Koran Sulindo – Gong perdagangan bebas antara Indonesia dan Australia sudah ditabuh. Sejak 5 Juli lalu, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) resmi diberlakukan setelah diteken oleh pemerintah Indonesia dan Australia pada 4 Februari 2019.
Salah satu bagian penting dari IA-CEPA ini adalah soal hilangnya hambatan tarif perdagangan antara dua negara ini. Tarif bea masuk untuk barang yang diekspor Indonesia ke Australia dihapus 100% menjadi 0%. Sebaliknya tarif bea masuk barang yang diimpor Australia ke Indonesia dihapus 94%.
Sepintas perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Australia ini akan membawa keuntungan bagi Indonesia. Dengan tarif 0% barang dari Indonesia akan melenggang bebas masuk ke pasar Australia. Tetapi para pengamat menilai Indonesia belum begitu siap untuk menjalankan IA-CEPA ini, sehingga alih-alih mengubah kondisi neraca perdagangan dengan Australia menjadi surplus malah sebaliknya dikhawatirkan justru akan makin memperlebar defisit neraca dagang kita.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor non-migas Indonesia ke Australia pada 2019 sebesar US$ 2,11 miliar. Sedangkan nilai impor non-migas Australia ke Indonesia sebesar US$ 4,67 miliar. Dus, defisitnya mencapai US$ 2,57 miliar.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, IA-CEPA ini tak akan serta-merta membalikkan kondisi neraca dagang menjadi surplus atau minimal seimbang. Malah, menurut Bhima yang terjadi akan sebaliknya, defisit akan makin lebar.
Ada beberapa faktor, menurut Bhima, yang membuat perjanjian dagang ini tak akan membawa perbaikan pada neraca dagang Indonesia. Pertama, kualitas produk yang dibutuhkan oleh konsumen Australia memiliki standar tinggi. “Ini yang sulit dipenuhi oleh pemain di dalam negeri,” ujar Bhima saat dihubungi pada pekan pertama Juli lalu.
Australia juga dinilai lebih siap karena barang yang diimpor ke Indonesia lebih spesifik yaitu fokus pada produk pertanian dan peternakan. Sementara produk yang diekspor Indonesia ke ke negeri Kanguru itu lebih terfragmentasi, tidak fokus. Ada pakaian jadi, alas kaki, plywood (kayu lapis), barang-barang dari kayu, dan sebagainya. “Maka, ini yang dikhawatirkan justru akan memperlebar defisit perdagangan pasca berlakunya IA-CEPA,” ujar Bhima.
Kedua, perjanjian dagang sebelumnya yaitu Asean Australia New Zealand Free Trade, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, menurut Bhima hanya dimanfaatkan 35% oleh eksportir Indonesia. Dan, sebagian besar yang memanfaatkannya adalah industri menengah dan besar.
“Artinya, UMKM sedikit sekali memanfaatkan fasilitas dagang itu. Kelihatannya walaupun IA-CEPA, apalagi dengan kondisi seperti ini (Covid-19), sepertinya pemanfaatannya akan masih rendah. Jadi saya khawatirnya defisit (perdagangan) akan makin melebar,” kata Bhima.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, Indonesia memang ‘hobi’ membuat CEPA. Tetapi sayangnya setelah ditandatangani, tidak ditindaklanjuti dengan serius. “Kita hanya sebatas mempersiapkan penandatanganan CEPA, tetapi tidak mempersiapkan industrinya. Setelah penandatangan CEPA juga tidak ada tindak lanjut serius agar hasil dari penandatanganan itu berdampak positif terhadap perdagangan internasional kita,” ujar Pieter saat dihubungi secara terpisah pada Kamis (9/7) lalu.
Pieter mengambil contoh akhir 2018, Indonesia menandatangani CEPA dengan Uni Eropa. Tetapi, menurutnya dari CEPA dengan Uni Eropa itu, Indonesia tidak mendapatkan apa-apa. “Justru tahun 2019, neraca perdagangan kita malah memburuk, ekspor kita tidak naik. Karena kita membuat kesepakatan tanpa mempersiapkan terlebih dahulu mana yang akan menjadi ujung tombak dari perdagangan internasional kita,” ujar Pieter.
Mestinya, kata Pieter, sebelum membuat perjanjian dagang dengan negara lain, Indonesia harus terlebih dahulu mempersiapkan komoditas atau barang yang menjadi unggulannya untuk diekspor ke negara tersebut. “ Jadi, kita bisa memanfaatkan sepenuhnya hasil CEPA tersebut,” ujar Pieter lagi.
Direktur Perundingan Bilateral, Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan CEPA antara Indonesia dan Australia tidak hanya sebatas perdagangan barang. Tetapi juga terkait jasa dan investasi.
Defisit
Soal defisit neraca dagang dengan Australia, Ni Made mengatakan, dengan atau tanpa CEPA, neraca dagang Indonesia dengan Australia akan tetap defisit. Ini terjadi karena barang-barang yang diimpor dari Australia memang merupakan barang yang sangat dibutuhkan di dalam negeri.
“Beberapa item dari yang kita impor dari sana itu memang kita butuhkan. Namun, kalau dari kami melihat enggak masalah ya, defisit atau surplus, itu bukan satu-satunya cara melihat kesehatan dari hubungan perdagangan. Kita bisa defisit namun hubungannya sehat,” ujar Ni Made dalam sebuah diskusi virtual pada pekan pertama Juli lalu.
Ni Made mengambil dua contoh produk yang banyak diimpor dari Australia yaitu gandum dan daging atau ternak sapi. Gandum katanya sangat dibutuhkan oleh industri mi di dalam negeri. Dibandingkan impor dari negara lain, impor gandum dari Australia menurutnya lebih murah karena secara geografis dekat. “Gandum itu untuk apa? Ternyata pabrik Indomie kita atau merek-merek yang lain terbesar di dunia saat ini. Untuk apa? Artinya untuk production,” ujar Ni Made.
Demikian juga impor daging dan ternak, menurutnya saat ini memang masih dibutuhkan oleh Indonesia karena sering terjadi gejolak harga di dalam negeri. Untuk impor daging dan ternak ini, jelasnya di bawah rezim IA-CEPA, akan dilakukan dengan kuota. Artinya, meski sudah ada perjanjian dagang, tetap akan dibatasi untuk melindungi peternak di dalam negeri.
Cakupan IA-CEPA ini menurut Ni Made sangat luas, tidak hanya terkait ekspor-impor barang dan tarifnya, tetapi juga jasa dan investasi, termasuk di dalamnya adalah investasi di bidang pendidikan dimana perguruan tinggi di Australia bisa dibuka juga di Indonesia.
Dalam IA-CEPA ini juga dikenal konsep economic powerhouse. Dengan konsep ini, Australia boleh saja melakukan impor daging ke Indonesia yang saat ini menurut Ni Made nilainya US$ 500 juta lebih. Tetapi di sisi lain perusahaan Australia juga melakukan investasi pengolahan daging di Indonesia dengan mempersiapkan infrastruktur termasuk menyiapkan sumber daya manusianya di Indonesia. Nantinya, hasil olahan daging tersebut akan kembali diekspor ke Australia dan juga negara ketiga misalnya Tiongkok dan Timur Tengah. “Kita enggak mau dong impor terus ya. Kita harus jadi atau menumbuhkan industri pengolahannya,” ujar Ni Made.
Satu hal yang juga diakui oleh Ni Made. Bahwa pembebasan tarif ekspor ke Australia (0%) memang tidak serta-merta membuat barang atau produk dari Indonesia termasuk produk UMKM bisa melenggang bebas masuk ke negeri Kanguru itu. Masih ada hambatan non-tarif yang bisa saja mengganjal produk kita untuk masuk.
Seperti yang disampaikan Bhima Yudhistira, konsumen Australia memiliki standar kualitas yang tinggi untuk produk yang dikonsumsinya. “Standar negara maju biasanya lebih tinggi. Nah ini yang perlu dicermati sekali,” ujar Ni Made. [Julian A]