sultan Sepuh XV PRA Luqman Zulkaedin. Ratu Alexandra Wuryaningrat, adik Luqman Zulkaedin yang menjabat Kepala Badan Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon, menegaskan bahwa Kesultanan Kasepuhan Cirebon hanya memiliki seorang sultan, yakni Sultan Sepuh XV PRA Luqman Zulkaedin.

Itu sebabnya, katanya, semua kegiatan di lngkungan keraton harus diketahui Sultan Sepuh XV PRA Luqman Zulkaedin. Dia memastikan kegiatan pelantikan pembantu Rahardjo di lingkungan keraton dilakukan tanpa seizin pihaknya, sehingga dia merasa berhak menegur penyelenggara. Tak ayal, bentrok pun terjadi.

Santana Kesultanan Cirebon, yang menyebut diri sebagai wadah para dzuriah atau keturunan Sunan Gunung Jati, menyesalkan terjadinya bentrok tersebut. Mereka menilai, penobatan Rahardjo Djali sebagai Sultan Sepuh Aloeda II dilakukan tanpa mengedepankan nilai pepakem kesultanan karena tak pernah melibatkan para dzuriah Sunan Gunung Jati.

Berdasar keseluruhan situasi yang terjadi di Kesultanan Kasepuhan Cirebon saat ini, mereka menilai Rahardjo Djali telah melanggar aturan Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Bagi mereka, Rahardjo Djali bukan profil yang tepat menduduki tahta Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

Perebutan tahta di Kesultanan Kasepuhan Cirebon kali ini tampaknya mengulang peristiwa serupa yang pernah bergejolak di sana. Pada 1677, terjadi konflik internal di Kesultanan Cirebon yang dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan keluarga mengenai penerus kerajaan.

Pihak luar akhirnya dilibatkan untuk mengatasi kisruh di antara keluarga. Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa Kesultanan Banten, terjun tangan. Sultan yang masih keturunan Syekh Syarif Hidayatullah ini akhirnya memutuskan membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga, yaitu Kesultanan Kanoman, Kesultanan Kasepuhan, dan Panembahan Cirebon.

Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya yang bergelar Sultan Anom I, Kesultanan Kasepuhan diberikan kepada Pangeran Martawijaya yang bergelar Sultan Sepuh I, dan Pangeran Wangsakerta menjadi panembahan di Cirebon. Sejak saat itu, Sultan Sepuh I menempati Keraton Pakungwati yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan.

Mengacu pada kejadian tahun 1677 tersebut, banyak pihak meminta pemerintah turun tangan mengatasi kisruh beraroma kudeta di Keraton Kasepuhan Cirebon. Pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam sistem hukum dan kekuasaan di negara Republik Indonesia hendaknya memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan perebutan tahta yang berlarut-larut terjadi di Keraton Kasepuhan Cirebon. [Ahmadie Thaha]