SAAT ini sering kita dapati perdebatan atau pro kontra di media sosial tentang siapa yang lebih unggul antara ibu rumah tangga (IRT) atau ibu pekerja (karir). Salah satu dari mereka sering merasa lebih baik. Bagi beberapa ibu IRT, menjadi ibu pekerja adalah hal yang egois karena ‘kodrat’ perempuan harusnya di rumah merawat suami dan anak. Namun bagi beberapa ibu pekerja menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga seperti tahanan yang dibayar setiap bulannya. Padahal stigma seperti ini seharusnya sudah dibuang di masa kini.

Tentu kita pernah mendengar kutipan dari Najwa Shihab ketika ia disuruh memilih antara menjadi jurnalis atau ibu rumah tangga. Jawabannya pun menjadi viral dan membuka wawasan bahwa peran perempuan tidak boleh dikotak-kotakan, perempuan bisa menjadi apapun yang ia inginkan tanpa keterbatasan yang ‘dibuat-buat’ oleh lingkungan sosial.

Peran yang dipilih oleh perempuan sudah harusnya tak terbatas dengan perdebatan kuno antara siapa yang lebih baik antara IRT atau ibu pekerja. Pilihan perempuan menjadi bebas dan merdeka harus dihormati. Setiap perempuan harus diberi kebebasan memilih ataupun ingin melakukan dua-duanya. Stigma seperti ini hadir karena perempuan masih sering dianggap sebagai manusia kelas dua.

Konstruksi sosial kita masih memberikan label bahwa IRT adalah ibu yang baik, sedangkan ibu pekerja sebagai perempuan yang egois hanya mementingkan diri sendiri. Seakan bahwa perempuan yang telah melahirkan mempunyai anak harus membatasi diri karena anggapan tugas pengajaran dan merawat anak merupakan tugas perempuan saja. Seorang perempuan yang telah memiliki keluarga dan memilih bekerja sering dianggap egois.

Begitu pula dengan ibu yang seharian penuh di rumah, bagi orang-orang yang suka berdebat tentang siapa yang paling baik, kaum kontra terhadap IRT menganggap bahwa menjadi perempuan yang tugasnya hanya di rumah merawat suami dan anak adalah sebuah penjara. Padahal menjadi IRT adalah juga sebuah pilihan yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya dalam jangka waktu yang panjang.

Padahal faktanya, baik IRT maupun ibu pekerja sama beratnya. Beberapa perempuan memilih menjadi ibu pekerja karena tuntutan ekonomi yang sangat tinggi yang mengharuskannya untuk ikut bekerja demi kehidupan yang baik. Bagi beberapa perempuan lainnya tentu saja peran menjadi istri dan ibu tidak menghalanginya meraih mimpi dan mengembangkan diri. Begitu pula dengan IRT, mengurus rumah dengan pekerjaan domestik 24 jam, tidak digaji bahkan kadang sering tak dihargai juga sama sulitnya.

Dalam buku yang ditulis oleh Pat Brewer dengan judul “Penyingkiran perempuan, pengujian Marxis atas bukti baru tentang asal-usul penindasan perempuan” kondisi perdebatan antara IRT vs Ibu Pekerja. Tertulis bahwa hal ini dipicu dari keluarga inti (ayah-ibu-anak) diproyeksikan sebagai unit sosial yang alamiah. Dimulai dari cerita dogeng yang kerap menceritakan peran perempuan sebagai ibu perawat dan pengasuh yang tugas utamanya adalah menjaga agar keluarga berada dalam keseimbangan sosial dan emosional. Ayah adalah satu-satunya sosok yang berhak untuk mencari nafkah sebagai seseorang yang dominan  yang memiliki peran selaku kepala rumah tangga.

Akhirnya, peran perempuan yang tersubordinasi tersebut telah dijustifikasi dalam hal fungsi yang menjadi tanggung jawab penuh seperti, melahirkan dan membesarkan anak. Jadi ketika melihat ada ibu yang memilih menapakan kaki ditangga karir dan pekerjaan dianggap sebagai seseorang yang ‘menyimpang’ dari kodratnya sebagai perempuan.

Daripada berdebat tentang siapa yang lebih baik antara ibu rumah tangga vs ibu pekerja bukankah kini zaman terus berubah dan berjalan. Biarkan perempuan bebas dan merdeka untuk memilih jalannya tanpa keterbatasan-keterbatasan gender yang melekat padanya. Ingin menjadi ibu yang 24 jam mengurus rumah maupun ibu pekerja tidak ada yang buruk, keduanya sama baik. Berikan apresiasi kepada perempuan-perempuan yang memilih jalan mereka sendiri. [NS]