Dari sisi teknologi, kita seperti hidup di negara yang punya satelit, balon cuaca, radar hujan, sensor tanah longsor, tetapi penggunaannya masih seperti menonton film bajakan: kualitas ada, manfaatnya setengah.
Prediksi cuaca BMKG sudah semakin akurat, tetapi banyak daerah belum punya sistem peringatan dini berbasis sirene desa, pengeras masjid, atau aplikasi lokal yang bisa membunyikan alarm 5 menit sebelum banjir menerjang. Teknologi deteksi dini kita kadang seperti payung lipat murahan: baru dipakai sebentar, sudah patah sendirinya.
Padahal, negara lain sudah pakai sensor IoT di sungai kecil, sistem SMS/WA massal otomatis, drone pengintai kondisi hulu, dan model prediksi berbasis _machine learning_. Kita masih mengandalkan “lihat langit, nanti tahu sendiri”.
Senyar adalah alarm, bukan ancaman tunggal. Bila badai bisa lahir di Selat Malaka, maka Sumatra, Kalimantan, bahkan Jawa punya peluang kena “bonus” meteorologi serupa. Siapa tahu sepuluh tahun lagi kita punya badai lokal kelas menengah. Atau malah kelas kakap. Sains tidak menutup kemungkinan itu.
Walhasil, alam memang bukan hakim yang pemarah, tetapi guru yang sabar. Ia mengulang pelajaran sampai kita paham: jangan ganggu aku, jangan abaikan sinyal-sinyalku, jangan remehkan perubahan iklim yang kalian anggap teori konspirasi.
Jika banjir dianggap tragedi, ia bisa jadi hikmah bila kita mulai menata ulang hulu, menegakkan hukum lingkungan, dan memperbaiki teknologi mitigasi. Sebab air adalah cermin: ia memantulkan tabiat manusia. Kalau sungai keruh, biasanya bukan sungainya yang punya masalah, tapi manusianya.
Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis



